Ding. Ponsel Hero berbunyi saat situasi membuat ia dan Lusie terdiam satu sama lain. Sepintas nama Marina tertangkap mata Lusie. Hero mengangkat panggilan dan tetap duduk di samping Lusie tanpa pergi seperti seorang suami yang hendak pergi dengan pacar gelapnya.
“Aku sedang bersama seseorang.”“….”“Tidak, Marina.” Hero menoleh kepada Lusie. Hanya tatapan beberapa detik saja sebelum Hero kembali berbicara. “Kami hanya keluar.”“…."“Malam ini aku tidak bisa datang. Ada urusan yang masih harus aku tangani.”“….”“Marina, come on.”“….”“Baiklah. Tunggu aku nanti malam.”Hero mematikan ponsel. Dia tidak tahu jika malam ini Marina harus menghadapi operasi usus bantu. Mau tidak mau Hero harus meninggalkan Lusie.Perban putih melilit tangan kanan Lusie. Ia membiarkan perawat perempuan yang nampak masih muda itu mengurus luka. Tangannya terlihat cekatan dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti.“Bukankah tadi itu kapten Hero?” Perawat itu membuka suara. Ia menyiapkan beberapa pil. Menyerahkan kepada Lusie dengan segelas air. “Sudah sangat lama aku tidak melihat artikel dan iklan tentangnya.”“Ya, dia suamiku.”Perawat dengan rambut yang digelung itu terdiam sejenak. Kemudian mengambil kembali gelas dan piring kecil tempat pil. Lusie baru saja menelan tiga buah pil itu dengan cepat.“Saya sangat iri, Anda beruntung bisa menikahi suami romantis seperti kapten. Selain itu, ia juga bertanggung jawab dan sangat setia. Saya menyaksikan sendiri, jika tiga hari selama Anda tertidur, kapten Hero terjaga di samping Anda.”“Apa dia … tidak tidur sampai sekarang ini?”“Soal itu, saya
Tiga hari sudah terlewati. Hero menunggu dengan cemas di samping ranjang besar. Menempatkan Lusie di ruang VIP agar perempuan itu mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ia embiarkan Lerry dan beberapa perawat yang mendampingi memeriksa keadaan Lusie. Tadinya rumah sakit sangat riuh karena teriakan Hero. Ia memanggil Lerry di sepanjang lorong dengan suara kencang hingga membuat pasien disana tidak nyaman.Lerry melepas stetoskop. Ia membiarkannya menggantung di leher. Hero sudah menantikan jawaban baik. Ia juga dapat melihat mata Lusie yang sudah terbuka. Meskipun belum ada suara, tetapi itu lebih baik daripada melihatnya terpejam seperti mayat.“Lullaby sudah pergi?”Lerry menghelas napas. “Jika bukan suami dari Lusie, kau mungkin sudah kuusir dari sini. Seharusnya kau menanyakan keadaan istrimu terlebih dahulu.”“Lalu bagaimana? Bukankah dia baik-baik saja?”“Lebih rumit dari yang ku kira. Temui aku setela
Hero duduk di kursi tunggu. Sudah dua jam berlalu semenjak Lusie dibawa ke rumah sakit. Ia sempat membuat Lerry syok. Namun tak berlangsung lama karena Lerry harus segera menanganinya. Kesadaran Lullaby hilang usai ia memberikan pertanyaan terakhir yang belum sempat Hero jawab.Seharusnya Hero senang akan hal ini. Bukankah ini yang ia harapkan? Menghilangkan perempuan itu dari hadapannya? Lullaby adalah alasan ia terjebak di pernikahan tanpa cinta ini. Sementara Lusie hanyalah wanita biasa yang tak sejajar dengan usia dan karirnya. Bagaimana bisa ada rasa untuk mempertahankan mereka?“Hero.”“Lerry?”Dokter muda itu duduk di sebelah Hero. Ia datang bersama para perawat yang sudah berlalu.“Lusie baik-baik saja, bukan?!”Lerry mengangguk. “Masa kritisnya sudah terlewat. Itu juga berkat kau yang membawanya tepat waktu.”“Kapan ia akan sadar?”“Mungkin esok pa
Bagi Hero Lusie mungkin sudah menjadi seseorang yang tak sengaja mengambil bagian dari hidupnya. Awalnya ia mengira gadis 18 tahun yang saat itu mengidolakannya akan menjadi perempuan yang akan sudi untuk memenuhi kenginan dari ayahnya. Sehingga Hero hanya menjalani hubungan tersebut tanpa arti yang berarti.Hingga ada hal yang sulit ia mengerti dengan berbagai alasan yang terangkai dalam kepala. Untuk apa ia menarik Lusie dari kerangkang lelaki lain yang ingin memberi sepilin perhatian dari mereka? Tanpa sadar Hero bahkan menjauhi Lusie untuk sebuah ketidakpastian yang ia miliki.Perasaan bingung mengendap dalam hati. Ia menepuk kepala berulang kali dan menatap dirinya dalam pantulan cermin. Mata biru itu menatap tajam dengan bulu mata lentik yang kontras dengan alis tebalnya. Lagi-lagi bayangan itu menghampiri dirinya. Seperti sebuah sapaan yang tak pernah bosan untuk datang.“Kamu tidak makan?”“Hero?”Hero melangkah masu
Ujian berakhir pada pukul dua siang. Sama seperti siswa lainnya Lusie ikut mengambil tas dan berangsur pulang melewati kerumunan siswa yang masih berbincang membahas soal ujian. Tidak Lusie sangka bahwa ujian terakhir di hari sekolah itu akan menjadi ujian pertama dalam pertemanannya.Tak ada Falery yang mengganggunya saat pulang. Bahkan Farel tak menyapa sedikit pun meskipun mereka berada dalam kelas yang sama. Ini mengingatkan Lusie saat awal ia masuk sekolah formal di masa kecil. Tak ada yang mau mendekatinya karena takut akan dipukul Lusie.Sejak itu Lusie takut untuk berangkat ke sekolah. Bukan sebab dijauhi, tetapi pada faktanya ia lebih takut pada dirinya sendiri yang membawa ancaman untuk orang lain. Lusie menyadari setiap ia berkelahi satu diantara temannya akan berakhir di rumah sakit. Tak ada yang tahu darimana mereka berakhir seperti itu. Sebab Lusie tak pernah mengakui bahwa ia menyiksa temannya.Masa sulit itu kini sudah terlewat. Lusie mencoba unt
Langit menggelap—membawa gulungan awan hitam. Dari sana rintik hujan mulai berjatuhan. Bertemu dan menyapa bumi. Gemericiknya memecah keheningan. Mengetuk-ngetuk atap, pohon, juga bus yang melintas.Di tengah rintik hujan itu Hero tersadar. Bahwa bayangan Lusie hanyalah ilusi yang tak sengaja muncul di kepalanya. Nyatanya, itu hanyalah seorang anak SMA biasa yang menumpang duduk di sebelah.Hero memasang wajah dingin seperti tak mau disentuh dan diganggu oleh siapa pun. Ia menatap jendela, yang perlahan juga ikut terguyur air hujan. Meninggalkan bekas embun dan mengaburkan pandangan.Bus berhenti di halte kawasan A. Hero turun bergatian dengan para penumpang lainnya. Sementara itu, ia lupa membawa payung. Hero sengaja berjalan tanpa payung dan menikmati sentuhan rintik hujan.Entah kapan terakhir kali ia berjalan di bawah hujan seperti ini. Sejak SMA Hero sudah sulit untuk menemukan kebahagiannya. Fakta bahwa ia jarang bermain seperti anak biasa mem