Anika's past set her on a dangerous path, and finally, old enemies come back to haunt her. A prisoner of her new life and trying to escape the mysterious man whom she had for a moment considered her savior, Anika finds herself drawn into a world even darker than she thought possible. Klaus has what he wants, and as soon as he laid eyes on Anika, he had decided that he would do whatever it took to have her in her power, and fulfill his plan.
View More“Mayang! Ini kamu selesaikan setrikaannya. Ibu mau pergi rewang untuk pengajian dulu di rumah Ibu Mia!” Ketus Ibu mertuaku sambil menunjuk pakaian dua baskom besar yang belum tersentuh setrikaan.
Kerjaan seperti ini sudah biasa kulakukan setiap dua hari sekali. Ini belum termasuk cucian kotor seluruh keluarga.“Setelah itu, kamu siapkan makan siang. Itu ibu sudah belanja sayur bayam sama tempe, tahu. Terserah kamu mau masak apa yang penting harus ada sambelnya.” Titahnya sembari melotot ke arahku.Ibu punya dua orang menantu di rumah tapi anehnya, menantu yang satu, Farah tak pernah sekalipun diperintahnya seperti ia biasa melakukannya padaku.“Kerjanya jangan lelet karena semua orang butuh makan cepat, Suami mu tuh bangunin jangan malas-malas, suruh cari kerja sana!” Aku hanya bisa mengangguk saja mendengar omelannya.Akupun gegas menuju kamar tidur kami untuk membangunkan suamiku yang masih tertidur pulas di samping buah hati kami, Arthur.“Mas, bangun dulu … Ibu suruh cari kerja hari ini.” Suamiku, Mas Didik masih bergerak malas.Setelahnya, Aku lanjut menyetrika sebelum Arthur ikut terbangun dan memperlambat kerjaku.Aku memang harus mengerjakan segala sesuatunya sekilat mungkin, karena sebentar lagi anakku, Arthur yang berumur 3 bulan pasti bangun dan musti menyusu.Cucian piring sejak semalam sudah kukerjakan sehingga aku lebih fokus membersihkan rumah, memasak dan mengurus cucian saja pagi ini.Kurang lebih satu jam, akhirnya aku selesai dengan satu kerjaan. Aku lanjut merendam pakaian dan memotong sayuran sambil menggoreng tempe tahu yang sudah aku potong kotak-kotak. Tak lama Arthur bangun, aku meminta Mas Didik membantu ku selagi aku menyusui Arthur.Suamiku tanpa banyak bicara membantuku. Ia memang sangat rajin membantu pekerjaan rumahku selama ini. Maklum saja ia sudah menganggur selama setahun ini karena PHK di perusahaan tempatnya bekerja dulu dan sampai sekarang belum ada permohonan lamaran kerjanya yang membuatnya bekerja kembali.Sambil mencari kerja, biasanya suamiku membantu Bapaknya, Bambang di kebun menanam bibit pohon yang nantinya untuk dijual.“Kamu yang sabar ya, nanti kalau aku sudah punya kerjaan. Pasti kamu sama Arthur akan kubelikan pakaian dan makanan yang enak-enak.” Janji Mas Didik kala itu menenangkan, aku yang hanya bisa pasrah saat melihat menantu lainnya, Farah membeli barang-barang branded setiap bulannya.Farah, menantu lainnya di rumah ini sejatinya berasal dari keluarga kaya dan punya pekerjaan yang bagus sehingga tak heran aku yang hidupnya pas-pasan ditambah suami yang pengangguran membuat Ibu mertua lebih memfokuskan perhatian pada Farah sedangkan aku harus puas diperlakukan layaknya pembantu.Setelah selesai memasak dan mengerjakan semua pekerjaan, Aku masuk ke kamar untuk menidurkan Arthur kembali. Sebelum masuk kamar, kulihat Farah baru saja bangun tidur dan langsung ke kamar mandi.Itulah pekerjaan rutinnya, setiap bangun tidur dia langsung mandi dan bersiap-siap makan siang. Sementara aku masih berjibaku dengan anakku dan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya dengan baju yang masih berbau asam. Pukul tiga sore, Ibu Mertuaku pulang dan aku yang ikut tertidur di samping Arthur, kaget mendengar suara teriakannya.“Ampun! Ini sampah berhamburan. Dasar si Mayang ini menantu pemalas. Disuruh kerja malah enak-enakan tidur.” Kepalaku mendadak pusing namun tetap ku paksakan bangun dan menghampirinya.“Kamu kerjanya apa seharian, memangnya sampah ini bisa membersihkan sendiri dan masuk langsung ke tong sampah kalau hanya kamu lihatin, Coba lihat sampah berhamburan dan tai ayam dimana-mana.” Sungut Ibu mertuaku seraya menendang-nendang plastik-plastik yang bertebaran ke sana ke mari.Meski bingung dengan keadaan dapur, Aku mengambil sapu dan membersihkan sampah-sampah tadi. Aku sangat yakin sekali sudah menutup pintu dapur dengan menguncinya.Tadi saat membersihkan, semua sampah sudah kumasukkan ke dalam karung dan rencananya akan kubakar pada sore hari nanti. Pintu dapur memang harus ditutup setiap selesai bekerja sebab ayam tetangga selalu saja masuk dan mengotori dapur.Selama ini apapun perlakuan Ibu memang membuatku tak tahan, tapi karena keadaan membuat kami harus hidup menumpang dan bertahan dengan apapun perlakuan ibu mertua. Terkadang air mataku mengalir sambil mengerjakan perintahnya.“Makan siang yang ibu suruh buatkan mana?” tanyanya. Aku menunjuk tudung saji di meja makan. Begitu ibu membukanya, dia menoleh dengan pandangan tak senang. Begitu kuhampiri, aku kaget karena semua piring yang tadinya terisi penuh gorengan tempe, tahu juga sayur bayam dalam mangkuk, semuanya bersih dalam keadaan kosong.“Mana !! Ini kosong Mayang, Ibu ini lapar belum makan, Ini pasti kamu berdua sama Didik yang habiskan makanan. Terus orang rumah mau kamu suruh makan batu !” Hardiknya.“Mayang dan Mas Didik bahkan belum makan, Bu. Tadi selesai masak, Mayang menyusui Arthur di kamar sementara Mas Didik mulai pagi tadi bantu bapak menanam bibit.” Selaku membela diri.“Halahhh, alasan aja memang kalian berdua itu rakus, makan nggak ingat-ingat sama orang yang ada di rumah ini, sudah menganggur bikin beban keluarga aja, Capek ibu lama-lama lihat kalian berdua di rumah ini.” Katanya sambil berkacak pinggang.Astaghfirullah. Sebegitu teganya ibu mertuaku bilang begitu. Kami memang selalu dianggap sebagai beban hanya karena Mas Didik masih menganggur, meski kami berdua selalu mengerjakan pekerjaan rumah sekalipun, tak pernah dianggap apalagi dihargainya. Aku hanya bisa menunduk dan memandang kosong. Lelah rasanya ingin menangis.Air mataku sudah sangat jarang menetes lagi, rasanya semakin kebal dengan kata-kata kasar dari mulut mertuaku ini. Dulu, saat Mas Didik bekerja dan kami sering membelikan kebutuhan di rumah ini. Perlakuan ibu sangat baik bahkan dari mulutnya sendiri berucap bahwa aku dianggapnya sebagai anak sendiri.“Tidak ada menantu di rumah ini, yang ada hanya anak. Jadi kamu Mayang pasti ibu anggap sebagai anak sendiri, ya kan, Pak?” Bapak mertuaku tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan kata-kata ibu.Tapi itu tak bertahan lama, begitu aku mengandung dan ia ketahui anakku laki-laki. Seketika dia mulai berubah sampai Arthur lahir tak sekalipun mau ia gendong. Alasannya klise, hanya karena sudah terbiasa punya anak laki-laki maka cucu laki-laki membuatnya malas.Ia menginginkan cucu perempuan saja. Keadaan semakin diperparah ketika Mas Didik tak bekerja. Kesengsaraan semakin lengkap menderaku.“Ibu maunya cucu perempuan, kalau laki-laki buat apa !! Ibu sudah punya tiga anak laki-laki.” Aku hanya mengusap dada mendengarnya waktu itu.Aku pikir itu hanya perkataannya sementara saja, namun hal itu berkelanjutan hingga sekarang dan terbukti dengan perilakunya pada kami.Saat kerepotan mengurus rumah, ada kalanya aku meminta bantuannya menggendong Arthur sebentar saja tapi langsung ditolaknya.“Nanti dia kencing dan BAB, ibu ini mau salat, kasih aja sama bapaknya sana,” Akhirnya aku menggendong Arthur sambil menyelesaikan kerjaan, karena Mas Didik masih sibuk di kebun bersama bapaknya.Memang cukup berbahaya membawa anak sambil memasak, namun apa boleh buat jika tidak segera dikerjakan maka omelan dan caci maki ibu mertua akan terdengar sampai rumah tetangga. Tetanggaku saja sampai hapal dengan kebiasaannya.Yang lebih mengesalkan lagi, saat ibu mengadakan pengajian di rumah. Mulai dari kegiatan bebersih rumah sampai memasak diserahkan sepenuhnya kepadaku. Sementara menantu satunya tidak boleh diganggu gugat dengan alasan dia sibuk dan capek karena seharian bekerja.Farah bekerja di salah satu salon kecantikan, sementara suaminya bekerja sebagai mandor di peternakan. Sedangkan adik iparnya yang terakhir, Iwan masih bekerja sebagai tenaga administrasi di sekolah swasta.“Besok di pengajian Ibu mau bikin lontong sayur sama kue basah, Mayang coba kamu catat apa saja bahan yang harus ibu beli di pasar,” Aku yang memang pandai memasak sejak masih gadis, tak kesulitan mencatat bumbu dan bahan yang harus dibeli.“Acaranya jam empat sore, jadi semua harus siap sebelum jamnya ya, Ibu mau ke tempat Bu Ida dulu nanti Ibu kembali.” Ibu menyerahkan semua belanjaan saat dia sudah pulang dari pasar dan aku mulai mengolahnya berjibaku di dapur.Mas Didik yang melihatku kerepotan harus mengurus semua masakan sendiri untuk 40 orang di pengajian, membantuku menggelar ambal, menyusun minuman gelas dan melipat tisu. Dan setengah jam sebelum acara, Ibu pun baru pulang dengan santainya.“Sudah selesai semuanya?” Aku hanya mengangguk. Badan rasanya lelah sekali. Dia memperhatikan dengan senyum karena semua lontong sayur sudah lengkap, ditambah kue kelepon, bebongko dan tahu isi yang sudah siap di meja prasmanan.Ia segera menuju kamar mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi yang tak jauh dari dapur. Setelah lima belas menit, dia ke luar dan masuk ke dalam kamar. Tak lama diapun siap menyambut tamu pengajiannya dengan senyum ramahnya. Senyum yang tak pernah ia tunjukkan di hadapanku.“Ayo Ibu-ibu silahkan diicip-icip rasa masakan saya, gimana enak nggak?” Suara ibu terdengar hingga ke dapur.Aku dan suami saling berpandangan, kami masih sibuk memotong lontong. Kami berdua Mas Didik stand by menunggu perintah ibu selanjutnya. Sementara ibu berdua dengan Farah menghadap para tamu pengajian.“Ini enak sekali loh, Bu Sutinah. Diam-diam ternyata Ibu pandai sekali memasak dan bikin kuenya, ini yang berbungkus daun pisang …kue apa namanya.” Terdengar suara Ibu Ida, teman ibu.“Itu nogosari, biasalah kue orang jawa.” Tapi begitu bungkus dibuka ternyata bukan nogosari. Isinya kue bebongko, seketika wajah Ibu pias karena malu dan ibu pasti lupa bertanya padaku kue apa yang ada dalam daun pisang tadi.“Loh, nogosari kok warnanya hijau dan rasanya ini seperti kue bebongko, itu loh kue khas Banjarmasin.” Ibu cengegesan mengetahui kue dalam pisang bukanlah sesuai harapannya.“Iya ini namanya bebongko, Bu. Gimana sih buat kue sendiri tapi lupa namanya.” Ibu tersenyum kecut saat ibu-ibu lain yang justru tahu nama kue yang kubuat.The Wagner's funeral would be televised, which made Anika uneasy. She knew that the fact that Viktoria was now officially with her would not bring about good opinions regarding the adoption. However, Klaus had insisted that showing up and facing the situation would be the best for everyone, not to mention that Viktoria had the right to attend and see her relatives.While getting the girl ready, Anika couldn't help but think that maybe staying away from her would have been the best choice. Even if she wasn't responsible for the Wagner's death, she couldn't help but feel a pang of guilt. After all, if it weren't for her, the Wagners would have returned home, and Viktoria would still be a happy little girl. Even if she didn't know the truth, it was the only way Anika could imagine her daughter being completely happy.She dressed the little girl in the same way Adeline used to, with a black tulle dress and a small bow at her back. Her hair was tied up in a ponytail. Anika herself wore a d
Anika's hands trembled uncontrollably as she looked at the small urn in front of her. Her legs gave way completely, a sense of weight settling in her chest, and the pain, raw like that first day, along with the memories, hit her abruptly. She carefully took the urn, it was light, perhaps too light, but she cradled it against her chest as tears fell down her cheeks, and a cry of pain escaped her lips. "My baby," she cried as she kissed the lid of the urn, while memories forcefully invaded her. For years, she had done everything possible to push away the pain, to hide it in the deepest part of her mind, just like the things Mark had done to her, deceiving herself and forcing herself to remember only what was necessary to not lose herself in madness, in the pain that now invaded her. The memory of her little son and what she had suffered to bring him into the world came rushing back. Closing her eyes, she thought of the feeling of holding him in her arms, the adorable laughter she had on
Anika was startled by the sensation of Klaus sliding into bed next to her, all the anxiety and tension she had been feeling for days finally disappearing as she felt the man's arms around her body. "You're back," she said, her eyes filling with tears of relief as she clung tightly to his chest. Klaus looked tired, but he hugged her back tightly. "Is everything okay?" she asked. "It will be now," he assured her, taking a deep breath. "I took care of Gregory, Otto is not happy, but Ryan is somewhat... rational about his brother." "So, he did it? Was it him...?" she asked, swallowing hard, not daring to say the words outright. Klaus ran a hand over his face, the dark bags under his bloodshot eyes were prominent. "My men are searching the hangar right now... Your father fulfilled his part of the deal, and Constantine backed off... I asked Vlad to bring Viktor's ashes here," he added, gently stroking her face. Anika felt a knot in her chest and nodded. "Would you like to know what's in
Klaus got out of the car, furious, pulling Gregory along with him. Vlad and Igor had done their job and had recovered the son of a bitch, who was probably under the influence of something judging by the shitty smile on his bloodied lips. Otto, his brother, was waiting for him in the cellar, clenching his lips as he watched them with a tight jaw. "I told you to control him," Klaus growled, pushing Gregory towards his brother. The younger Urich was battered and had a deranged look on his face, but he stumbled into Otto and fell to the floor, pointing an accusing finger at him and spitting in his direction. "He killed three of my men, sold the damn weapons to the Kasakovs." "Are you crazy?" Otto asked, looking at his brother, his face turning red. Gregory spat. "I only did what you and Ryan refused to do," he complained. "Too scared of the Petrovs to get the money." "Shut the fuck up," Otto growled, hitting his brother in the face and pushing him against the wall, causing him to stum
She had managed to process what had happened; her heart sank immediately at the memory of the Wagners. Even though she had been tempted to permanently keep Viktoria away from them, knowing that her little one would not only have to endure being separated from them but also her death, even if she was too young to truly remember, made her heart ache. To make her daughter suffer so early in life caused her heart to constrict with pain."Klaus?" she asked as she sat up. She was on a couch that seemed vaguely familiar. After leaving the police station, she had tried to get some sleep in the hotel room Klaus had arranged, but it wasn't long before they had to move again. All the movement was mainly exhausting for little Viktoria."Shhh, I'm here," Klaus said as he approached her. They were in a small but comfortable room. Klaus knelt in front of her, with dark circles under his eyes. He wore the same shirt as the day before, though without a tie and unbuttoned. His hair was disheveled. "Are
Klaus left Anika and Viktoria to rest in the room before meeting with Igor. According to his man, all the guards were under investigation, so the unnecessary attention from the police had quickly raised his father's alarms. Mikhail called around five in the morning, sounding angry."What the hell is Constantine doing searching your house?" his father asked with an annoyed shout."Take it easy, I have nothing incriminating in the penthouse," Klaus assured, taking a cigarette from the pack that Igor handed to him. He took a deep drag, grateful for the nicotine to relieve the stress, and sank into the sofa."How the hell did you let this happen?" his father insisted. "Constantine right under our damn noses," he grumbled. "You're lucky the lawyer found a way to get you out of there.""I can handle it," Klaus insisted. "I had nothing to do with this shit... although it's suspiciously convenient. I need Ixander. I'm sure they're watching me. For anything else, Igor and Vlad will go in my pl
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments