Share

bab 2

Deggg!

Jantungku nyaris berhenti berdetak saat aku melihat penampakan anak yang sedang terbaring di ruang tengahku itu. Aku nyaris memekik dan segera memalingkan wajah ke kiri.

"Bu, bu Sulis, bagaimana Bu?" tanya Pak Slamet membuatku seolah tersadar kembali.

Dengan perlahan dan tubuh gemetar, aku menoleh ke arah jasad itu dan ternyata jasad itu tidak bergerak sama sekali. Kepala nya tetap terbaring di atas kain sarung yang dilipat dengan rapi sebagai pengganti bantal.

Aku menghela nafas berat. 'Apakah tadi halusinasi atau benar-benar ada jin di sekitar rumah ini?' batinku.

"Silakan mandikan saja jasad anak ini dengan baik. Saya tetap tidak yakin bahwa anak ini adalah anak saya. Karena ada ciri fisik tubuh mereka yang tidak sesuai," sahutku lirih.

Terlihat gumaman-gumaman tidak jelas di ruangan ini.

"Mungkin karena masih syok dan tidak siap, makanya Bu Sulis menyangkal bahwa jasad ini bukan jasad Damar," sahut salah seorang pelayat.

"Kalau begitu, biar jelas siapa jasad ini, lebih baik kalian mandikan saja. Dan kalian akan tahu siapa jasad ini," sahutku yakin. "Dan sebagai bukti pertama bahwa anak ini bukan Damar, aku akan menelepon guru Damar dan menegaskan bahwa saat ini Damar sedang berada di sekolahnya untuk persiapan Persami nanti malam. Damar sudah berangkat dari tadi setelah dhuhur," lanjutkan lagi.

Aku lalu merogoh ponsel yang ada di saku daster dan menekan nomor Pak Eko, guru penanggung jawab latihan Pramuka.

Aku dan semua orang yang ada di ruang tengah menunggu dengan tegang nada dering berganti dengan suara manusia karena aku mengaktifkan pengeras suara.

"Assalamualaikum."

Suara pak Eko membuat semua pelayat tampak antusias.

"Waalaikumsalam. Pak Eko, ini Bu Sulis. Wali murid Damar Prasetyo, kelas enam A. Saya cuma ingin memastikan apa Damar mengikuti kegiatan dengan baik?" tanya ku menatap ke masing-masing pelayat yang tidak percaya pada keterangan ku secara bergantian.

"Ah, Bu Sulis. Kebetulan ibu telepon. Saya baru saja akan menanyakan kemana Damar kok nggak datang ke acara Persami, Bu. Sejak awal acara pemilihan regu dan mendirikan tenda sudah tidak datang. Baru ketahuan tidak hadir saat acara absensi oleh ketua kelasnya. Saya kira Damar sakit."

Aku melongo. Ponsel yang tergenggam di tangan ku meluncur jatuh begitu saja menghantam lantai.

Beruntung ponsel android warisan dari almarhum mas Abdi suamiku tidak pecah. Aku buru-buru memungut benda pipih hitam itu.

"Halo, pak Eko! Pak Eko!"

Tidak terdengar suara dari pak Eko lagi. Dengan tangan gemetar aku memeriksa pulsa dan paket data.

'Astaghfirullah! Sudah habis! Pantas tidak terkoneksi lagi panggilan telepon ku.'

Aku menoleh dengan hati berdebar pada jasad kaku di tengah ruangan itu. 'Kalau jasad itu bukan jasad Damar, dan Damar tidak berada di sekolahnya, lantas dimana Damar? Dan kenapa anak ini memakai seragam sekolah Damar?' batinku bingung.

Selintas pikiran buruk segera memasuki pikiran ku.

"Bu, saya tahu ini berat. Ikhlaskan yang terjadi. Mungkin saat perjalanan ke sekolah, Damar bermain-main di sungai lalu tenggelam. Lebih baik jenazah Damar segera dimandikan saja," saran pak Slamet.

Aku menghela nafas berat. Memang benar, jenazah ini harus dimandikan agar bersih dan semua orang di sini tahu kalau anak ini bukan Damar.

"Bu, Bu Sulis. Hari sudah lewat Maghrib. Seharusnya jenazah harus cepat disemayamkan agar tidak terlalu malam. Apa mungkin menunggu sanak keluarga yang akan datang kemari?" tanya pak Broto.

Aku menggeleng. "Tidak. Saya dan suami anak tunggal dan orang tua kami sudah meninggal. Tolong mandikan anak itu. Sekali lagi saya menolak untuk ikut memandikannya karena saya yakin anak ini bukan keluarga saya," sahutku tegas walaupun dalam hati masih bertanya-tanya dimana Damar.

Para pelayat itu meskipun masih bertanya-tanya tapi dalam hati, tapi mereka melakukan apa yang kuminta.

Jasad anak itu pun dibawa ke sumur oleh mereka dan dimandikan. Setelah ini mereka pun membawa jenazah itu kembali ke ruang tengah.

Aku melihat wajah para pelayat mendadak aneh saat membawa tubuh kaku anak itu ke ruang tengah. Kutatap mereka satu-persatu.

"Wajah anak itu sudah bersih dari darah kan?"

Aku berjalan mendekat ke arah anak itu dibaringkan. Orang-orang menjauh dan memberikan ku tempat untuk maju. Aku menguatkan diri untuk menarik jarik penutup wajah nya. Aku yang awalnya ragu anak ini adalah Damar sekarang bertambah bingung, jika anak ini bukan Damar, siapa anak ini dan kenapa dia memakai baju Damar? Lalu dimana Damar sekarang?

Aku menyingkap jarik yang menutupi wajah anak itu. Sekarang tidak ada lagi darah yang mengotori wajahnya. Meskipun luka-luka gores di wajah nya tetap terlihat, tapi wajahnya yang bersih dari darah sangat jelas menunjukkan dia bukan Damar.

Antara lega dan bingung aku menatap wajah para warga yang sekarang berdiri di hadapan ku.

"Jadi kalian bisa melihat sendiri kan? Dia bukan Damar! Dia pasti anak orang lain yang namanya sama dengan anakku. Aku tidak mau tahu kalian lah yang harus bertanggung jawab untuk memakamkan anak ini agar dia cepat pergi dari rumahku!" pintaku pada para pelayat.

***

Aku masih memegangi ponsel dengan kecewa. Terlalu malam untuk melapor kepada pihak berwajib tentang Damar yang menghilang.

Para pelayat telah pergi. Tapi aroma kapur barus dan parfum khusus jenazah seolah tak mau pergi dari rumahku.

Aku merebahkan tubuh di ranjang, di samping Dinda yang sudah tertidur lelap. Mendadak aku merasa begitu kesepian. Air mata meleleh lagi memikirkan dimana anak sulungku sekarang.

Mendadak terdengar senandung lagu secara samar dari luar kamarku. Lagu kesukaan Damar yang sering dinyanyikan nya saat adiknya menangis.

"Satu satu, aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ayah. Tiga tiga sayang adik kakak, satu dua tiga, sayang semuanya."

Aku menghela nafas dan menegakkan badan. Tegang dan penuh harap saat mendengar suara samar itu.

Aku berdiri dan melangkah perlahan keluar dari kamar menuju ke arah kamar Damar.

Suara itu semakin terdengar jelas. Jantung ku mulai berdebar tak karuan saat aku menyentuh handle pintu kamar Damar. Apakah Damar sudah masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan ku?

Kriett!

Pintu kamar Damar yang telah tua dan aus terbuka perlahan menimbulkan bunyi berisik.

Lagu itu berhenti terdengar dan aku hampir terlompat saat melihat Damar dari arah belakang duduk di ranjang menghadap ke arah dinding. Anak sulung ku itu memakai baju seragam dan terdiam. Aku melangkah mendekatinya.

"Damar, kamu darimana saja, Nak? Kenapa kamu tidak ikut kegiatan PERSAMI?" Tanyaku.

Kuulurkan tangan ke arahnya. Dan sebelum tanganku sempat meraih tubuhnya, perlahan Damar menoleh dan membalikkan badannya ke arahku.

"Aaarrgghhhh!!!!"

Aku menjerit sekuat-kuatnya saat menyadari Damar melihatku tanpa mata dengan wajah penuh darah.

"Ibuuu! Tolong aku! Mereka jahat! Tolong aku, Bu! Di sini aku kesepian!"

Mendadak Damar terbang dari ranjang menuju ke arahku dengan mengulurkan kedua tangannya!

Next?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status