Deggg!
Jantungku nyaris berhenti berdetak saat aku melihat penampakan anak yang sedang terbaring di ruang tengahku itu. Aku nyaris memekik dan segera memalingkan wajah ke kiri."Bu, bu Sulis, bagaimana Bu?" tanya Pak Slamet membuatku seolah tersadar kembali.Dengan perlahan dan tubuh gemetar, aku menoleh ke arah jasad itu dan ternyata jasad itu tidak bergerak sama sekali. Kepala nya tetap terbaring di atas kain sarung yang dilipat dengan rapi sebagai pengganti bantal.Aku menghela nafas berat. 'Apakah tadi halusinasi atau benar-benar ada jin di sekitar rumah ini?' batinku."Silakan mandikan saja jasad anak ini dengan baik. Saya tetap tidak yakin bahwa anak ini adalah anak saya. Karena ada ciri fisik tubuh mereka yang tidak sesuai," sahutku lirih.Terlihat gumaman-gumaman tidak jelas di ruangan ini."Mungkin karena masih syok dan tidak siap, makanya Bu Sulis menyangkal bahwa jasad ini bukan jasad Damar," sahut salah seorang pelayat."Kalau begitu, biar jelas siapa jasad ini, lebih baik kalian mandikan saja. Dan kalian akan tahu siapa jasad ini," sahutku yakin. "Dan sebagai bukti pertama bahwa anak ini bukan Damar, aku akan menelepon guru Damar dan menegaskan bahwa saat ini Damar sedang berada di sekolahnya untuk persiapan Persami nanti malam. Damar sudah berangkat dari tadi setelah dhuhur," lanjutkan lagi.Aku lalu merogoh ponsel yang ada di saku daster dan menekan nomor Pak Eko, guru penanggung jawab latihan Pramuka.Aku dan semua orang yang ada di ruang tengah menunggu dengan tegang nada dering berganti dengan suara manusia karena aku mengaktifkan pengeras suara."Assalamualaikum."Suara pak Eko membuat semua pelayat tampak antusias."Waalaikumsalam. Pak Eko, ini Bu Sulis. Wali murid Damar Prasetyo, kelas enam A. Saya cuma ingin memastikan apa Damar mengikuti kegiatan dengan baik?" tanya ku menatap ke masing-masing pelayat yang tidak percaya pada keterangan ku secara bergantian."Ah, Bu Sulis. Kebetulan ibu telepon. Saya baru saja akan menanyakan kemana Damar kok nggak datang ke acara Persami, Bu. Sejak awal acara pemilihan regu dan mendirikan tenda sudah tidak datang. Baru ketahuan tidak hadir saat acara absensi oleh ketua kelasnya. Saya kira Damar sakit."Aku melongo. Ponsel yang tergenggam di tangan ku meluncur jatuh begitu saja menghantam lantai.Beruntung ponsel android warisan dari almarhum mas Abdi suamiku tidak pecah. Aku buru-buru memungut benda pipih hitam itu."Halo, pak Eko! Pak Eko!"Tidak terdengar suara dari pak Eko lagi. Dengan tangan gemetar aku memeriksa pulsa dan paket data.'Astaghfirullah! Sudah habis! Pantas tidak terkoneksi lagi panggilan telepon ku.'Aku menoleh dengan hati berdebar pada jasad kaku di tengah ruangan itu. 'Kalau jasad itu bukan jasad Damar, dan Damar tidak berada di sekolahnya, lantas dimana Damar? Dan kenapa anak ini memakai seragam sekolah Damar?' batinku bingung.Selintas pikiran buruk segera memasuki pikiran ku."Bu, saya tahu ini berat. Ikhlaskan yang terjadi. Mungkin saat perjalanan ke sekolah, Damar bermain-main di sungai lalu tenggelam. Lebih baik jenazah Damar segera dimandikan saja," saran pak Slamet.Aku menghela nafas berat. Memang benar, jenazah ini harus dimandikan agar bersih dan semua orang di sini tahu kalau anak ini bukan Damar."Bu, Bu Sulis. Hari sudah lewat Maghrib. Seharusnya jenazah harus cepat disemayamkan agar tidak terlalu malam. Apa mungkin menunggu sanak keluarga yang akan datang kemari?" tanya pak Broto.Aku menggeleng. "Tidak. Saya dan suami anak tunggal dan orang tua kami sudah meninggal. Tolong mandikan anak itu. Sekali lagi saya menolak untuk ikut memandikannya karena saya yakin anak ini bukan keluarga saya," sahutku tegas walaupun dalam hati masih bertanya-tanya dimana Damar.Para pelayat itu meskipun masih bertanya-tanya tapi dalam hati, tapi mereka melakukan apa yang kuminta.Jasad anak itu pun dibawa ke sumur oleh mereka dan dimandikan. Setelah ini mereka pun membawa jenazah itu kembali ke ruang tengah.Aku melihat wajah para pelayat mendadak aneh saat membawa tubuh kaku anak itu ke ruang tengah. Kutatap mereka satu-persatu."Wajah anak itu sudah bersih dari darah kan?"Aku berjalan mendekat ke arah anak itu dibaringkan. Orang-orang menjauh dan memberikan ku tempat untuk maju. Aku menguatkan diri untuk menarik jarik penutup wajah nya. Aku yang awalnya ragu anak ini adalah Damar sekarang bertambah bingung, jika anak ini bukan Damar, siapa anak ini dan kenapa dia memakai baju Damar? Lalu dimana Damar sekarang?Aku menyingkap jarik yang menutupi wajah anak itu. Sekarang tidak ada lagi darah yang mengotori wajahnya. Meskipun luka-luka gores di wajah nya tetap terlihat, tapi wajahnya yang bersih dari darah sangat jelas menunjukkan dia bukan Damar.Antara lega dan bingung aku menatap wajah para warga yang sekarang berdiri di hadapan ku."Jadi kalian bisa melihat sendiri kan? Dia bukan Damar! Dia pasti anak orang lain yang namanya sama dengan anakku. Aku tidak mau tahu kalian lah yang harus bertanggung jawab untuk memakamkan anak ini agar dia cepat pergi dari rumahku!" pintaku pada para pelayat.***Aku masih memegangi ponsel dengan kecewa. Terlalu malam untuk melapor kepada pihak berwajib tentang Damar yang menghilang.Para pelayat telah pergi. Tapi aroma kapur barus dan parfum khusus jenazah seolah tak mau pergi dari rumahku.Aku merebahkan tubuh di ranjang, di samping Dinda yang sudah tertidur lelap. Mendadak aku merasa begitu kesepian. Air mata meleleh lagi memikirkan dimana anak sulungku sekarang.Mendadak terdengar senandung lagu secara samar dari luar kamarku. Lagu kesukaan Damar yang sering dinyanyikan nya saat adiknya menangis."Satu satu, aku sayang ibu. Dua dua juga sayang ayah. Tiga tiga sayang adik kakak, satu dua tiga, sayang semuanya."Aku menghela nafas dan menegakkan badan. Tegang dan penuh harap saat mendengar suara samar itu.Aku berdiri dan melangkah perlahan keluar dari kamar menuju ke arah kamar Damar.Suara itu semakin terdengar jelas. Jantung ku mulai berdebar tak karuan saat aku menyentuh handle pintu kamar Damar. Apakah Damar sudah masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan ku?Kriett!Pintu kamar Damar yang telah tua dan aus terbuka perlahan menimbulkan bunyi berisik.Lagu itu berhenti terdengar dan aku hampir terlompat saat melihat Damar dari arah belakang duduk di ranjang menghadap ke arah dinding. Anak sulung ku itu memakai baju seragam dan terdiam. Aku melangkah mendekatinya."Damar, kamu darimana saja, Nak? Kenapa kamu tidak ikut kegiatan PERSAMI?" Tanyaku.Kuulurkan tangan ke arahnya. Dan sebelum tanganku sempat meraih tubuhnya, perlahan Damar menoleh dan membalikkan badannya ke arahku."Aaarrgghhhh!!!!"Aku menjerit sekuat-kuatnya saat menyadari Damar melihatku tanpa mata dengan wajah penuh darah."Ibuuu! Tolong aku! Mereka jahat! Tolong aku, Bu! Di sini aku kesepian!"Mendadak Damar terbang dari ranjang menuju ke arahku dengan mengulurkan kedua tangannya!Next?Aku ingin menjerit sekuat tenaga tapi suaraku tak sedikit pun bisa keluar dari tenggorakan. Aku hanya bisa tercengang dengan jantung yang berdebar kencang melihat Damar di hadapan ku. Anak itu memegang bahuku dengan mulut ternganga dan wajah tanpa mata. Cairan hitam berbau anyir mengalir dari mulutnya. "Ibuuuu, aku rinduuu padamu! Tolong cari jasadku, Bu! Aku kedinginan di sini!" bisiknya lirih. Aku terdiam dan terpaku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin memeluk dan menenangkan nya tapi aku takut. Tunggu, tapi apa katanya tadi, cari jasadku? Berarti Damar sudah ma ti?"Huhuhu!"Anak itu bersuara menangis tanpa air mata. Suara nya bergema memenuhi ruangan kamar.Otakku membeku dan aku tidak bisa berpikir lagi. Antara ragu, takut, dan rindu. Aku ingin mengusirnya tapi di saat yang sama aku ingin menahan dan memeluk nya agar tidak pergi. Ingin membacakan surat pengusir setan, An-Nas, Al-Falaq, dan ayat kursi, tapi mendadak aku lupa semua surat dan ayat yang pernah kuhapal.
Mobil pak Slamet melaju meninggalkan rumahku dan aku terkejut saat melihat Damar tanpa mata yang berpegangan di bemper belakang mobil Pak Slamet sambil 'menatap' dan menyeringai ke arahku!Aku terkejut dan mengucek mataku lalu melihat ke arah mobil pak Slamet dan ternyata Danang sudah menghilang. Aku menghela nafas dan duduk di anak tangga yang terbuat dari adukan semen dengan menopang dagu pada tangan kiri serta bersandar pada tembok rumah, mencoba memikirkan apa yang baru saja terjadi seharian ini. Tapi semakin dipikirkan, bukannya ketemu jawabannya, justru kepalaku terasa semakin pening. Nyeri ini seakan menggigiti kepalaku. Desau angin malam membuat pikiran ku semakin gelisah membayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi pada Damar. "Assalamualaikum."Aku nyaris berjingkat saat mendengar suara salam. Dengan segera aku menoleh ke asal suara dan tampak lah mbok Darmi dan Surti, anak angkat mbok Darmi satu-satunya yang masih berusia 19 tahun. "M-mbok Darmi?" tanyaku kelu. Saking
Beberapa saat gadis itu berada di dalam kamar mandi, mendadak terdengar jeritan nya. "Aaaaaaargggghhhh! Jangaaaaan!!!"Suara Surti begitu keras, sehingga aku dan mbok Darmi terkejut dan saling berpandangan. Kami sontak berdiri dan menuju ke kamar mandi. Mbok Darmi menggedor pintu kamar mandiku yang terbuat dari seng sehingga terdengar berisik."Sur! Surti! Kamu ngapain di dalam? Ayo keluar dari kamar mandi!"Suasana hening sejenak. Tapi entah kenapa bulu kudukku meremang. Mendadak terdengar suara tangisan yang menyayat dari mulut Surti. "Tolong aku, Bu! Cari jasadku, Bu! Mereka jahat! Huhuhuhu!Aku menelan ludah. Hanya satu pikiran yang terlintas di benakku. Surti kesurupan!"Sulis, apa kamu keberatan kalau pintu ini kudobrak? Sepertinya Surti kesurupan!""Iya, Mbok. Dobrak saja. Daripada ada apa-apa dengan Surti," sahutku. "Lagi pula kayu tempat menempelnya engsel pintu ini sudah aus dan keropos, pasti mudah untuk mendobraknya."Mbok Darmi menatapku. "Ayo bantu aku, Lis."Aku me
POV penulis "Waalaikumsalam, pak Eko. Apa pak Eko mempunyai kenalan seorang polisi? Damar hilang dan sampai sekarang belum pulang ke rumah.""Astaghfirullah! Jadi Damar hilang, Bu?""Benar, Pak. Damar hilang dan belum ditemukan sampai sekarang. Saya bingung harus mencari kemana," sahut Sulis nyaris putus asa. Suasana di seberang telepon hening sejenak. Tapi terdengar secara samar, pak Eko seperti berbicara dengan orang di samping nya."Hm, besok kami akan ke rumah Damar setelah acara Persami ini selesai, Bu. Walaupun mungkin Damar tidak hilang di sekolah, tapi kami pihak sekolah juga ingin ikut serta membantu mencari anggota sekolah yang hilang. Kalau tentang anggota polisi, kebetulan sepupu saya adalah salah satu anggota polres. Saya akan mengajak saudara sepupu saya untuk ke rumah Damar juga.""Terimakasih, Pak. Terima kasih sekali. Saya akan sangat menantikan kehadiran bapak dan ibu guru Damar," sahut Sulis lega. Jujur saja saat ada seseorang yang bisa dipercaya mau membantunya,
Sulis seketika terkesiap mendengar penuturan guru pembina Pramuka tersebut. Tapi secercah harapan muncul dengan keterangan dari pak Eko. "Apa benar yang bapak katakan barusan?" tanya Sulis menegaskan. "Iya benar. Untuk lebih jelas dan detailnya, saya akan langsung datang dengan sepupu saya nanti. Saya telepon hanya untuk memastikan kalau Bu Sulis ada di rumah," sahut Pak Eko. "Iya saya ada di rumah, Pak. Saya tunggu kedatangan nya," sahutku. Pak Eko lalu mengakhiri panggilan telepon. Mbok Darmi menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. "Siapa yang telepon, Lis?" "Guru Pramuka Damar, Mbok. Oh ya, ayo makan, Mbok? Masa aku makan sendiri."Mbok Darmi terdiam lalu menarik kursi kayu di hadapannya dan mendudukinya. "Kamu beneran bisa makan dengan menggendong anak kamu?""Bisa, Mbok. Aku sudah biasa melakukan nya."Mbok Darmi terdiam sejenak. "Kalau tentang yang guru Damar, kapan mereka akan kemari?""Nanti, mbok. Saya juga tidak bertanya jam pastinya."Aku melanjutkan makan dan
Pak Raden menghela nafas panjang. "Kalau begitu kuburan anak itu harus dibongkar dan mayatnya harus dikeluarkan karena keluarga anak itu juga sedang mencarinya!" Sulis terhenyak. 'Bongkar makam? Hal itu tidak pernah dilakukan di desa ini. Bisa-bisa dia dan polisi ini diprotes oleh warga desa. Bagaimana ini?' batin Sulis bingung. "Tapi pak, di desa ini tidak pernah ada makam dibongkar. Saya takut kalau ada makam yang dibongkar, akan menimbulkan pro dan kontra. Lagipula, belum tentu anak yang hilang itu adalah anak dari tetangga sebelah kan?" tanya Sulis ragu. Pak Raden menatap Sulis dengan serius. "Bu Sulis, ibu sudah memastikan sendiri kan kalau anak yang ditemukan di rumah ini adalah anak yang sama dengan yang ada di galeri ponsel saya, hal itu bisa menjadi alasan kuat bagi kepolisian untuk membongkar makam anak itu. Saya akan pulang ke polres dan kembali ke desa ini segera. Saya akan berusaha membantu bu Sulis dan orang-orang yang anaknya hilang. Saya curiga ada sesuatu yang leb
Tapi alangkah terkejutnya Sulis, saat dia melihat bunga tujuh rupa dalam nampan yang telah layu, dua botol kendi dari tanah liat, dan kemenyan dalam sebuah tempayan kecil dari tanah liat yang apinya telah padam. Sulis menelan ludah. "Hah? Ada apa ini di kamar mbok Darmi? Bukan kah benda-benda ini adalah barang-barang yang biasanya dipakai oleh dukun di tivi-tivi?" gumam Sulis kaget. Dia semakin berjinjit agar bisa melihat sekeliling nya kamar mbok Darmi untuk mencari petunjuk. "Lha kok sepi. Kemana mbok Darmi membawa Adinda?" gumam Sulis kelu. Berbagai pikiran buruk melintas di dalam kepalanya. Sulis bermaksud untuk membuka jendela kamar itu saat kakinya terpeleset.Bruggghhh! "Awwww!!"Sulis memekik saat pant*tnya terjatuh di tanah. Dia mendesis kesakitan saat berusaha berdiri dari tempatnya terjatuh. Perempuan itu mengibas-ngibaskan rok nya lalu kembali ke teras rumahnya yang hanya berjarak dua ratus meter dari rumah mbok Darmi. Dengan lemas, Sulis duduk di anak tangga rumahny
Sulis segera membaca ayat kursi, surat Al-Ikhlas, An-Nas dan Al-Falaq bersamaan dengan dada berdebar. Dan bacaannya semakin keras saat bola api itu melaju ke arahnya dengan cepat!"Allahuakbar!" pekik Sulis seraya memejamkan mata dan berjongkok di samping ranjang Adinda. "Ibu!"Mendadak terdengar suara Damar yang muncul di hadapan Sulis. Damar yang muncul tanpa mata itu berdiri dan merentangkan kedua tangannya seolah menghalangi banaspati untuk menyerang ibunya. Mulut Damar membentuk huruf 0 dan meniupkan angin yang keluar dari mulutnya sehingga mengusir banaspati itu. Banaspati itu berbalik dari hadapan Damar lalu melayang-layang di sekitar kamar Sulis. Sulis memperhatikan banaspati itu dengan tegang. Dia teruskan membaca ayat kursi dan surat-surat pendek lainnya yang dihapalnya di luar kepala. Bahkan Damar pun ikut membacanya. Tak berapa lama berselang, banaspati itu terbang keluar dari kamar Sulis.Sulis menghela nafas lega. Sosok yang mirip Damar di hadapan nya membalikkan bada