Aku ingin menjerit sekuat tenaga tapi suaraku tak sedikit pun bisa keluar dari tenggorakan.
Aku hanya bisa tercengang dengan jantung yang berdebar kencang melihat Damar di hadapan ku. Anak itu memegang bahuku dengan mulut ternganga dan wajah tanpa mata. Cairan hitam berbau anyir mengalir dari mulutnya."Ibuuuu, aku rinduuu padamu! Tolong cari jasadku, Bu! Aku kedinginan di sini!" bisiknya lirih.Aku terdiam dan terpaku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin memeluk dan menenangkan nya tapi aku takut. Tunggu, tapi apa katanya tadi, cari jasadku? Berarti Damar sudah ma ti?"Huhuhu!"Anak itu bersuara menangis tanpa air mata. Suara nya bergema memenuhi ruangan kamar.Otakku membeku dan aku tidak bisa berpikir lagi. Antara ragu, takut, dan rindu. Aku ingin mengusirnya tapi di saat yang sama aku ingin menahan dan memeluk nya agar tidak pergi. Ingin membacakan surat pengusir setan, An-Nas, Al-Falaq, dan ayat kursi, tapi mendadak aku lupa semua surat dan ayat yang pernah kuhapal.Akhirnya dengan susah payah, aku mencoba berbicara pada makhluk itu meskipun aku ketakutan setengah ma ti."Sa-yang, apa benar ini kamu? Apa yang terjadi padamu? Si-siapa yang berbuat jahat padamu, Nak?" tanyaku dengan terbata-bata. Akhirnya aku bisa bertanya pada makhluk itu meskipun dengan susah payah.Makhluk itu terdiam. Tak lagi menangis. Wajahnya menghadapku lama. Mungkin kalau punya mata, dia sudah menatap wajahku lama. Badanku gemetar kian kencang terutama kakiku.Makhluk itu hendak membuka mulut, namun mendadak terdengar suara ketukan dari arah pintu depan.Tok! Tok! Tok!Aku tercengang dan refleks menoleh ke arah pintu depan yang dibatasi tembok kamar. Dan saat aku menoleh kembali ke arah makhluk itu, ternyata dia sudah menghilang.Aku menghela nafas panjang dan ambruk ke lantai. Kakiku tak bisa lagi menahan gemetar nya badanku. Walaupun tak bisa kupungkiri bahwa aku lega saat makhluk itu pergi, tapi dalam hati aku merasa semakin cemas memikirkan Damar yang belum jelas nasibnya.Ketukan pintu itu semakin keras. "Bu, bu Sulis!"'Ternyata suara pak Slamet.'Kakiku masih terasa kesulitan untuk berdiri. Akhirnya dengan susah payah aku mengesot dan keluar dari kamar Damar. Saat sudah sampai ke ruang tamu, aku berpegangan pada kursi kayu lalu mencoba berdiri dan berjalan menuju ke arah pintu.Klik! Klik!Aku memutar anak kunci sebanyak dua kali lalu memutar gagang pintu perlahan.Saat daun pintu terbuka, tampaklah pak Slamet membawa satu karung warna putih dan dua kardus berukuran besar. Di samping pak Slamet tampak pak Udin, supir pak Slamet yang gundul dan berbadan besar."P, pak Slamet?""Iya. Ini saya. Bu Sulis, saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya mewakili diri saya sendiri dan seluruh warga karena salah membawa jasad seorang anak laki-laki yang saya pikir adalah anak ibu."Pak Slamet menjeda kalimat nya sejenak. Lelaki itu menatap wajahku lama. "Astaga Bu Sulis, bu Sulis tampak pucat sekali!" seru lelaki itu.Aku menelan ludah. Bingung hendak menceritakan apa yang sudah kualami. Aku takut dianggap sudah gi la oleh kepala desa yang telah menjabat selama lima tahun itu."Pasti Bu Sulis masih penasaran dan khawatir karena Damar menghilang dan belum ditemukan. Jangan khawatir, nanti saya akan menginstruksikan pada seluruh desa untuk mencari Damar."Aku hanya mengangguk lemah. "Terima kasih, Pak."Pak Slamet tampak berpikir sejenak. "Hm, atau mungkin Bu Sulis pucat karena belum makan? Saya membawa kan sembako ini untuk Bu Sulis sebagai permohonan maaf dan santunan pada ibu," ucap Pak Slamet."Maaf Pak. Sebelumnya terima kasih atas perhatiannya pada saya dan anak saya. Tapi insyaallah sembako saya masih cukup dan saya juga masih bisa makan dengan hasil kebun di belakang rumah," sahutku merasa tak enak.Meskipun tidak kaya, aku dan suami ku berusaha untuk menabung dan akhirnya bisa mendirikan rumah sederhana dengan tiga kamar. Meskipun lantai masih semen dan tembok masih berupa batu bata yang belum dicat.Mas Abdi juga menanami sepetak tanah kecil di belakang rumah dengan aneka umbi, sayuran, dan buah pisang serta kandang ayam yang berisi sepuluh ayam negeri.Sebelum meninggalkan, Mas Abdi memang gigih bekerja sebagai pedagang sayur mayur berkeliling kampung sambil membawa aneka nasi buatan ku. Dia selalu berpesan agar tidak mudah meminta atau menerima bantuan dari orang lain bila tidak benar-benar membutuhkan bantuan."Bu Sulis, saya mohon jangan menolak pemberian saya. Ini rejeki dan juga sebagai tanda permintaan maaf atas kecerobohan kami membawa jenazah tak dikenal ke rumah Bu Sulis," sahut Pak Slamet cepat.Kepala desa itu lalu menoleh pada pak Udin."Udin, bawa barang-barang ini masuk ke dalam rumah!"Udin mengangguk lalu menyeret karung beras dan mengangkat dua kardus itu ke dalam ruang tamu.Aku hanya mematung melihat pak Udin yang mondar-mandir di ruang tamuku. Pak Slamet memang loyal. Walaupun dia termasuk orang kaya baru di desa ini, tapi dia tidak pernah sombong dan sering membagi-bagikan sembako serta uang untuk para warga desa, membuatnya disegani.Aku pikir pak Udin dan pak Slamet langsung pulang setelah pak Udin selesai memindahkan sembako ke dalam rumah, tapi ternyata pak Udin kembali ke mobilnya lalu mengambil tabung gas berwarna merah muda dari dalam mobil Xpander pak Slamet.Mataku membeliak saat melihat pak Udin membawa tabung gas itu ke dalam ruang tamu."Bu Sulis, tabung gas ini dibawakan ke dapur sekalian dipasangkan atau diletakkan di sini saja?" tanya Pak Udin sopan."Di sini saja," sahutku lirih.Pak Udin menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya untuk membersihkan debu yang menempel saat semua barang sudah berpindah ke ruang tamu. Aku menatap kedua laki-laki itu dengan serius."Saya tidak bisa mempersilahkan bapak-bapak ini masuk ke dalam rumah, karena saya janda dan saya tidak ingin ada fitnah di sini. Jadi kalau ada yang masih ingin disampaikan, silakan sampaikan saja di sini." Aku menunjuk ke arah kursi di teras rumah yang terbuat dari bambu hasil karya suami ku saat dia masih hidup dulu."Baiklah Bu Sulis, kami rasa tidak ada yang perlu kami sampaikan lagi. Kami pamit dulu. Kami akan berupaya untuk menemukan Damar. Kalau perlu, kita bisa lapor polisi," tukas Pak Slamet dan pak Udin sebelum akhirnya berpamitan dan masuk ke dalam mobilnya.Mobil pak Slamet melaju meninggalkan rumahku dan aku terkejut saat melihat Damar tanpa mata yang berpegangan di bemper belakang mobil Pak Slamet sambil 'menatap' dan menyeringai ke arahku!Next?Ustadz Amir, Eko, Anisa, dan Raden menuju rumah kontrakan Surti. Gadis itu langsung menghambur bersimpuh memeluk kaki Sulis. "Mbak Sulis, maafkan aku!" ujar Surti seraya menangis tersedu-sedu. Sulis yang sedang menggendong Dinda hanya bisa terdiam di tempatnya. Dia melirik ke arah luka di lengan Surti yang terbuka. Batinnya ingin memaki-maki Surti tapi di sisi lain dia tidak tega melihat Surti yang telah sebatang kara itu. "Mbak Sulis, jangan diam saja! Aku nggak mau Damar meneror ku terus menerus! Bilang pada arwah anak kamu agar jangan menghantui ku, Mbak!"Sulis hanya menundukkan kepalanya. Sementara yang lain menghela nafas, melihat kondisi ruang tamu Surti yang penuh dengan bunga. Sementara dukun yang dipanggil Surtu telah kabur terbirit-birit saat sadar Surti terluka karenanya. "Bangun lah, Sur. Meskipun aku sulit melupakan kesalahan mu dan keluarga mu, tapi luka kamu harus diobati dulu."Sulis menjeda kalimat nya. "Lalu, biar polisi yang memutuskan tentang kesalahan kamu ini
"Uang dari jin Anjing dan kamu tidak berhak menikmati nya. Mengakulah pada polisi dan serahkan uangnya pada anak-anak terlantar dan keluarga korban penculikan mbok Darmi, Mbak!"Surti gemetar ketakutan, apalagi saat menatap mulut Damar yang ternganga mengeluarkan cairan hitam, pekat, dan berbau anyir. Surti menjerit-jerit sambil bersimpuh dan menutup mukanya. "Jangan sakiti aku! Pergi kamu, Damar!""Aku tidak akan pergi sampai kamu menyerah kan diri pada polisi!" Damar mendekat ke arah Surti dan gadis itupun berteriak dan menjerit-jerit sampai pandangan matanya menggelap. ***Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam rumah Surti, membangunkan gadis itu dari tidurnya yang berada di atas lantai kamar. Surti merasakan kepalanya pusing dan perlahan gadis itu duduk dan mengucek matanya. Perlahan gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Dipijitnya pangkal hidung karena Surti merasa kepalanya begitu pening."Astaga, Damar! Iya, aku ingat
Seumur hidup Raden menjadi polisi baru kali ini dia mengalami kejadian mistis yang aneh seperti saat ini. Dengan ngeri dia melihat Surya yang kehilangan matanya lengkap dengan lolongannya yang mengerikan. Mendadak ponsel nya yang sedang digenggam nya untuk menyinari bagian bawah jurang, berdering. Dengan cepat Raden menerima panggilan telepon dari Ustadz Amir. "Assalamualaikum, ada apa, Ustadz? Aduh, sinyalnya putus-putus," keluh Raden. "Waalaikumsalam. Iya. Kamu dimana pak Raden? Share loct sekarang ya? Saya akan menuju ke tempat kamu saat ini!" Tut Tut Tut!Panggilan terhenti karena sinyal yang buruk. Akhirnya Raden pun mengirimkan letak lokasi nya saat ini pada ustadz Amir. Perlu menunggu waktu beberapa saat sampai letak lokasi Raden bisa diterima di ponsel Ustadz Amir. Setelah mendapat kan lokasi Raden secara pasti, Ustadz Amir segera berlari sesuai dengan arah yang ditunjukkan oleh Raden. Sementara itu Raden masih berusaha untuk menelepon ambulance yang masih selalu gagal
Beberapa saat sebelumnya,Dinda telah tenang dalam pelukan Anisa, sedangkan Ustadz Amir, Eko, dan Raden berkumpul di ruang tamu ruang Eko. "Ini tidak masuk di akal. Masa aku harus percaya dengan keterangan dari makhluk tak kasat mata?" tanya Raden. Matanya menyapu ke arah Ustadz Amir dan Eko. "Raden, apa kamu lupa bahwa atas petunjuk siapa jasad beberapa anak korban penculikan ditemukan?" tanya Eko menatap balik ke arah temannya yang selalu menggunakan ilmu logika itu. "Itu ... kan atas keterangan Tukiman, memangnya siapa lagi?" tanya Raden lagi. "Baiklah. Kalau memang penemuan jasad anak-anak itu semata-mata karena kesaksian dari Tukiman, apakah kamu bisa menjawab bagaimana cara Tukiman ma ti?" tanya Eko sekali lagi. Dan kali ini Raden tampak kebingungan menjawab pertanyaan Eko. "Itu ... seperti nya karena ada sejenis ular atau biawak yang masuk ke dalam penjara lalu memakan bola mata Tukiman," sahut Raden. Nada suaranya terdengar tak yakin. Tapi hal itu lebih dia percayai darip
Beberapa waktu yang lalu,Surya dan mbok Darmi telah mengatur siasat untuk membawa Sulis ke vila milik Slamet.Namun, saat mendatangi rumah Sulis, mereka hanya menemukan Eko yang sedang hilir mudik di dalam ruang tamunya. "Btary, kata Slamet dulu di rumah ini dipasangi cctv dan seperti nya penghuni rumah ini bukan Sulis lagi. Aku ingin kita mengamati lagi kemana Sulis saat ini," ujar Surya yang duduk di belakang kemudi. "Baiklah. Aku sih terserah kamu, Sur," sahut Btary Ayu santai seraya mengunyah melati dari cawan kayu yang dibawanya. Akhirnya mereka mengikuti Eko berangkat ke sekolah, tempatnya mengajar sampai Eko pulang ke rumah nya. Surya dan Btary ayu terkejut saat melihat Sulis sedang menggendong Dinda keluar dari rumah Eko. "Wah, ternyata ada di sini si Sulis. Bagaimana caranya agar kita bisa membawanya?" gumam Surya lebih kepada dirinya sendiri. "Kita ikutin saja dulu gerak-gerik nya. Lalu saat Sulis sedang sendirian atau tidak siaga, kita akan membawanya segera," sahut
"Slameeet!!!" Surya berseru seperti orang kehilangan akal dan menghambur ke arah anaknya yang sudah tidak bernyawa lagi."Met, Slamet!"Surya dengan panik mendekat ke arah jasad Slamet yang sudah terbujur kaku, lelaki itu berlutut di samping jasad anaknya. Dengan perlahan diusap nya punggung Slamet yang berdarah-darah dan tertembus batang pohon jambu air itu. "Ini semua gara-gara set*n sialan itu! Awas saja kamu setaaan!" seru Surya berteriak dengan suaranya yang parau. Slamet dengan penuh amarah mencoba melepaskan jasad Slamet dari batang pohon jambu air itu. Dengan susah payah, akhirnya Surya berhasil memisahkan tubuh Slamet dari potongan pohon yang menancap di tubuh nya. Dengan nanar, dipandanginya tubuh Slamet dengan luka yang menganga begitu dalam di perut Slamet. "Bapak tidak akan diam saja melihat kamu disakiti seperti ini, Met. Bapak akan balas dendam. Bapak akan membalas kan dendam kamu!" Dengan tertatih, Surya menyeret tubuh Slamet ke dalam rumah, lalu memandikan nya d
Warning : ada adegan gore ya kak... 🙏🏻Saat tangannya terulur ke arah jendela, Slamet sangat terkejut karena melihat ibunya yang berdiri mematung menatap nya di bawah pohon mangga di halaman tengah rumahnya. "Ibu?" desis Slamet terkejut. Dia dan mbok Darmi berpandangan selama beberapa saat. Mendadak lampu tidur di kamar Slamet padam selama beberapa detik. Lalu beberapa saat kemudian langsung menyala. Slamet sejenak menatap ke arah lampu kamar tidurnya dan menelan ludah, dan saat teringat ibunya yang berada di samping kamar tidurnya, Slamet segera menoleh lagi ke arah luar jendela kamarnya. Dan rupanya ibunya menghilang. Hanya desau angin malam yang menampar pipinya. "Apa aku salah lihat ya?" tanya Slamet seraya menarik daun jendela nya yang terbuat dari kayu. "Aaarrgghhhh!"Bertepatan dengan dia yang menarik daun jendela nya agar tertutup, sepotong tangan berkudis dan bernanah menarik tangannya diantara teralis jendela. Slamet menjerit sejadi-jadinya saat menatap mata ibu nya
Suara ketukan di pintu rawat inap Mbok Darmi, membuat Surti tersentak dan mengalihkan pandangan nya dari ponsel iPhone yang selama ini dirahasiakan nya. Surti lalu beranjak ke pintu dan terkejut saat melihat seorang suster yang berdiri di ambang pintu. "Mbak ini keluarga dari mbok Darmi kan?" tanya suster itu.Surti mengangguk dan suster itu mengeluarkan amplop putih dari saku bajunya. "Ini ada tagihan pembayaran dari rumah sakit. Ibu Darmi sudah hampir sepuluh hari dirawat dan belum ada uang muka. Jadi pihak rumah sakit, meminta mbak ini untuk membayar tagihan selama sepuluh hari ini dahulu."Surti menelan ludah dengan susah payah. Mbok Darmi memang dirawat di ICU setelah tragedi kesurupan jin Damar, sedangkan Surti menunggu nya di paviliun agar tidak bolak balik ke rumah nya, itupun atas usul Damar. Tangan Surti meraih amplop putih itu dan memandang sang suster. "Baiklah. Saya akan baca tagihan rumah sakit dulu, Sus, baru kemudian saya bayar."Suster itu mengangguk dengan sopan
Damar baru saja dimasukkan ke liang lahat saat gerimis hujan membasahi bumi. Sulis tertegun saat menatap para penggali kubur yang mengeruk tanah dan menutupkannya ke atas makam Damar. Mendadak memori saat Damar masih hidup tergambar dengan jelas di kepala Sulis. "Damar! Damar anakku! Pak, keluar kan anak saya dari dalam dan!" seru Sulis langsung menghambur ke batu nisan milik Damar. Sulis memang bersikeras untuk mengantarkan Damar ke tempat peristirahatan terakhir nya, karena Adinda dititipkan pada istri Eko. Tapi rupanya, Sulis tidak bisa mengendalikan diri saat melihat Damar dikuburkan. Perempuan itu menangis meraung-raung saat jenazah Damar mulai tertimbun tanah. Tanpa menghiraukan hujan yang mengguyur dan tanah becek yang mengotori baju Sulis, perempuan itu berlutut dan memeluk batu nisan putra sulung nya. "Ya Allah, Damar! Kenapa Engkau memberikan aku cobaan seperti ini ya Allah! Aku nggak kuat, Ya Allah!" seru Sulis menangis dengan tersedu-sedu di atas makam anaknya. Bebe