Hari pertama tanpa Alya, toko buku tetap buka seperti biasa. Rey datang seperti rutinitasnya selama ini, mengenakan kemeja kerja yang rapi dan jas abu-abu mahal. Ia membuka pintu kaca dan langsung menoleh ke meja kasir. Tapi bukan Alya yang menyambutnya.
Seorang karyawan baru berdiri di sana, masih gugup, dan salah menyebut nama penulis buku yang Rey cari. Rey hanya tersenyum tipis, membeli satu buku tanpa membaca judulnya, lalu pergi. Hari kedua, Rey kembali datang. Harapannya masih tinggi, pikirnya mungkin Alya hanya izin sehari. Tapi yang ia temui tetap karyawan yang sama. Tak ada tanda-tanda kehadiran gadis yang senyum dan sorot matanya selalu lembut itu. "Mungkin dia sakit..." pikir Rey, berusaha meyakinkan diri. Namun, hari ketiga rasa cemasnya tak lagi bisa dia bendung. Rey berdiri cukup lama di dekat rak buku, matanya menatap kosong, sebelum akhirnya berjalan pelan ke arah juragan toko, Bu Rani, yang sedang mencatat stok di meja belakang. "Bu," sapa Rey sopan. Bu Rani menoleh, tersenyum. "Mas Rey, cari buku lagi, ya?" Rey mengangguk kecil. Tapi kemudian suaranya melemah, tak seperti biasanya, "Saya cuma… ingin tanya. Alya ke mana ya? Sudah tiga hari saya ke sini, dia nggak ada." Bu Rani menatap Rey sejenak, lalu menghela napas pelan. "Mas Rey belum tahu, ya?" Rey langsung tegang. "Tahu apa, Bu?" "Alya... kemarin kena serempet mobil waktu berangkat kerja. tidak parah sih.., tapi dia harus dirawat, e..h,beberapa hari di rumah sakit buat observasi. Kakinya sempat bengkak katanya." Rey terdiam. Suasana toko mendadak sunyi dalam telinganya. "Rumah sakit?" ulang Rey pelan. Bu Rani mengangguk. "Iya, katanya RS Harapan di Jalan Dahlia, Dia izin seminggu." Rey tidak menjawab. Ia mengangguk pelan, lalu berpamitan seadanya dan melangkah keluar, Tapi langkahnya lebih cepat dari biasanya. Hatinya gelisah. Alya, kenapa kau tidak bilang ke aku...? batinnya, meski sadar, mereka memang bukan siapa-siapa, dan belum mempunyai ikatan. Tapi hari itu, Rey tahu satu hal pasti ia tidak akan tinggal diam, Kini, tujuannya bukan lagi sekadar beli buku. Di apartemennya yang mewah dan luas, Rey berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan. Jasnya masih menempel di tubuh, dasinya tak sempat dilepas, Pikiranya juga tidak tenang. “Kenapa aku terus kepikiran dia? Aku bukan siapa-siapanya.” Ia melirik ponsel. Berkali-kali membuka aplikasi peta, mengetik “RS Harapan” tapi selalu ditutup kembali. Duduk sebentar di sofa, lalu berdiri lagi. “Kalau aku datang… dia bakal anggap aku siapa?” pikirnya. “Pelanggan setia toko buku?” Rey menatap bayangan dirinya di jendela besar apartemen. Sorot matanya tak seperti CEO kebanyakan bukan percaya diri, bukan dingin, tapi gelisah… dan rindu. Sampai akhirnya ia mengambil kunci mobil dan berkata pada dirinya sendiri, “Kalau aku tidak menjenguk nya, aku nggak akan bisa tenang malam ini.” Rumah Sakit Harapan tak terlalu ramai malam itu. Rey mengenakan hoodie hitam dan masker, berusaha menyamar agar tak ada yang mengenalinya. Ia berjalan ke bagian resepsionis dan menyebut nama Alya dengan suara pelan. Perawat memeriksa daftar pasien, lalu mengangguk. “Kamar 307, lantai tiga. Tapi pasien masih tertidur, ya, Mas. Baru tadi siang dikasih obat penahan nyeri.” Rey mengangguk sopan. Hatinya berdebar saat menaiki lift. Tak tahu kenapa, tapi langkah kakinya terasa berat. Di depan pintu kamar 307, ia terdiam beberapa detik sebelum mengetuk pelan. Yang membuka pintu adalah seorang wanita paruh baya. Rambutnya sudah mulai beruban, tapi senyum di wajahnya lembut dan bersahaja. “Permisi…” sapa Rey pelan. “Saya… Rey. Saya teman kerja Alya… eh, maksud saya, kenal dia di toko buku.” Ibu Alya tampak terkejut sejenak, tapi kemudian tersenyum ramah. “Oh, Mas Rey ya? Alya pernah cerita. Silakan masuk.” Rey melangkah pelan ke dalam ruangan. Di sana, Alya tampak tertidur pulas. Wajahnya pucat tapi damai, tangan kirinya diinfus, dan kakinya diperban. Ia tampak begitu rapuh… dan berbeda dari biasanya. Rey menatapnya lama. Rasa bersalah menyusup diam-diam. “Alya baik-baik saja, Bu?” tanya Rey pelan, tanpa melepaskan pandangannya. “Iya, hanya sedikit benturan. Tapi karena kakinya bengkak, dia disuruh rawat inap dulu. Badannya juga lemas karena kecapekan katanya,” jawab ibu Alya, duduk di sofa kecil dekat tempat tidur. Rey mengangguk. Lalu berkata pelan, “Saya… cuma ingin tahu kabarnya. Saya… bingung beberapa hari ini.” Ibu Alya menatap Rey lama. Seolah membaca banyak hal di balik sorot mata Rey yang tak bisa disembunyikan. “Mas Rey suka sama Alya ya?” tanyanya tanpa ragu, namun lembut. Rey terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi tak bisa. “Saya sendiri pun belum tahu, Bu,” jawabnya jujur. “Tapi sejak dia nggak ada… toko buku terasa kosong. Hati saya juga.” Ibu Alya tersenyum tipis. “Kalau niatnya baik, jangan ragu, Mas. Alya memang gadis sederhana, tapi dia punya hati yang kuat. Dia layak disayangi.” Rey tersenyum kecil. “Terima kasih, Bu.” Malam itu Rey tak lama di sana. Ia hanya duduk sebentar, lalu pamit. Tapi saat ia melangkah keluar dari kamar rumah sakit, satu hal jadi semakin jelas: Hatinya tak lagi bisa menyangkal. Ia benar-benar jatuh cinta. Cahaya matahari pagi menembus tirai rumah sakit, menyentuh pipi pucat Alya yang masih terbaring lemah. Matanya mulai terbuka perlahan, kepala terasa sedikit pening, dan tubuhnya masih kaku karena efek obat. “Ibu…?” gumamnya pelan. Ibu Alya segera menghampiri dan menggenggam tangannya dengan lembut. “Alhamdulillah kamu sadar, Nak. Gimana rasanya? Masih pusing?” Alya mengangguk kecil. “Sedikit… Kaki aku juga masih sakit.” “Ya, pelan-pelan aja, ya. Kamu sudah tiga hari dirawat. Tapi kondisimu sudah jauh lebih baik sekarang. Nanti tinggal pemulihan kaki saja.” Alya menghela napas, lalu menatap langit-langit kamar rumah sakit. “Toko buku gimana, Bu? Aku belum ngabarin Bu Rani…” Ibunya tersenyum, menyeka rambut yang menutupi dahi Alya. “Bu Rani sudah tahu, dia tenangin kamu aja dulu. Tapi ada yang lebih penting.” Alya mengernyit. “Apa?” Ibu Alya tersenyum penuh arti. “Ada yang datang jenguk kamu tadi malam.” Alya tampak bingung. “Siapa?” “Rey.” Alya terdiam. Napasnya sempat terhenti sejenak. “Rey… yang dari toko buku itu?” Ibunya mengangguk. “Iya, dia datang malam-malam. Kelihatannya cemas banget. Katanya dia bingung kamu nggak ada di toko, sampai akhirnya nanya ke Bu Rani.” Pipi Alya memanas. Hatinya bergetar. Rey? CEO tampan yang selalu dikelilingi gadis-gadis itu… datang ke rumah sakit untuk menjengukku? “Dia cuma bilang… nggak bisa tenang kalau nggak tahu kabarmu. Kamu penting buat dia, Alya.” Alya menunduk. Jantungnya berdegup kencang, tapi pikirannya masih tak percaya. “Tapi aku siapa, Bu? Cuma penjaga toko buku… bukan siapa-siapa.” Ibu Alya tersenyum lembut. “Nak, hati orang nggak kenal pangkat atau uang. Kadang justru orang paling tinggi bisa jatuh hati sama yang paling sederhana.” Alya menggigit bibir bawahnya. Di satu sisi, ada getaran harapan yang mengalir diam-diam. Tapi di sisi lain, ia tahu dunia mereka berbeda. Namun satu hal pasti—nama Rey kini tak lagi sekadar pelanggan di mata Alya. Ia sudah menjadi sesuatu yang lebih… sesuatu yang menumbuhkan getar aneh di dalam dada. Hari itu, Alya tak hanya memulai pemulihan fisik, tapi juga mulai merasakan gejolak rasa yang selama ini ia tahan.Dua hari sebelum pesta besar sesama CEO, Rey mengirim pesan kepada Alya.“Alya, aku ada undangan pesta CEO besar. Aku ingin kamu ikut bersamaku. Aku akan kirim sopir untuk menjemputmu nanti malam.”Alya membaca pesan itu berulang kali, hatinya campur aduk. Ia bingung, bagaimana harus menyiapkan diri? Pakaian apa yang pantas dipakai ke pesta mewah seperti itu? Pikirannya langsung melayang ke lemari kecilnya yang berisi baju-baju sederhana.Malam itu, Alya pulang ke rumah dan duduk di ruang tamu bersama ibunya. Ia menceritakan undangan pesta dari Rey dan kebingungannya soal gaun.Ibu Alya tersenyum lembut lalu membuka lemari tua. “Ini, Nak. Dulu ibu pakai baju ini saat pergi ke pesta. Mungkin sekarang sudah tidak seindah dulu, tapi masih layak dipakai. Baju ini mahal, hadiah dari almarhum ayahmu waktu masih hidup.”Alya terkejut sekaligus tersentuh. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan gaun itu dari plastik pelindung. Gaun berwarna biru tua dengan aksen renda halus dan payet kecil berkilau
Pagi itu, suasana kantor HDR seperti biasa—ramai namun tertib. Alya yang sudah berniat kuat untuk bertahan, kini mulai bekerja dengan lebih fokus. Ia tidak ingin mengecewakan Rey. Dan diam-diam, ia pun ingin membuktikan pada semua orang bahwa ia memang layak berada di sana.Sampai akhirnya, saat baru saja selesai merapikan dokumen, Mbak Dita menghampiri dengan senyum khasnya.“Alya, Pak Rey manggil kamu ke ruang meeting lantai tiga. Ada proyek baru katanya.”Alya menelan ludah. “Aku?”“Iya, kamu. Katanya penting.”Dengan langkah yang agak gugup, Alya menuju ruangan meeting. Sesampainya di sana, Rey sudah duduk, ditemani dua manajer senior dan beberapa karyawan lainnya. Ketika Alya masuk, mata Rey langsung menangkap kehadirannya. Tatapan itu… seperti biasa, hangat dan menusuk kalbu.“Silakan duduk, Alya,” ucap Rey tenang.Alya duduk, menunduk sopan. Ia masih sulit menatap pria itu terlalu lama. Apalagi hari ini Rey memakai jas abu muda dengan dasi gelap yang membuat ketampanannya semak
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak Alya resmi menjadi staf administrasi di HDR Corp. Tugas-tugas yang diberikan kepadanya memang ringan, namun setiap kali dia berhasil menyelesaikannya, senyum puas selalu tersungging di wajahnya.Namun, hari ini berbeda.Sejak pagi, suasana kantor terasa aneh. Alya merasa banyak mata memperhatikannya—bukan tatapan biasa, melainkan tatapan yang menyelidik, seolah ia menyimpan rahasia besar. Di lorong, bisik-bisik terdengar pelan namun cukup jelas.> “Itu dia, si anak baru yang katanya dekat sama Pak Rey.”> “Kemarin makan siang bareng CEO loh... di pantry lagi!”> “Cantik sih, tapi masa iya? CEO kita tuh pilihannya nggak main-main biasanya.”Alya menunduk. Telapak tangannya dingin. Ia pura-pura sibuk di depan layar monitor. Tapi hatinya bergemuruh.Ia tahu Rey sosok yang sangat dikagumi. Setiap langkah Rey selalu diperhatikan. Bahkan pilihan dasinya bisa dibahas satu divisi. Maka ketika Rey terlihat akrab dengannya—seorang gadis biasa—wajar bila kant
Setelah seharian bekerja dan... bertemu kembali dengan Alya ,si gadis toko buku yang kini resmi jadi karyawan kantornya, Rey merasa dadanya penuh rasa aneh yang sulit dijelaskan.Ia menaruh jasnya ke sandaran kursi, melepas dasi, lalu duduk di tepi ranjang.Wajah polos Alya muncul begitu saja di benaknya. Terbayang ekspresi kaget Alya saat menyadari siapa dirinya, lalu kalimat yang keluar dari mulut gadis itu dengan cepat dan bawel:“Ini Rey, kan ya? Kan yang suka beli buku itu ya?”Rey tertawa kecil. Tawanya pelan, tapi tulus. Tak pernah sebelumnya seorang wanita bisa membuatnya tertawa seperti ini, bahkan setelah seharian bekerja keras.“Lucu banget…” gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.Kemudian ia tertawa lagi, kali ini lebih lepas.Namun setelah tertawa, Rey terdiam. Ia meraih bantal, menyandarkan punggung ke kepala ranjang, lalu menatap kosong ke arah jendela.“Rey…” bisiknya pada diri sendiri, “…kamu gila, kah?”Ia mengusap wajahnya.“Gara-gara gadis bawel polos itu, k
Pagi itu, sinar matahari baru saja menembus jendela kamar Alya saat ponselnya berdering. Dengan jantung berdebar, ia meraih ponsel di atas meja kecilnya. “Hallo… selamat pagi. Ini dari HRD R Corporation. Kami ingin mengundang Alya untuk wawancara kerja besok pukul 10 pagi,” suara lembut dari seberang telepon membuat mata Alya membelalak. “A-apa? Saya… saya dipanggil?” tanyanya gugup, nyaris tak percaya. “Benar. Silakan hadir tepat waktu, ya.” “Baik! Terima kasih banyak!” Setelah panggilan itu berakhir, Alya menatap langit-langit kamarnya dengan bibir yang perlahan-lahan tersenyum. Ia langsung memeluk ibunya dengan semangat. “Bu! Alhamdulillah, Alya dipanggil wawancara!” Ibunya tersenyum penuh haru dan mencium kening Alya. “Doa ibu selalu bersamamu, Nak.” Alya bersujud syukur terhadap Tuhannya dengan hati senang bahagia dan berkata " terima kasih ya Allah " Keesokan harinya, dengan pakaian paling rapi yang ia miliki, Alya berjalan menuju halte. Di tengah jalan, panas mulai
Sudah dua hari sejak Alya menyerahkan lamaran kerja ke gedung megah itu. Hari-harinya diisi dengan menatap layar ponsel, menunggu panggilan. Setiap notifikasi membuat jantungnya berdegup lebih cepat namun selalu berakhir kecewa. Di malam hari, Alya duduk di samping ibunya, memandangi langit-langit kamar yang sederhana. Tangannya menggenggam tasbih kecil pemberian almarhum ayahnya. Dengan suara lirih, ia berdoa, “Ya Allah… jika memang bukan di sana rezekiku, tolong beri aku petunjuk ke tempat lain. Aku hanya ingin bantu Ibu…” Sementara itu, di lantai 17 gedung R Corporation, HRD tengah menyeleksi ratusan lamaran. Salah satu staf, Mbak Dita, membuka berkas milik Alya dan mengernyit pelan. “Ini gadis cantik bngets, tapi pengalaman kayak minim sekali, sepertinya nggak cocok untuk jadi resepsionis perusahaan besar seperti ini,” gumamnya. Ia lalu meletakkan map itu di tumpukan pending review. Pagi harinya, Alya menerima telepon singkat Alya sudah merasa senang dengan harapan dan keyak