Tidak ada suara yang menjawab pertanyaanku. Langkahku berhenti dan membalikkan tubuh. Alex masih di sudut sana, menekuri foto ibunya saat mengandung dirinya.‘Ah, mungkin dia tidak menjawabku karena tidak mendengarku,’ pikirku dan bergegas menghampirinya.Aku terkesiap saat mendapati jari yang mengusap foto itu gemetar. Belum sempat usai keterkejutanku, air mata menetes tepat pada wajah yang tersenyum itu.“Alex ….”“Raya. Aku tidak mampu merasakan kasih sayang dan pengorbanan wanita ini untukku. A-aku melihatnya hanya sebagai sebuah gambar saja,” ucapnya sambil menangkup tanganku yang mengusap lengannya. “Padahal dia merelakan nyawanya demi melahirkan aku.”Suara yang mirip dengan rintihan itu akhirnya luruh, dan terganti dengan isakan di dalam pelukanku. Tubuh besarnya terguncang beberapa waktu. Aku hanya bisa menepuk-nepuk untuk meredakan itu.Aku mengerti apa yang dia rasakan.“Sering kali aku merasa iri dengan kebersamaan kamu dan ibu,” ucapnya setelah dia mereda. Kali ini kami
Kepercayaan diri kami semakin tebal. Ini membulatkan keyakinan kalau semesta memang sudah mendukung kebersamaanku dengan Alex dari sebelum aku lahir. Buktinya, kakek kami berdua ternyata bersahabat dari muda.Bukankah itu sebuah kebetulan yang langka?“Wah kalau begitu Ibu ngomong dengan Eyangmu lebih gampang. Tidak usah dijelaskan, Eyang sudah tahu benar bebet, bibit, bobotnya Nak Alex,” seru Ibu dengan suara gembira.“Kalau begitu, semua bisa dibilang lancar, ya, Bu?” Alex menimpali dengan senyuman mengembang, senang.“Jelas, dong.”Aku mengambil foto dari tangannya, memastikan bahwa itu memang benar Eyang Jaya.“Kumisnya memang sama, Bu. Tapi … memang ini Eyang?” tanyaku ragu.Yang ada di foto itu pemuda pribumi yang tampan, bukan sangar seperti eyangku yang di kampung. Walaupun sudah termakan usia, seluruh kampung tunduk dengannya. Karenanya, setelah kejadian gagalnya pernikahanku dulu, aku yang ibu memilih kembali ke kampung. Tinggal bersama Eyang Jaya, menjadikan ibu tidak kepik
Sinar keemasan menyelusup di sela-sela pohon tinggi di kanan kiri jalan luar kota. Setelah tadi istirahat sebentar di masjid saat kumandang azan subuh, kami pun melanjutkan perjalanan yang katanya tidak jauh lagi.Di sisa perjalanan ini, ibu meminta pindah ke depan. Katanya ini pengurangi rasa pusing yang mendera. Padahal mobil yang kami kendarai nyaman dan Tomo mengemudi dengan tidak ugal ugalan.“Tidak apa. Kan aku yang senang bisa duduk di sebelahmu,” bisik Alex sambil menggerakkan kaki disentuhkan ke lutut ini. “Harusnya sedari semalam.”“Serakah,” sahutku sambil mendelik ke arahnyaWalaupun awalnya ngotot, tapi kepala ini berakhir bersandar di pundaknya. Aku kembali merajut mimpi menghabiskan petang yang berujung pada sapaan oleh sang surya. Mata yang masih sepat dipaksa terbuka oleh silaunya sinar pagi.Dengan malas aku menarik diri, kawatir ketahuan ibu dan menjadi bahan omelan nantinya. Aku melongokkan kepala ke depan, ibu pun masih terlelap dengan bersandar di jendela yang di
“Harus begini?” tanyaku merasa keberatan. Aku pelakunya merasa biasa, mereka kok yang super repot. “Iya, lah. Ini permintaan Ibu ke Eyang Jaya. Kamu kan tahu Nak Alex itu gantengnya tidak ketulungan. Kalau kamu menyambut dengan keadaan ‘glubut’ dan lusuh, wah merusak pemandangan,” cerocos Ibu tidak menerima alasanku. Begitu kok ya memberi argumen yang jujur. Sedikit membela anaknya sendiri, kenapa? Seakan membungkam mulut ini, ibu masih bicara lagi. “Ajining diri itu dari busono, dari penampilan. Penampilanmu sekarang itu mewakili nama keluarga Jaya Adinugroho. Ini itu acara yang sudah kita tunggu lama. Jangan sampai terabaikan hanya gara-gara kamu tidak mau didandani!” “Ibu ini, lo.” Namun mata Ibu yang melotot, memaksaku pasrah di depan meja rias. Kaget juga tadi. Sudah siapkan pakaian saja, aku sudah sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Eyang Jaya. Ini malah didatangkan perias salon untuk mempersiapkan aku. “Aku tidak mau menor, ya. Tipis-tipis aja. Ini lo hanya acara pert
Semua mimpi yang menjadi kenyataan kandas tanpa sisa asa. Pun keinginan yang sudah di tangan, hilang tanpa tersisa. Aku berdiri menatap jejak pesta, dengan kaki yang sudah tidak berasa.Keadaan sekarang memang sudah hening, tapi teriakan Eyang, “Bubarkan!” masih begitu lekat. Menjadikan rasa bingung ini semakin pekat.Pesta dipaksakan usai tanpa penjelasan. Kemarahan Eyang bersautan dengan teriakan Ibu yang menuntut jawab.“Bapak! Ada apa? Kenapa Bapak bersikap seperti ini tiba-tiba? Apa salah kami!” Suara Ibu seakan tenggelam dalam perintah-perintah Eyang Jaya untuk melenyapkan semuanya. Para anak buah dan undangan yang tahu benar watak kakekku ini, melakukan tanpa ada pertanyaan.Tuntutan Ibu benar-benar diabaikan, bahkan saat dia tidak sadarkan diri dan digotong ke kamar dalam diam. Eyang Jaya tetap bergeming pada pendiriannya. Dengan baju lurik yang sudah disingsingkan, tangannya mengacung ke arah pintu keluar.Tidak ada yang dikatakan selain pengusiran Alexander dan rombongan se
Paklik Adi memang meninggal saat aku kecil. Yang aku ingat hanya saat lebaran kami pulang kampung, dialah yang selalu memanjakan aku dengan mengendari sepeda gayung yang ada di foto itu.“Naik sepeda seperti ini, kita akan lebih menikmati udara segar dan mengamati apa yang kita lalui. Tidak seperti naik sepeda motor yang akan melewati semua yang berharga.” Itu yang selalu dikatakan saat memboncengku.Aku diajak berkeliling kampung dan dikenalkan dengan alam yang selama ini dilarang oleh bapak. Mungkin karena aku anak tunggal, apa yang menurutnya membahayakan harus dihindarkan. Yang takut kepleset lah, tenggelam, bahkan kawatir ketabrak motor.“Bapakmu itu apa-apa tidak boleh. Wong main di sungai saja katanya dilarang. Bagaimana bisa mengenal alam kalau tidak pernah menyentuh. Jadi anak itu harus banyak tahu dan kuat. Ok?” ucapnya, menjadikan dia temanku untuk melakukan hal yang dirahasiakan.Main air di sungai dengan berburu ikan dan mencari bunga liar yang indah. Dari Paklik Adi aku
"Maafkan Ibu, Nduk. Maaf." Ucapan Ibu sebelum dia tergugu kembali. Guratan penyesalan terlihat lekat di wajah. Mata nya pun membengkak karena air mata yang mengalir tiada henti. Dari kamar mendiang Paklik Adi, tadi aku langsung ke kamar Ibu. Niatnya ingin membicarakan apa yang dikatakan Eyang Jaya dan buku harian yang aku sembunyikan di balik baju. Bau balsem, minyak kayu putih, dan semacamnya pun menyeruak. Saat aku masuk tadi, ada orangnya Eyang yang memijit ibu yang berbaring di ranjang. Setelah aku masuk, mereka pun tahu diri dan pamit keluar kamar.“Ibu salah,” ucap Ibu sambil berusaha untuk duduk. Aku membantunya bersandar di sandaran ranjang kayu berukir.Tangan ibu menangkap tanganku yang berniat melepas dari bahunya. Tatapan resah bercampur dengan mata yang tergenang basah. “Ibu menyesal. Kenapa harus memberitahukan foto itu kepada eyangmu. Harusnya tidak ibu lakukan.”Berganti aku menepuk punggung tangannya, menggenggam telapak tangan yang berkeringat dingin.“Tidak, Bu. I
Kalimat-kalimat menghibur diri dari mulut lelaki yang aku rindukan ini, bukannya membuatku tersenyum, tapi justru air mata mengalir tak tertahankan.Kenapa apa yang diucapkan seperti kata penghiburan untuk dia sendiri? Kata tenanglah, aku usahakan, dan sabar, bukankah seharusnya itu aku yang mengusahakan? Permasalahannya ada di pihakku, bukan pada Alex.“Memang kamu bisa?”Laki-laki ini justru melebarkan senyuman. “Rayaku, Sayang. Aku Alexander yang yakin dengan segalanya. Kamu tenang saja di rumah menemani Ibu. Jangan lupa makan dan jangan biarkan kamu sakit atau kepikiran hal ini. Tenang saja, biarkan aku yang berusaha.”“Kamu tahu apa yang terjadi?” tanyaku sambil menyusut air mata yang tersisa.Lagi-lagi dia menunjukkan senyuman, bahkan sorot matanya pun terlihat berbinar.“Tidak ada di dunia ini yang tidak bisi diupayakan selagi kita mau,” jawabnya sebelum menceritakan apa yang sudah dia lakukan.Dengan bantuan Tomo dan team yang dia percayai, dia menceritakan kalau penyelidikan