Lift berdenting pelan. Pintu logam berwarna matte gold terbuka dengan gerakan halus. Cheryl melangkah keluar, satu-satunya penumpang di dalam lift VIP yang membawanya langsung ke lantai paling atas Apartemen Ravelia Tower.Lorong di lantai ini sangat berbeda dari lantai-lantai lain yang pernah ia kunjungi—sepi, bersih, dan mewah dengan cara yang tak mencolok. Karpet tebal berwarna abu-abu kelam meredam setiap langkah kakinya. Lampu-lampu dinding memancarkan cahaya kekuningan yang hangat, namun ada kesan steril dan terkontrol di udara. Tidak ada suara. Tidak ada penghuni lain. Hanya ada satu pintu besar di ujung lorong—hitam pekat, berdiri tenang dengan bingkai baja yang elegan. Di sampingnya, sebuah panel kecil menyala redup, menunggu sentuhan.Jantung Cheryl berdetak sedikit lebih cepat saat ia mendekat.Ini bukan sekadar pintu. Ini… seperti gerbang menuju dunia lain. Dunia milik seorang pria yang begitu misterius, begitu privat, tapi entah kenapa… mempercayainya begitu saja.Ia be
Langit mendung masih menggantung rendah ketika Cheryl kembali duduk di dalam taksi. Alih-alih menyebutkan alamat hotel atau tempat tinggal sementara, mulutnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya.“Pak, ke Apartemen Ravelia Tower, ya.”Ya. Hanya ada satu nama yang muncul di kepalanya saat ini—dr. Joshua Valen. Om Peri yang aneh, menyebalkan, tapi entah kenapa selalu hadir saat dunia sedang menghempaskannya.Taksi melaju menembus lalu lintas Jakarta yang mulai padat. Di dalam, Cheryl duduk lebih rileks dari sebelumnya.Kehidupannya mungkin sedang jungkir balik, tapi setidaknya satu hal sudah beres—ia tetap memiliki pekerjaan untuk bertahan hidup. Untung saja negosiasinya dengan Tuan Sigit berjalan mulus. Jadi tidak akan ada drama putus cinta dalam keadaan sebagai pengangguran. Putus cinta itu sakit, tapi lebih sakit lagi nggak punya duit.Sekarang. Ia tinggal menata hati, yang saat ini rasanya seperti kaca retak: tak pecah, tapi jelas sudah tidak utuh lagi.“Aku masih terlalu muda
Saat Cheryl membuka pintu kamarnya, hanya denting samar detik jam dinding yang terdengar seperti napas rumah tua yang sudah lelah.Ia berdiri di ambang pintu sejenak, membiarkan pandangannya menyapu ruangan yang dulu terasa seperti perlindungan, tapi kini tak lebih dari kotak kosong yang menunggu ditinggalkan.Bantal-bantal hias tersusun rapi di atas ranjang, terlalu rapi—seakan tidak pernah ada tubuh yang benar-benar beristirahat di sana.Meja rias di sudut ruangan memantulkan bayangan wajahnya—lelah, tapi tetap tegar.Di sudut yang lain, standee Jungkook berdiri tegak, setia seperti prajurit plastik yang tak pernah mengeluh.Semua masih sama. Tapi Cheryl tahu, dirinya sudah tidak.Ia berjalan perlahan. Tangannya meraih pigura foto tua di nakas. Ayahnya. Pria pertama yang membuatnya percaya pada cinta tanpa syarat. Dipeluknya pigura itu sejenak, lalu diletakkan dalam tas kecil bersama beberapa dokumen penting. Akta kelahiran. Ijazah. Dokumen kependudukan. Paspor.Tidak banyak yang i
Tuan Sigit akhirnya mengangguk. “Kau akan kuberi akses, dan Apex pun akan kukembalikan kestabilannya. Dengan syarat, kau pergi dari kehidupan cucuku.”Cheryl hanya butuh satu detik untuk menimbang.“Deal.”Ia langsung berdiri, seakan kesepakatan itu adalah pintu yang telah ia tunggu seumur hidupnya.“Terima kasih atas waktu Anda yang berharga, Tuan Sigit. Sekarang, saya permisi.”Dan tanpa basa-basi lagi, dia langsung beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Tuan Sigit hanya menatap punggung gadis itu dalam diam, pandangan penasaran yang mengikuti langkah Cheryl hingga pintu tertutup rapat di belakangnya.“Langkah kaki yang tegas, sorot mata yang tak ragu, dan caranya berdiri itu… seperti tak terlihat gentar di hadapanku,” gumamnya lirih.Bahkan perempuan muda itu menolak cek kosongnya… dan menatapnya seolah mereka berdiri sejajar, bukan di dua generasi yang berbeda.“Darah muda memang keras kepala,” gumamnya lirih, nyaris seperti bicara pada diri sendiri. Lalu ia menghela napas pan
Cheryl diam sejenak. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya ia berbicara.“Bukan uang,” ulangnya seraya mengangkat wajah, menatap langsung ke arah pria tua di hadapannya. Tatapannya menyimpan bara ambisi yang selama ini tak pernah benar-benar padam. “Tapi beri saya akses sebesar-besarnya untuk membangun karir profesional. Entah itu di bawah naungan perusahaan Anda sendiri, atau di jaringan korporasi strategis yang berada dalam lingkaran pengaruh Anda.”Cheryl berhenti sejenak. Untuk pertama kalinya, ia memilih dirinya sendiri. Bukan cinta, bukan pengorbanan, bukan harapan masa lalu. Hanya dirinya. Dan itu... terasa baru sekaligus menegangkan.Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya merendah tapi lebih berani dari sebelumnya.“Karena cita-cita saya… nggak muluk-muluk, kok, sebenarnya,” ucapnya sambil mengangkat bahu, mencoba menyampaikan kesederhanaannya, walau dengan bahasa yang sangat Cheryl.“Sejak awal, saya cuma pengen punya karir yang bagus setelah jadi Sarjana. B
“Bara memang laki-laki yang keras kepala,” lanjut Cheryl sambil melipat kedua tangannya di depan perut. “Selama ini, Tuan selalu menyetir kehidupannya, dan dia selalu menurut. Tidak pernah Anda biarkan dia berpikir dengan kepalanya sendiri. Dan sekarang, ketika untuk pertama kalinya dia mengambil keputusan sendiri, Anda langsung ingin menghukumnya sekeras ini?” Untuk beberapa detik, Tuan Sigit tidak menjawab. Tapi di balik tatapannya yang tajam, ada kilasan ketertarikan. Cheryl terlalu tenang. Terlalu strategis. Dan ucapannya itu, terlalu tepat sasaran.“Kau datang ke sini. Menawarkan diri seperti umpan. Kau pikir itu membuatku percaya?”Cheryl menyandarkan punggung ke kursi. Lalu menyilangkan kaki. “Umpan? Bara bahkan tidak tahu saya sedang di sini, bertemu dengan Anda. Saya datang… betul-betul untuk menyelesaikan peperangan antara ‘kakek dan cucu’ ini.”“Perang?” Tuan Sigit tertawa dingin. “Kau pikir ini peperangan?”Cheryl mengangkat bahu, nadanya tenang tapi penuh sindiran.“Kal