Di depan ayahnya yang sekarat, Cheryl harus menikah dengan pria asing yang dipilihkan untuknya. Pria yang dingin. Tatapannya tajam, tanpa sedikit pun kehangatan. Sikapnya pun sangat menyebalkan, membuat Cheryl langsung membencinya sejak pertemuan pertama. Tapi dibalik rasa benci itu, ada satu hal yang tak bisa ia sangkal—ia membutuhkan pria itu. Ketika nasib memaksa mereka terus bersama, Cheryl dihadapkan pada pesonanya yang tak terduga. "Hih. Bisa-bisanya aku menyukainya? Tidak. Jangan! Suatu saat pernikahan ini bisa saja kandas, tapi tidak boleh dengan perasaanku." Akankah Cheryl mampu melindungi perasaannya? Atau, justru menyerah pada daya tarik pria dingin yang terpaksa menikahinya itu?
View More“Saudari… Cheryl Anindita. Kami dengan bangga mengumumkan bahwa Anda lulus dengan nilai A plus.”
Cheryl terpaku, hampir tak percaya. Ia mendapatkan nilai A plus dari dosen penguji yang terkenal killer?
"Terima kasih, Pak...," ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar.
Nilai yang memuaskan ini bukan sekadar penghargaan untuk dirinya sendiri. Ini adalah persembahan terbesar yang bisa ia berikan untuk Bapak, sosok yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya sehingga Cheryl bisa mencapai titik ini.
Di titik pencapaiannya ini, Cheryl tak sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Bapak, seseorang yang selama ini menjadi pendorong terbesar bagi setiap langkahnya.
"Bapak pasti senang banget dengar kabar ini," gumam Cheryl seraya menempelkan ponsel ke telinganya, menunggu suara hangat bapak menyapa di ujung sambungan telepon.
Akan tetapi, hanya nada dering panjang yang ia dapati. Padahal biasanya bapaknya cepat merespons. Apalagi bapaknya tahu hari ini Cheryl sedang menghadapi hari penting.
"Kok tumben sih Bapak sulit ditelepon?"
Dengan langkah gontai, Cheryl berjalan keluar dari gedung fakultas. Bibirnya tersenyum saat berpapasan dengan teman-teman yang memberinya selamat. Namun senyum itu lenyap kembali setelah teman-temannya berlalu pergi. Pikirannya terus memikirkan bapak yang mendadak sulit dihubungi.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Cheryl seketika tersenyum melihat nama “Bapakku Pahlawanku” akhirnya terpampang dalam layar, meneleponnya.
"Pak…! Cheryl udah lulus, Pak… dapat nilai A plus! Cheryl udah jadi Sarjana sekarang!” pekiknya, rasa senang membuncah dalam dadanya.
“Hmm. Selamat.”
Cheryl tercekat.
Suara itu… bukan bapaknya. Suara itu terlalu asing, dingin, dan kaku.
Keningnya berkerut, matanya menyipit. “Si-siapa… ini?”
Mendadak, perasaannya sangat tidak enak.
“Kamu Cheryl Anindita, putrinya Pak Bondan Purnomo. Benar?” tanya suara asing di ujung telepon.
“I-iya.”
“Pak Bondan kecelakaan dan sekarang sedang kritis. Cepat ke IGD rumah sakit Bintang Hospital yang ada di Karawaci, sekarang.”
Cheryl terhuyung. Jantungnya seolah berhenti sejenak.
Kecelakaan? Rumah sakit?
Tubuh Cheryl terasa lemas, dan semua yang tadinya ingin ia sampaikan kepada sang bapak seperti lenyap begitu saja.
"Ta-tapi… bapak saya… baik-baik saja, kan? Dan Anda…, siapa?" suara Cheryl bagai tercekik, hampir tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi.
Terdengar helaan napas yang tak sabar di ujung sambungan telepon. “Kamu dengerin saya nggak, sih? Saya bilang tadi kan kritis. Sudah. Jangan banyak tanya, cepat datang saja.”
Dunianya seakan berhenti berputar. Semua rasa lega yang ia rasakan sebelumnya lenyap, digantikan kekhawatiran yang mendalam.
Tubuhnya mendadak lemah, namun ia tak boleh berlarut-larut dalam kekagetannya. Bapak, yang selalu menjadi pahlawan dalam hidupnya, kini membutuhkan dia.
"B-baik...," suara Cheryl pecah, air matanya langsung mengalir deras, "sa-saya... ke... sana... se-sekarang," ujarnya dengan terisak-isak.
“Dengar… terkadang air mata tidak berguna, hanya akan membuatmu panik dan bodoh. Berhenti menangis… dan cepat bawa dirimu ke sini sekarang juga.”
Suara bariton itu terdengar datar, bahkan terkesan acuh tak acuh.
Cheryl mengatupkan rahangnya.
Suara itu… datar dan dingin. Tidak peduli apapun yang terjadi, suara pria itu tetap terdengar seolah-olah dia sedang berbicara tentang cuaca, bukan tentang kecelakaan yang melibatkan orang yang sangat penting dalam hidup seseorang.
"Apa dia cacat emosi? Makanya miskin simpati begini,” geram Cheryl dalam hati.
"Aku tahu!" ketusnya kesal.
“Bagus kalau tahu.”
Cheryl ingin mengomel lebih banyak, tapi tiba-tiba sambungan telepon diputus begitu saja.
Ia terdiam. Hanya ada suara hampa dari ponselnya yang kini mati.
Kecewa dan marah bercampur aduk dalam dadanya.
"Ugh! Orang ini… betul-betul ya…!"
***
Cheryl hampir tersandung saat memasuki ruang IGD. Pikirannya penuh dengan kecemasan yang tak bisa dia hilangkan. Dalam sekejap, semua yang direncanakannya tentang hidupnya setelah wisuda menjadi tak penting lagi.
“Sus, saya… keluarga Pak Bondan, korban kecelakaan yang katanya dirawat di sini,” katanya dengan napas sedikit tersengal usai berlari saat menuju ke sini.
Perawat segera membawa Cheryl menemui dokter yang menangani bapaknya. Tubuh Cheryl lemas saat dokter menjelaskan kondisi sang bapak.
“Pasien mengalami cedera serius. Kami sudah melakukan tindakan darurat, tetapi kami membutuhkan persetujuan dari pihak keluarga untuk operasi lebih lanjut.”
Cheryl berusaha menahan tangis yang sudah mendesak keluar. Namun, begitu mendengar kata ‘cedera serius’, ia tak kuasa menahan air matanya lagi.
“Persetujuan operasi?” Cheryl mengulang dengan suara gemetar.
Dokter mengangguk. “Operasi ini diperlukan untuk menstabilkan tekanan darah dan menghentikan pendarahan internal. Kami memerlukan persetujuan dari pihak keluarga agar kami bisa segera melanjutkan tindakan,” jelasnya.
Si dokter memandang Cheryl dengan sorot simpati. “Kami akan melakukan yang terbaik. Tim dokter sedang mempersiapkan segala sesuatunya. Jangan memikirkan soal biayanya, sebab sudah ada pihak yang siap bertanggung jawab penuh atas semua biaya perawatan pasien sampai sembuh.”
‘Tidak perlu memikirkan biayanya, sampai pasien sembuh’. Setidaknya info itu sedikit melegakan.
Setelah berbicara dengan dokter, Cheryl segera menemui Pak Bondan yang terbaring lemah di sebuah ruangan, selang infus dan alat-alat medis tampak menempel di tubuhnya yang dipenuhi luka.
“Pak… tolong bertahan… Cheryl mohon... Cheryl… nggak punya siapa-siapa lagi selain Bapak.”
Ia sudah tidak punya ibu sejak kecil, hanya bapak... satu-satunya orangtua dan keluarga yang ia miliki.
Cheryl mengumpulkan sisa keberaniannya yang mulai terkikis oleh ketakutan. Gadis itu menggenggam erat-erat tangan sang bapak, berharap ada keajaiban di balik segala ketakutan yang menderanya.
Tangannya tiba-tiba gemetaran, seakan takut bahwa kehangatan tangan bapak yang ia rasakan saat ini bisa menghilang sewaktu-waktu.
Sementara itu, Pak Bondan hanya memandangi putri semata wayangnya itu dengan sorot yang begitu sendu. “Che..ryl…,” panggilnya dengan begitu lirih.
“Iya, Pak?” Cheryl mendekatkan dirinya, agar bisa menangkap suara lemah sang bapak di antara bunyi mesin monitor di sekitarnya.
“Mungkin... waktu Bapak... nggak lama lagi....”“Bapak jangan ngomong gitu….” Cheryl kian terisak-isak.“Menikahlah, Nak.... Itu saja… yang ingin Bapak lihat… untuk... terakhir kali.”Cheryl membeku.Sungguh. Permintaan yang mustahil. Padahal, jelas-jelas bapaknya tahu... dia tak punya kekasih, apalagi calon suami.
Selama 22 tahun hidup, Cheryl menjalaninya dengan serius belajar demi bisa membanggakan sang bapak lewat prestasi akademiknya, hingga dia melewatkan hal-hal semacam berkencan dan pacaran.“Menikah?” Cheryl menggeleng pelan. “Tapi, Pak… Cheryl menikah dengan siapa? Cheryl kan nggak punya—” Tiba-tiba, matanya terkunci pada sosok pria tinggi tegap yang berdiri di sana, wajahnya kaku dan dingin, seolah tak peduli dengan apapun di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam dan penuh perhitungan seperti menembus dirinya, tanpa ada sedikit pun kehangatan.“Denganku. Kamu akan menikah denganku, Cheryl Anindita.”Cheryl ternganga. Suara itu… Itu... suara pria asing yang menyebalkan di telepon tadi!***Bara memeriksa laporan kuartal terbaru, membalas email, dan menghadiri beberapa panggilan konferensi video dari klien serta investor internasional. Setiap detik waktu sangat berharga, dan setiap keputusan yang ia ambil bisa mengubah arah bisnis jutaan dolar.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka dengan suara halus, dan sosok pria tua masuk, mengenakan setelan jas klasik yang rapi. “Masih saja di tengah pusaran angka dan target, Nak?” ucap si kakek dengan senyum tipis, menatap cucunya yang terlihat letih tapi fokus.Bara menengok sebentar, lalu berdiri menyambut. “Halo, Opa? Mendadak sekali mampir ke sini?”“Kenapa? Aku harus melewati protokol seperti tamumu yang lain kalau mau menemui cucuku sendiri?”“Bukan begitu. Aku hanya tak ingin Opa merasa terabaikan jika ke sini tanpa bilang-bilang dulu, sementara aku sedang meeting.”“Opa lebih senang melihatmu sibuk bekerja begini daripada galau nggak jelas.”“Memangnya kapan aku galau nggak jelas?”Tuan Sigit terkekeh. “Ya. Ya. Kamu memang b
Layar komputer Cheryl sudah penuh dengan grafik, tabel, dan laporan yang harus ia revisi sebelum rapat siang. Deru mesin printer dan denting notifikasi email bergantian mengisi ruang kerjanya, tapi Cheryl nyaris tak terganggu. Tangannya lincah menari di atas keyboard, matanya tajam memindai setiap data yang masuk.Sejak pertama kali ia menapakkan kaki di perusahaan ini, hampir enam tahun lalu, ruang rapat selalu menjadi panggungnya. Bukan karena ia mencari sorotan, tetapi karena ia selalu datang dengan angka yang berbicara sendiri—data yang tajam, analisis yang jernih, dan solusi yang bisa dieksekusi.Gadis itu juga memiliki daya tarik tersendiri saat presentasi, bahasanya lugas dan tidak bertele-tele.Tiga tahun terakhir, ia nyaris hidup di kantor. Lembur menjadi kebiasaan, akhir pekan pun sering ia habiskan di depan monitor. Beberapa rekan kerja sempat berseloroh. “Heran. Nggak ada capek-capeknya kerja ini orang?”“Maklumin ajalah… namanya juga jomblo gabut.”“Tapi segabut-gabutn
Cheryl menutup telepon dan meletakkan ponselnya di dalam tas. Tidak ada helaan napas panjang, tidak ada ekspresi kecewa—hanya gerakan biasa, seolah pembicaraan barusan hanyalah urusan sepele.Tangannya meraih buku menu. Ia membukanya perlahan, matanya menyusuri deretan nama hidangan tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang sudah tahu apa yang diinginkan.Malam ini, ia tidak menunggu Valen, hanya sekadar datang karena diundang. Baginya tak mengapa jika Valen bakal terlambat atau tidak, bahkan jika tak datang pun Cheryl tak merasa kecewa — mungkin dulu iya, tapi sekarang tidak. Ia sudah lama menyadari bahwa hati lelaki itu bukan untuknya. Valen hanya meminjamkan sedikit waktunya, itu pun jika pekerjaan mengizinkan.Mungkin Valen memang sudah ditakdirkan sebagai penyembuh. Hingga hatinya seakan tidak bisa terkontaminasi oleh cinta selain pada pasien dan profesinya. Tapi itu tidak membuat Cheryl merasa patah hati, sebab hatinya memang sudah lebih dulu patah sebelum bertemu dengan pria
Seorang dokter ortopedi muda, Dr. Raka, berdiri di sisi ruangan konferensi lantai enam Bintang Hospital. Di layar besar, terpampang citra MRI bahu kanan seorang pria berusia 32 tahun—korban kecelakaan lalu lintas tiga bulan lalu.“Pasien mengalami rotator cuff tear grade IV dengan kerusakan pada supraspinatus tendon yang cukup signifikan,” ujar Raka sambil menunjuk area merah pada gambar MRI. “Terdapat pula Hill-Sachs lesion di bagian posterior kepala humerus akibat dislokasi anterior berulang. Mobilitas bahu saat ini terbatas, hanya sekitar 30 derajat abduksi aktif, disertai nyeri skala V menurut VAS.”Valen duduk di barisan depan, tampak berwibawa dalam balutan jas dokternya. Di hadapannya, sebuah tablet hitam terbuka pada rekam medis pasien. Tatapannya teduh tapi tajam, menyimak setiap kata, sesekali ia menggoyang-goyangkan stylus dengan jarinya.Dr. Raka melanjutkan, “Metode terapi yang saya ajukan adalah arthroscopic rotator cuff repair menggunakan teknik double-row dengan tambaha
Cheryl keluar dari gedung JCC Senayan dengan langkah ringan, gaun wisudanya bergoyang anggun tertiup angin siang. Ia langsung menuju area parkir, tempat Honda Jazz abu-abu metalik miliknya menunggu.Mobil berdesain modern dan sporty itu sudah beberapa bulan ini menjadi teman setianya di tengah kesibukan kota, mudah bermanuver di jalanan padat dan tetap irit bahan bakar. Desainnya yang sleek dan aerodinamis cocok sekali dengan Cheryl yang mandiri dan sibuk. Cheryl membeli mobil itu dengan uang nafkah bulanan dari Bara — yang tak pernah telat ditransfer Bara ke rekeningnya setiap bulan, hingga hari perceraian mereka.Selama itu, Cheryl membiarkan transferan bulanan dari Bara mengendap di satu rekening khusus, nyaris tak tersentuh. Sampai suatu hari, saat iseng memeriksa rekening tersebut, ia hampir tak percaya melihat angka saldonya yang mencapai 1,8 miliar. “Gila! Ternyata dia rutin transfer seratus juta per bulan buat aku? Selama 18 bulan pernikahan kami? Tak pernah lewat satu bulan
Pagi itu, gedung Jakarta Convention Center di Senayan dipenuhi oleh riuh rendah para wisudawan, keluarga, dan tamu undangan acara wisuda Universitas Buana Nusantara, salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta yang memiliki program afiliasi internasional.Cheryl duduk di antara deretan kursi yang penuh oleh para calon wisudawan dan wisudawati yang mengenakan toga hitam dengan pita warna biru laut, simbol program Magister Manajemen yang mereka tempuh. Dalam beberapa saat lagi, ia akan meraih gelar MBA, hasil dari program afiliasi internasional yang dijalankan kampusnya."Fakultas Ekonomi dan Bisnis.”Suara MC menggema. Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati dari program S1, yang terdiri dari ratusan orang, mulai dipanggil. Cheryl sesekali ikut bertepuk tangan untuk mereka. Hingga tiba juga saatnya.“Program Studi Magister Manajemen.” Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati mulai dipanggil. Dan akhirnya…. “Saudari Cheryl Anindita. Indeks Prestasi Kumulatif 3,87. Predikat Cu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments