Cheryl berdiri di depan pintu lobby gedung milik PT Sinar Artha Abadi, Tbk. Ia menarik napas panjang. Blazer biru tua membingkai tubuh rampingnya, sementara di bahunya tersampir sebuah tote kulit hitam bermerk—hadiah kecil untuk dirinya sendiri setelah dinyatakan resmi diterima sebagai Manager.Suasana lobi terasa sibuk. Karyawan berlalu-lalang membawa berkas dan laptop. Sebagian orang berhenti di depan meja resepsionis untuk menukar KTP mereka dengan kartu akses.Aroma kopi dari kafe kecil di sudut ruangan bercampur dengan suara denting lift yang terus terbuka dan tertutup. Cheryl langsung menuju lift. Ia sudah memiliki kartu akses, yang merangkap sebagai ID Card-nya yang bertuliskan: Cheryl Anindita-Manager Riset Pasar Strategis.Lift kaca membawa Cheryl naik, melewati pemandangan kota yang terbentang luas. Dan sampailah ia di lantai 27, kantor divisi Riset Pasar Strategis berdiri sebagai jantung pengendali arah bisnis, menganalisis data lintas sektor dari keuangan, asuransi, pasar
“Jadi, bagaimana gadis itu bekerja selama ini, Den?”Tanpa banyak basa-basi, Tuan Sigit langsung bertanya kepada Denny—orang yang selama ini ia minta untuk mengawasi dan menggembleng Cheryl di Centra Group. Hari ini, Denny yang merupakan Direktur di Centra Group itu dipanggil datang menghadap kepadanya.Denny menarik napas, menyusun kata-kata. “Cheryl... disiplin, cepat belajar. Dia menyerap semua materi yang diberikan, lalu mengeksekusinya dengan serius. Apapun tugas yang kami berikan, Cheryl bisa menyelesaikannya. Dia pandai bekerja sama dalam tim, memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni. Saat kami menugasinya memimpin tim dalam sebuah proyek penting, dia bisa menuntaskannya dengan sangat baik. Bahkan itu membantu meningkatkan pendapatan perusahaan dan menekan efisiensi anggaran. Menurut saya, biarpun ada yang lebih cerdas di divisinya, tapi... belum ada yang mengalahkan kegigihan dan kejeliannya dalam bekerja.”Senyum tipis mengulas bibir Tuan Sigit. “Gigih.” Ia mengulang kata
Bara memeriksa laporan kuartal terbaru, membalas email, dan menghadiri beberapa panggilan konferensi video dari klien serta investor internasional. Setiap detik waktu sangat berharga, dan setiap keputusan yang ia ambil bisa mengubah arah bisnis jutaan dolar.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka dengan suara halus, dan sosok pria tua masuk, mengenakan setelan jas klasik yang rapi. “Masih saja di tengah pusaran angka dan target, Nak?” ucap si kakek dengan senyum tipis, menatap cucunya yang terlihat letih tapi fokus.Bara menengok sebentar, lalu berdiri menyambut. “Halo, Opa? Mendadak sekali mampir ke sini?”“Kenapa? Aku harus melewati protokol seperti tamumu yang lain kalau mau menemui cucuku sendiri?”“Bukan begitu. Aku hanya tak ingin Opa merasa terabaikan jika ke sini tanpa bilang-bilang dulu, sementara aku sedang meeting.”“Opa lebih senang melihatmu sibuk bekerja begini daripada galau nggak jelas.”“Memangnya kapan aku galau nggak jelas?”Tuan Sigit terkekeh. “Ya. Ya. Kamu memang b
Layar komputer Cheryl sudah penuh dengan grafik, tabel, dan laporan yang harus ia revisi sebelum rapat siang. Deru mesin printer dan denting notifikasi email bergantian mengisi ruang kerjanya, tapi Cheryl nyaris tak terganggu. Tangannya lincah menari di atas keyboard, matanya tajam memindai setiap data yang masuk.Sejak pertama kali ia menapakkan kaki di perusahaan ini, hampir enam tahun lalu, ruang rapat selalu menjadi panggungnya. Bukan karena ia mencari sorotan, tetapi karena ia selalu datang dengan angka yang berbicara sendiri—data yang tajam, analisis yang jernih, dan solusi yang bisa dieksekusi.Gadis itu juga memiliki daya tarik tersendiri saat presentasi, bahasanya lugas dan tidak bertele-tele.Tiga tahun terakhir, ia nyaris hidup di kantor. Lembur menjadi kebiasaan, akhir pekan pun sering ia habiskan di depan monitor. Beberapa rekan kerja sempat berseloroh. “Heran. Nggak ada capek-capeknya kerja ini orang?”“Maklumin ajalah… namanya juga jomblo gabut.”“Tapi segabut-gabutn
Cheryl menutup telepon dan meletakkan ponselnya di dalam tas. Tidak ada helaan napas panjang, tidak ada ekspresi kecewa—hanya gerakan biasa, seolah pembicaraan barusan hanyalah urusan sepele.Tangannya meraih buku menu. Ia membukanya perlahan, matanya menyusuri deretan nama hidangan tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang sudah tahu apa yang diinginkan.Malam ini, ia tidak menunggu Valen, hanya sekadar datang karena diundang. Baginya tak mengapa jika Valen bakal terlambat atau tidak, bahkan jika tak datang pun Cheryl tak merasa kecewa — mungkin dulu iya, tapi sekarang tidak. Ia sudah lama menyadari bahwa hati lelaki itu bukan untuknya. Valen hanya meminjamkan sedikit waktunya, itu pun jika pekerjaan mengizinkan.Mungkin Valen memang sudah ditakdirkan sebagai penyembuh. Hingga hatinya seakan tidak bisa terkontaminasi oleh cinta selain pada pasien dan profesinya. Tapi itu tidak membuat Cheryl merasa patah hati, sebab hatinya memang sudah lebih dulu patah sebelum bertemu dengan pria
Seorang dokter ortopedi muda, Dr. Raka, berdiri di sisi ruangan konferensi lantai enam Bintang Hospital. Di layar besar, terpampang citra MRI bahu kanan seorang pria berusia 32 tahun—korban kecelakaan lalu lintas tiga bulan lalu.“Pasien mengalami rotator cuff tear grade IV dengan kerusakan pada supraspinatus tendon yang cukup signifikan,” ujar Raka sambil menunjuk area merah pada gambar MRI. “Terdapat pula Hill-Sachs lesion di bagian posterior kepala humerus akibat dislokasi anterior berulang. Mobilitas bahu saat ini terbatas, hanya sekitar 30 derajat abduksi aktif, disertai nyeri skala V menurut VAS.”Valen duduk di barisan depan, tampak berwibawa dalam balutan jas dokternya. Di hadapannya, sebuah tablet hitam terbuka pada rekam medis pasien. Tatapannya teduh tapi tajam, menyimak setiap kata, sesekali ia menggoyang-goyangkan stylus dengan jarinya.Dr. Raka melanjutkan, “Metode terapi yang saya ajukan adalah arthroscopic rotator cuff repair menggunakan teknik double-row dengan tambaha