Vinson baru saja pulang setelah memancing dengan Brandon. Begitu turun dari mobil, dia juga melihat Ace yang baru saja datang."Kamu baru pulang juga, eh?" tanya Ace, menyambut Vinson yang hanya menatapnya dalam diam saat mereka berpapasan.Vinson mengangguk singkat sebagai jawab. Terlihat begitu tenang. Hal itu membuat Ace tersenyum lebar. "Bagaimana? Apa yang kamu lakukan tadi? Quen tidak membawamu ke kandang harimau, bukan?" tanya Ace.Vinson hanya menggeleng pelan. "Tidak seburuk yang kalian pikirkan," jawabnya singkat.Ace memiringkan kepala, berusaha membaca ekspresi Vinson sebab penasaran dengan apa yang Quen tugaskan pada lelaki itu, tetapi dia sama sekali tidak berhasil. Vinson masih terlihat begitu tenang dan datar. Ace sama sekali tidak bisa membaca raut mukanya.Saat keduanya masuk ke dalam rumah, orang-orang tampak sedang berada di ruangan yang sama, tetapi dengan kegiatan mereka masing-masing. Quen duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Entah apa yang sedang dia telusuri
Quen sedang duduk di atas ranjang sambil membaca buku saat Levin masuk ke dalam kamar. Quen langsung menutup buku dan meletakkannya di atas nakas saat mengetahui kehadiran Levin. Dia ingat bahwa malam ini memang jadwalnya tidur dengan pria itu."Kamu sedang membaca buku kah? Buku apa yang kamu baca? Santai saja. Aku akan mandi terlebih dahulu," ucap Levin dengan wajah tersenyum saat mengatakan hal itu.Quen mengerutkan kening. Pria itu bertanya tetapi tidak memberi jeda untuk Quen menjawab. Bahkan setelah itu, Levin hanya menyunggingkan senyum dan berjalan ke dalam kamar mandi. Quen hanya bisa menggeleng pelan karen kelakuan suaminya yang tak bisa ditebak itu."Aku tahu dia aneh. Tapi tetap saja aku masih belum terbiasa dengan sikapnya itu," monolog Quen seiring dengan kepergian Levin yang masuk ke dalam kamar mandi sambil kedua tangannya berada du dalam saku celana yang dia pakai.Tak berapa lama kemudian, terdengar suara gemericik air. Sepertinya Levin sudah mulai mandi, pikir Quen.
"Lalu apa yang membuat kamu sampai pingsan?"Levin menelan salivanya dengan susah payah begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ace. Pria itu terlihat sedikit gugup. Namun dia sudah bertekad untuk mengatakan pada mereka. Toh, dia tidak bisa untuk terus menyembunyikan phobia yang dia miliki selamanya dari mereka semua."Sebenarnya ... aku takut darah," jawab Levin sambil melirik ngeri pada jari telunjuk Quen yang berdarah. Suara pria itu terdengar semakin kecil ke akhir.Quen, Owen, Ace, Zane, dan Vinson seketika membulatkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja Levin katakan. Bagaimana bisa pria yang terlihat gagah, tampan, dan berbadan tinggi atletis seperti Levin justru takut darah sampai membuatnya pingsan hanya karena melihat sedikit darah yang mengalir di tangan Quen?"Aku pikir kamu pingsan karena Quen," komentar Zane. "Bukankah Quen lebih menyeramkan daripada darah dan monster apa pun yang menyeramkan di dunia ini? Kenapa kamu justru takut akan hal kecil seperti
Menu sarapan sudah berjejer di meja. Sementara penghuni rumah satu per satu mulai turun setelah beberapa saat lalu Quen memanggil mereka semua. Rutinitas pagi yang perlahan mulai terbiasa bagi keenam orang tersebut.Kini, semua orang sudah duduk di kursi masing-masing. Menyantap sarapan dengan khidmat."Owen," panggil Quen, mengangkat garpunya di depan wajah, membuat Levin yang berada di depannya agak ngeri. Takut-takut garpu itu tiba-tiba melayang ke arahnya. "Hari ini adalah giliranmu menemani Ayah. Aku akan mengirimkan alamat rumah Ayah padamu nanti."Owen seketika melebarkan mata. "Benarkah? Aku tidak bisa melewatkan hal itu?" tanya lelaki itu, yang seketika tersenyum meringis begitu mendapati tatapan maut yang dilayangkan oleh Quen.Semua orang mengulum tawa karena Owen tidak bisa berkutik hari ini. Mau tak mau, lelaki itu harus menuruti jadwal yang telah Quen tentukan.Ponsel Quen yang berada di sisi piringnya tiba-tiba berdering. Melihat nam
"Aku harus segera berangkat," pamit Ace pada penghuni rumah yang tersisa begitu dia mendengar suara mobil Chris yang berhenti di depan."Baiklah. Semoga harimu menyenangkan," balas Quen lugas.Pria itu lekas berdiri dari duduknya dan keluar dari rumah. Benar saja dugaannya, bahwa mobil yang datang tersebut adalah mobil Chris. Tanpa menunggu lama lagi, Ace masuk ke dalam mobil tersebut."Kamu tidur dengan nyenyak?" tanya Chris, menyambut kedatangan artisnya tersebut."Jika kamu berharap aku tidak bisa tidur setelah apa yang terjadi kemarin, maaf, kamu salah. Aku tidur dengan nyenyak, Bung," balas Ace jenaka.Chris menggelengkan kepalanya pelan. "Apakah kamu berpikir bahwa aku berharap demikian? Itu hanyalah basa-basi," tandas Chris, menanggapi lelucon yang dilemparkan Ace. Pria itu lantas menyodorkan sebuah kotak pada Ace. Ace langsung tahu bahwa isi di dalam kotak tersebut adalah sebuah ponsel."Aku sudah memasukkan nomorku, nomor member Blade Storm, dan juga nomor Quen. Kamu hanya ti
Napas Ace mulai berat dan tak beraturan. Dadanya naik turun dengan keras usai latihan dance-nya yang intens beberapa saat lalu. Pria itu menyerah, tidak bisa lagi melanjutkan tariannya. Dengan embusan napas panjang, pria itu duduk sambil menselonjorkan kaki di lantai.Ace menoleh pada yang lain. Semuanya sudah beristirahat sejak beberapa saat lalu sebelum dirinya. Hanya tersisa Jimmy yang kini memutar lagu ke sekian dan kembali latihan. Pria itu memang dance machine. Selain jago berbagai koreo, energinya juga melebihi yang lain."Kamu tidak lelah, Jim?" tanya Ace sambil menyibak rambutnya yang basah oleh keringat. Pendingin ruangan hampir tidak terasa karena suhu tubuhnya meningkat setelah latihan. Ace bahkan seperti mandi keringat sekarang.Jimmy masih fokus pada ritme dan ketukan lagu. Menari dengan begitu luwesnya, bahkan sesekali dia bernyanyi mengikuti lagu Namun dia tetap mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ace. "Aku masih bisa menari untuk satu atau dua lagi," balas lel
Sesuai apa yang diperintahkan oleh ratunya, Quen, hari ini Owen akan mampir ke rumah Brandon dan menemani pria yang sudah berusia senja itu untuk menghabiskan waktu, entah dengan melakukan apa. Dia sendiri belum tahu dan hanya mengikuti perintah untuk datang.Bermodalkan alamat yang dikirim Quen lewat pesan singkat, akhirnya Owen tiba di halaman depan rumah Brandon. Pria itu bergegas turun dari mobil dan berjalan ke teras setelah mengamati rumah yang menjadi kediaman Brandon tersebut. Saat dirinya baru saja hendak menekan bel, pintu tinggi di depannya justru tiba-tiba terbuka.Seketika terlihat Brandon dengan pakaian pantai yang sudah lengkap. Bahkan, pria itu memakai topi dengan pinggiran lebar dan juga membawa tas berisi peralatan memantai. Ralat, bukan peralatan, lebih tepatnya mirip seperti mainan anak-anak yang terbuat dari plastik."Akhirnya, menantuku datang juga," tandas Brandon, tersenyum semringah menatap Owen yang menjulang tinggi di depannys. M
Bab 22Senyum lebar Brandon seolah tak pernah luruh sejak dia tiba di pantai dan mulai duduk di atas pesisir pantai sambil membangun istana pasir raksasa miliknya, yang dalam prosesnya ia dibantu juga oleh Owen. Dengan sangat telaten, seolah dia tengah mengerjakan proyek sungguhan, Brandon mengukir setiap sudut istana pasir itu."Akhirnya!" seru Brandon lega setelah semua bagian yang harus dia buat selesai.Brandon lantas menatap ke depannya. Di mana Owen mengerjakan bagian benteng belakang. "Owen, apakah sudah selesai?" tanya pria itu agak berteriak.Kepala Owen tampak menyembul di sisi istana pasir raksasa itu, untuk menatap Brandon. Pria itu mengacungkan sebelah jempol sambil tersenyum lebar. "Aman. Aku sudah menyelesaikannya, Pa!" jawab lelaki itu.Brandon seketika tersenyum lebar mendengar jawaban Owen. Pria itu berdiri dari posisi duduknya sejak tadi. Punggung tuanya terasa begitu sakit karena terlalu lama duduk. Otot-ototnya bahkan menegang."Uwaaah! Akhjrnya, istana kita telah