Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.
Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan.
"Tuan Alexander …."
Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.
Siapa yang dipanggilnya? Aku?
Aku mendekat, sambil mengernyitkan alis. Benarkah yang disapa gadis itu aku? Masih dengan menoleh ke sekeliling, tak ada orang lagi di sini.
"Mbak, panggil saya?"
Telunjuk terangkat ke wajahku sendiri. Berusaha memastikan.
"Iya, Tuan. Sudah lama tak berjumpa. Bagaimana kabarnya? Kabar terakhir yang saya dengar anda telah meninggal, hanyut di Sungai Ciliwung setelah tabrakan."
"Meninggal? Mmaaf, mungkin Mbak, salah orang," kilahku.
Perempuan dengan rambut yang digelung rapi itu melihatku dengan seksama. Mengamati dari ujung kaki hingga kepala. Tatapannya berhenti di bagian bawah, celana jeans belel berwarna hitam setinggi lutut dan sandal jepit yang kukenakan.
"Sepertinya saya salah orang, maaf. Tetapi, wajah anda mirip sekali dengan Tuan Alexander, pewaris The One Property."
Aku mengernyit, "Pewaris The One Property. Aku?"
"Iya, muka Tuan sama persis. Hanya cara berpakaian saja yang berbeda."
Perempuan itu kembali mengamatiku dari atas hingga bawah. Seakan-akan mengatakan cara berpakaianku tak layak.
"Ah, Mbak, bener ini hotel Hilton?"
Aku teringat tujuan awal datang kemari. Mencari tahu tentang kata Hilton dalam secarik kertas lusuh yang tertinggal dalam saku jas.
"Iya, benar Tuan."
Jadi, hotel Hilton itu benar-benar ada? Tulisan di secarik kertas itu benar dan berhubungan dengan hotel ini?
"Kupikir, aku akan menikahimu di hadapan Papa. Namun, tetap berhubungan dengan kekasihku, Jhon."
Lagi suara gadis itu terdengar, kali ini dari samping kanan. Segera aku menoleh, mencari asal suara. Tiba-tiba seseorang menghadang langkah. Wajah itu, sorot mata tajamnya, seringaiannya. Aku merasa mengenal sosok ini.
"Apa aku mengenalmu?"
Sang lelaki mendorongku hingga terjatuh. Kedua sosok itu berpelukan dengan mesra di depan kedua mataku. Perlahan semakin menjauh, masuk ke dalam kabut asap. Bayangan mereka hilang.
"Tidak. Hey, tunggu!"
"Tungguuu …."
"Tamara … Tamara …."
Aku mengerjap bayangam dalam mimpiku kemarin memudar. Aku melihat seorang gadis cantik. Tamara, iya aku memanggil nama itu saat terbangun. Siapa dia?
"Apa Mbak, tahu siapa itu, Tamara?"
"Tamara?" Perempuan tadi mengernyitkan Alisnya, "Tamara Hilton adalah nama anak gadis pemilik hotel Hilton ini. Dia telah bertunangan dengan pewaris dari The One Property, Alexander Ibrahim beberapa hari yang lalu. Nahas, Tuan Alexander mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang dari sini. Gosip yang beredar jasadnya belum diketemukan hingga sekarang."
Jadi wanita dalam mimpiku bernama Tamara dan seorang ahli waris dari hotel berbintang lima ini?
Aku meninggalkan meja lobi, tanpa berpamitan pada si perempuan tadi. Melangkah berkeliling.
"Tuan!"
"Tuan …."
Perempuan tadi memanggilku. Entah apa yang coba disampaikannya lagi. Aku tak perduli. Tujuanku kemari bukan untuk mengobrol dengannya. Aku tak punya waktu banyak. Ada yang harus kuselidiki, kebenaran tentang kenangan-kenangan yang terputar di kepala.
Ting!
De javu.
Sebuah lift terbuka, beberapa orang keluar dari sana. Mereka menatapku dari atas hingga ke bawah, heran. Penampilanku menjadi sorotan. Hey, tunggu! Sepertinya aku pernah berada di tempat ini. Ya, tempat ini sama seperti di dalam mimpiku.
Ya, di tempat ini. Antara lift dan kursi tunggu ini. Lalu ada tempat sampah dari stainless.
Aku menoleh ke belakang, mataku membelalang lebar. Benar, itu tempat sampahnya. Semua yang terlihat di mimpiku kemarin adalah tempat ini, mimpi yang benar-benar nyata.
Jadi kejadian dalam mimpiku kemarin bukan hanya bunga tidur? Tetapi memang alam bawah sadar sedang berusaha mengingat tentang kenangan-kenangan yang pernah terjadi.
Ting!
Aku terkesiap dari lamunan. Pintu lift kembali tertutup. Aku masih berdiri terpaku di tempat. Bingung. Apa yang harus kulakukan. Haruskah aku masuk ke dalam lift naik ke tingkat atas, melanjutkan penyelidikan?
Aku kembali melangkah, tak terasa sudah berada di parkiran hotel.
"Kok cepet, Ali? Udah?"
Abah melongok dari dalam angkotnya. Alisnya mengernyit menatapku berjalan mendekat.
"Udah, Bah," jawabku singkat.
Aku tak enak berlama-lama di dalam hotel sana. Meninggalkan Abah sendirian di parkiran. Ia enggan ikut masuk. Malu katanya.
"Jauh-jauh Abah, nganter kesini. Katanya mau menyelidiki? Mau cari tahu tentang masa lalu kamu? Kok, cepet amat, sih?"
Aku terdiam, kepalaku terus memutar semua yang terjadi dalam mimpi juga bukti-bukti nyata yang kutemui di hotel tadi.
Jas lusuh yang kukenakan saat hanyut, gumpalan kertas, potongan-potongan ingatan yang terputar.
Jika benar aku adalah Alexander, pewaris The One Property seperti yang dituduhkan si perempuan penjaga lobi tadi. Aku harus segera kembali ke tempatku. Tetapi, bagaimana caranya?
"Ali? Ngelamun bae ni bocah!"
Abah menepuk pundakku. Aku terkesiap menatap pada pria paruh baya itu.
"A-apa, Bah?"
"Eetdah, orang tua ngomong gak didengerin. Kurang ajar bener elu," sungut Abah.
"Maaf Bah, Ali lagi mikir. Pas di dalam hotel tadi. Ali ketemu perempuan yang nunggu resepsionis, dia salah sangka kalo Ali ini Alexander, pewaris dari The One Property. Kalo bener Ali ini anak orang kaya, kenapa gak ada yang cari Ali, ya, Bah?"
"Dimana ada resepsi, Ali? Siapa yang jadi manten?"
Astaga. Aku menepuk jidat. Giliran bicara serius si Abah gak ngerti.
"Bukan resepsi Abah, Resepsionis. Udah ayok, jalan. Kita pulang aja. Udah makin sore, nih!"
Abah terkekeh mendengar penjelasanku. Lelaki paruh baya itu memutar kunci angkotnya, memasukkan persnelling lalu menginjak pedal gas. Keluar dari parkiran hotel Hilton.
Perjalanan dari Bojong Gede menuju puncak Bogor memakan waktu sekitar satu jam setengah hingga dua jam lamanya. Tergantung pada situasi di jalan, beruntung kali ini bukan hari libur nasional, atau hari minggu. Jalanan tak begitu padat.
Jadi aku adalah Alexander Ibrahim? Pewaris The One Property? Dan Tamara Hilton adalah tunanganku?
Tetapi, kenapa aku bisa hanyut di Sungai, hingga hilang ingatan di malam pesta pertunanganku sendiri?
"Ali," panggil Abah.
Aku menoleh, menatap Ayah Wulan itu. Kulitnya mulai keriput di sana sini. Kehidupan berat yang dijalaninya, membuat lelaki itu terlihat lebih tua dari umurnya. Ia kehilangan kontak dengan istrinya yang bekerja menjadi TKW di negara Malaysia, sejak tiga tahun yang lalu.
"Iya, Bah."
"Kalo misalnya nih, elu, bener-bener anak orang kaya. Apa elu, bakal lupa ama Abah dan Wulan?"
"Ya, enggak lah, Bah. Kalian udah Ali anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau gak ada Abah dan Wulan, Ali gak tau bagaimana nasib Ali."
Aku benar-benar merasa bersyukur telah diselamatkan Wulan dan Abah. Seandainya tak ada mereka, entah bagaimana nasibku.
***
Pelan-pelan teka-teki masa lalu Ali mulai terkuak nih, Gaess.
Penasaran? Ikuti terus kisah Ali bin Alexander Ibrahim ini.
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."