Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah.
"Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.
Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja.
"Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.
"Itu alamat rumah keluarga Ibrahim."
Perempuan itu tersenyum padaku. Entah ada apa denganku, setelah menerima alamat itu langkahku terasa ringan dan cepat ingin segera kembali ke rumah.
Sebuah alamat rumah tertulis. Rumah nomor 185 A, Pondok Indah. Kelurahan pondok Pinang, Kebayoran Lama. Jakarta Selatan.
"Haruskah aku kembali ke rumah itu?"
***
Aku membusungkan dada menatap lurus ke depan. Mengenakan jas berwarna hitam, dengan merk Brioni Vanquish II. Walaupun sudah ikut terhanyut di sungai saat itu namun, jas ini masih terlihat sangat bagus. Tetap elegan dan mewah. Benar kata orang, harga membawa rupa.
Sepulang dari Puncak, Bogor kemarin, aku meminta Wulan mencuci dan menyetrika pakaian dalam plastik yang disimpannya itu. Gadis itu tak berkedip setelah aku memakai jas ini.
"Ali?" desisnya.
"Jan kaget gitu napa? Kayak belon pernah lihat orang ganteng aja. Biasa aja dong. Jangan lebar-lebar mulutnya," ejekku.
Satu sudut bibirku terangkat naik, teringat kekonyolan Wulan tadi.
Kini, aku berdiri di depan sebuah pagar besi tinggi bercat putih, tampak delapan pilar besar menyangga bagian depan rumah. Terdapat dua balkon di sisi kiri dan kanan pada lantai duanya di tiap balkon berisi meja dan sepasang kursi.
"185 A."
Aku menyamakan nomor yang terdapat di pagar dengan sebuah tulisan di secarik kertas kecil.
Saatnya kembali ke panggung sandiwara memainkan peran dan mendapatkan semua yang menjadi milikku.
Aku memencet bel berwarna putih di samping pintu pagar.
"Dengan rumah keluarga Ibrahim. Siapa anda? Ada perlu apa?"
Sebuah suara dari mesin penjawab otomatis terdengar.
"Saya Al … Alexander."
Hampir aku menyebutkan ali. Beberapa hari hidup bersama dengan Abah dan wulan dengan nama Ali, membuatku lupa nama asli yang harus kuucapkan. Kamera cctv di atas pagar besi menyorotku.
Tak berapa lama, pagar terbuka. Suara derit roda terdengar. Sebuah garasi mobil besar terlihat, garasi yang besar. Cukup untuk tiga mobil sekaligus. Hamparan rumput hijau menjadi permadani di halaman depan rumah itu.
Aku melangkah masuk. Di sisi kanan pagar besi tadi, ada sebuah pos security. Dua orang lelaki keluar mengenakan seragam keamanan berwarna putih pada bagian atas dan hitam di bawahnya. Mereka tersenyum menatap kedatanganku.
"Benar ini, Tuan Alexander?"
Salah seorang mendekat, ia memandangku dari atas hingga bawah.
"Alhamdulilah, Tuan. Ternyata, Tuan selamat," ucap salah satu security lagi.
Aku mengangguk dan tersenyum. Sejujurnya ingatanku belum pulih benar. Namun, demi kembali ke tempat asalku aku harus berakting seakan-akan akulah Alexander. The show must go on.
Kedua security tadi mengantarkanku masuk menuju rumah. Dua pintu berukuran besar dengan hiasan ukiran sulur bunga terbuka. Tampak ruang tamu dengan wallpaper berwarna putih. Furnitur berwarna keemasan menambah kesan mewah ruangan ini.
"Hati-hati kalo jalan!"
Seorang lelaki memakai jaket kulit berwarna hitam, terburu-buru keluar dari dalam rumah. Ia menabrak pundakku dengan keras. Kami bersisipan di pintu, saling menatap tajam.
"Siapa itu?"
"Ah, itu den Jhonny. Kami pamit, kembali ke pos depan lagi, Tuan."
Kedua security tadi meninggalkanku di ruang tamu. Aku masih bertanya-tanya, siapa lelaki tadi.
Sebuah foto dengan pigura berwarna emas tergantung di atas televisi. Ada seorang lelaki tampan dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Garis wajahnya mirip denganku. Di sebelah lelaki itu seorang perempuan dengan rambut bergelombang tersenyum memperlihatkan sederet gigi berwarna putih. Ada aku dalam foto itu, merangkul seorang gadis muda.
"Tuan Alexander?"
Seorang perempuan paruh baya, menatapku tanpa berkedip, "Benarkah ini, Tuan Alexander?"
Aku tersenyum dan mengangguk. Perempuan itu maju dan memegang tanganku. Sederet gigi putih diperlihatkannya. Wajahnya terlihat begitu bahagia bertemu denganku.
"Sejak berita kecelakaan yang dialami Tuan, rumah ini menjadi sunyi. Tak ada keceriaan. Tuan Ibrahim dan Nona Alicia sering murung."
"Benarkah?"
Aku menjawab dengan penuh hati-hati. Takut jika salah ucap. Namun, informasi ini cukup memberiku gambaran bahwa keluarga ini sangat kehilanganku.
"Sebentar, saya panggilkan Tuan Ibrahim dulu."
Perempuan itu menaiki tangga. Menuju lantai atas. Aku kembali menatap ruang tamu. Dua buah guci besar terletak di sisi kiri dan kanan tangga, beberapa lagi diletakkan di sudut-sudut ruang. Sungguh penataan yang indah. Menambah kesan mewah rumah ini. Pasti harganya sangat mahal.
"Siapa kamu?"
"Kenapa kamu ada di ruang tamu rumahku?"
Aku berbalik, menoleh ke arah suara. Wajah yang serupa dalam foto. Pastilah dia ayah dari Alexander, Tuan Ibrahim.
"Papa …."
"Alex? Benarkah ini? Kamu masih hidup anakku?"
Pria itu langsung menuruni tangga dengan cepat. Memelukku. Hangat dan nyaman. Entah dari mana datangnya rasa ini. Mungkinkah alam bawah sadarku kembali mengirimkan tanda? Bagaimanapun darah lebih kental dari air. Rasa nyaman yang tercipta, sekalipun kami telah lama tak bertemu.
"Mana Mama, Pa?"
Orang yang kuduga adalah Tuan Ibrahim langsung melepas pelukan, "Apa kamu lupa? Mamamu sudah meninggal sejak kamu berumur sembilan tahun."
Aku terkesiap, pertanyaan bodoh. Bisa-bisa Papa tahu kalau ingatanku belum pulih benar.
"A-aku, rindu Mama."
Jawabku sekenanya. Semoga Papa tak curiga.
Tuan Ibrahim berjalan menuju kursi sofa di ruang tamu, aku mengikutinya.
"Jadi, selama ini kamu masih hidup? Ceritakan pada Papa, apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
"Aku sendiri tak ingat, Pa," batinku. Andainya aku menjawab seperti itu, bagaimana reaksi lelaki di hadapanku ini?
"Sebuah mobil menabrakku, kemudian aku terjatuh di sungai Pa," jawabku sekenanya.
Informasi dari resepsionis perempuan yang bekerja di hotel Hilton, juga bukti dan beberapa media yang kudengar cukup memberiku pengetahuan tentang apa yang dialami keluarga ini.
"Syukurlah kamu masih hidup setelah, hampir selama sebulan ini menghilang."
Perempuan yang menyapaku tadi datang dari arah sebuah lorong. Di tangannya ada nampan dengan dua cangkir berisi cairan berwarna kecokelatan. Mungkin dia adalah asisten rumah tangga di rumah ini.
"Ini Tuan, diminum tehnya."
Perempuan itu masih berdiri dan tersenyum melihatku.
"Asih, kenapa masih di sini? Apa tugas kamu di dapur sudah selesai?"
"Ah, ma-maaf Tuan. Saya senang lihat Den Alexander balik lagi," ucap perempuan tadi sambil tersenyum. Ia berjalan, setengah berlari kecil menuju lorong saat ia datang.
"Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ...."
"Maksud, Papa?"
Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Tuan Ibrahim terlihat sangat jelas, menghitam. Wajahnya juga pucat.
Sakitkah dia?
***
Ikuti terus kisahnya ya .…
Jangan lupa tinggalkan jejak, sepatah dua patah kata penyemangat. Kritik dan saran juga sangat penulis tunggu agar cerita ini semakin baik.
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad