Bab 7 : Apakah Aku Akan di .... (Bagian 2)
"Hei, bangun ... Shaki ... bangunlah." Seorang wanita paruh baya dengan tudung kepala membangunkan Zara.
Zara mengerjapkan mata, hendak mengembalikan kesadarannya. Sejenak ia memandang wanita asing di depannya. Sontak ia membangunkan tubuhnya dan duduk di pinggir dipan.
"A-Anda siapa?" tanyanya.
"Aku Benazir. Aku budaknya Nyonya Marie ...," jawab wanita itu sembari tersenyum hangat.
"Marie ...?" Dahi Zara berkerut.
"Maksudku Ummu Rasyad," lanjut Benazir.
"Oh ...," lirih Zara.
"Nyonya menyuruhku membangunkanmu, ia menyuruhmu makan siang."
Mendengar makan, Zara refleks memegang perutnya yang memang belum terisi. Ia makan tadi pagi sebelum dibawa ke rumah ini oleh prajurit Hajjaz. Benazir berdiri, kemudian membantu merapikan kudung yang dipakai oleh Zara. Ya, sejak ditawan oleh Hajjaz memang ia diwajibkan memakai penutup kepala.
"Ayo," ajak Benazir sembari menggandeng lengan Zara.
Zara lalu mengikuti langkah Benazir. Sampai di meja makan, tampak Marie yang sedang duduk di salah satu kursi.
"Ke mari, Shaki ...," ucapnya lembut sambil tersenyum tipis. Kali ini wanita itu tak memakai kerudung dan juga cadarnya, tampaklah rambut coklat yang bercampur dengan banyak helaian putih di atas kepalanya.
Zara mengangguk, kemudian duduk di hadapan Marie. Benazir juga ikut duduk di sebelah gadis berwajah sendu itu.
"Makanlah ...," perintah Ummu Rasyad.
"Hemm, a-Anda tidak makan, Bu?" tanya Zara melihat Marie yang sedang mengunyah potongan buah di hadapannya.
"Aku sudah makan tadi. Kata Benazir tadi siang kau tertidur. Aku suruh dia biarkan dulu kau istirahat. Sekarang sudah sore, bahkan aku sudah shalat Ashar, kau masih tertidur. Ya aku suruh Benazir membangunkanmu. Soalnya kau belum makan sejak datang ke mari." Marie menjelaskan panjang lebar.
"Ma-af, kalau aku tidur kelamaan," Zara tak enak hati. Memang ia juga merasa bahwa sepertinya ia tidur cukup lama. Baru kali ini ia kembali tidur nyenyak.
"Ya sudah, kau makan dulu."
Lalu dengan malu-malu Zara pun mengambil makanan di hadapannya. Memakannya dengan perlahan.
"Benazir, setelah Shaki makan, pinjamkan dia baju bersih. Antarkan ia mandi dan berdandan, aku tak mau putraku melihat budak wanita pertamanya berwajah pucat seperti itu," ujar Marie kepada budaknya.
Zara terdiam sejenak mendengar itu. Hatinya gundah, kembali menyadari bahwa ia sekarang adalah seorang budak.
"Baik, Nyonya ...," sahut Benazir.
"Jangan banyak melamun, Shaki," tegur wanita tua bersahaja itu kepada Zara yang tiba-tiba berhenti memakan makanannya.
Zara pun mengangguk, kemudian melanjutkan makan dengan perasaan yang tidak karuan. Ada rasa takut juga bimbang. Ia ingat bagaimana seorang budak diperlakukan di istananya dulu.
***
"Shaki, ayo ikut aku." Budak dari Ummu Rasyad mengajakku mengikutinya.
Kulangkahkan kaki ini dengan gontai. Benazir membawaku ke sebuah bilik air, ia memberikan baju bersih sebagai ganti. Ya, aku tak sempat membawa pakaianku tadi pagi. Setelah membersihkan diri dan memakai pakaian yang diberikan oleh Benazir, aku pun kembali ke kamar dengannya. Benazir memberikanku sisir untuk merapikan rambut.
"Kau cantik sekali, Shaki ...," ucapnya. Hanya kubalas dengan senyum tipis. Sungguh aku tak bersemangat rasanya.
"Tuan Rasyad beruntung sekali mendapat budak yang sangat cantik sepertimu, ini pertama kalinya ia mendapat bagian ganimah berupa budak. Biasanya hanya keping dinar dan senjata," lanjut Benazir.
"Hemm, Benazir. Bagaimana Tuan Rasyad itu? Ma-maksudku bagaimana wataknya?" Ada rasa takut yang dari tadi menyelusup di relung hati ini. Apakah aku harus melayani tuanku di atas ranjangnya seperti budak-budak wanita yang pernah melayani kakakku jika kerajaan mereka kalah perang?
"Tuan Rasyad itu baik, tapi dia sangat keras kepada orang kafir harbi, dia benci sekali dengan kekafiran," jelas Benazir.
"Kau juga kafir, kan, Benazir? Kau beragama apa?" tanyaku lagi.
"Aku tak percaya adanya Tuhan dan agama," jawab Benazir.
"Oh, begitu ...," lirihku.
Benazir kemudian memoles wajahku dengan riasan setelah membantu mengepang rambutku. Setelah makan malam aku disuruh menunggu di kamar Tuan Rasyad. Hatiku semakin tidak tenang. Oh, ruh suci apa yang akan orang itu lakukan kepadaku.
Benazir bilang Tuan Rasyad sangat benci dengan orang kafir seperti kami. Ya, siapa pun yang tidak menerima Islam, maka ialah kafir. Itu termasuk aku. Apa ia akan bersikap kasar kepadaku?
Terdengar suara berat seorang lelaki di luar kamar sedang berbicara dengan Nyonya Marie, ya aku mulai memanggilnya 'nyonya' seperti Benazir. Bukankah ia ibu dari Tuanku? Tidak begitu jelas apa yang mereka bicarakan, tapi aku tahu, akulah yang menjadi bahasan mereka.
Kemudian beberapa saat tidak lagi terdengar suara mereka berbicara. Orang itu pasti menuju ke mari. Ya! Pasti dia ke mari. Seketika aku pun panik, mataku nanar melihat-lihat ke seluruh ruang kamar besar ini, apa yang harus aku lakukan?
Tersaruk-saruk aku menghambur ke balik lemari yang ada di pojok kamar. Jantungku berdebar kencang, keringat pun mengalir deras dari dahi dan punggung. Tubuhku gemetar hebat, kemudian melorot di dinding dan seketika bersimpuh di lantai yang dingin.
Pintu berderit nyalang, aku tahu orang itu yang datang. Terdengar langkah kaki yang kian mendekat. Bulir bening telah menggelantung di pelupuk mataku.
Kupeluk kaki ini seraya membayangkan apa yang bakalan pria itu lakukan kepadaku. Apakah ia akan memaksaku untuk melayani nafsu syahwatnya seperti yang biasa dilakukan seorang tuan kepada budak wanita? Air mata pun tumpah tak lagi dapat tertahan, inilah hari kehancuranku ....
Bab 8 : Indah"Hemm, Shaki ...?" Pemuda berwajah tampan itu mengernyitkan dahi ketika melihat Zara yang terduduk memeluk kakinya sendiri dengan tubuh berguncang, karena menangis.Rasyad Najmudin, seorang pria muda dengan prestasi yang gemilang dalam jihad sehingga dipercaya oleh Sulthan Abdullah Zain Fathany sebagai panglima besar. Selain cerdas dan shalih ia juga dianugerahi oleh Allah dengan wajah yang rupawan. Ia berasal dari negeri Andusia, mewarisi mata indah ibunya yang berwarna biru gelap dan mempunyai sorot tajam dengan alis yang tebal, rambutnya gondrong kecokelatan, sedikit bergelombang.Sejak kecil ia sering mengikuti adik dari ibunya yang bolak balik membawa dagangan ke negeri Hajjaz. Sang paman sudah lama memeluk Islam, ketika usia Rasyad dua belas tahun ia pun masuk Islam mengikuti agama pamannya. Ibunya yang tadinya Nasrani sama sekali tidak melarangnya berpindah agama, karena putra satu-satunya itu merupaka
Bab 9 : Mulai Mengetahui"Oh, ya?" tanya Zara seakan tak percaya.Rasyad pun mengangguk-angguk sembari tetap tersenyum. "Aku kelihatan tua, ya?" tanya Rasyad."Bu-bukan begitu, akuu hanya tidak menyangka usia Anda masih sangat muda." Zara menunduk.Rasyad menyugar rambut gondrongnya dengan jemari. "Aku akan menjelaskan beberapa tugas yang harus kau lakukan," lanjut pemuda tampan itu.Zara menyimak."Tugasmu hanya melayani kebutuhanku, menyuci pakaian, membereskan kamar ini. Soal masak, Ibuku dan Benazir biasa melakukan berdua, kau boleh membantu mereka." Rasyad menjelaskan panjang lebar. "Sebenarnya kau harusnya melayaniku juga di atas ranjang, tapi aku akan menunggu sampai kau siap." Rasyad menatap Zara lekat.Semburat merah menghiasi pipi gadis cantik itu. Ia kembali menunduk. Budak cantik itu tak menyangka kalau ia tidak dipaksa untuk melayani tuannya dalam hal syahwat. Sebab mengin
Bab 10 : Mulai Mengetahui (Bagian 2)Zara mengerutkan dahi. "Maksudnya?""Ah, sudahlah jangan pura-pura tak mengerti, Shaki ... aku tahu yang kalian lakukan semalam. Tuan tadi mandi dan keramas." Benazir mengerlingkan matanya."Aku tak mengerti, kalau mandi dan keramas memangnya kenapa?" Zara benar-benar tak memahami apa yang dibicarakan Benazir."Haiih, kau ini, Shaki. Ya pasti Tuan mandi janabah, 'kan?" lanjut wanita paruh baya itu gemas."Mandi janabah itu apa?""Haduuh. Ya mandi karena sedang junub, pasti kalian sudah melakukan 'itu' semalam. Kau nanti mandilah. Belajar juga kau mandi janabah. Menurutku bagus ajaran Islam itu." Benazir terus saja mengatakan sesuatu yang tidak Zara pahami.Zara mengucek pakaian tuannya dengan melirik apa yang dilakukan Benazir pada pakaian nyonyanya. Zara tidak mengerti caranya mencuci, jadi dia meniru Benazir. Untung saja wanita tua itu tak memperhatikan
Bab 11 : Rasa Apa Ini?"Hai budak cantik!"Pria yang berada di hadapan Zara menyeringai. Tiba-tiba ada dua orang wanita muncul dari balik tubuh besar Henry yang asyik menatap wajah cantik Zara."Oh, ini budak baru Kak Rasyad?" cetus seorang wanita muda bercadar dengan salib yang menggantung di lehernya. Kemudian ia membuka cadarnya setelah masuk ke dalam. Wanita itu begitu cantik. Zara berjalan mundur dan tertunduk tak nyaman dengan tatapan para tamu."Ya, dia sangat cantik, kan, Kath?" Henry berkata kepada adiknya."Huh!" Sang adik mendengkus tak suka."Cantik juga budak satu ini." Wanita satu lagi mendekati Zara dan membelai pipi ranumnya. Sang budak semakin tertunduk. Wanita itu Jasmine, ipar dari Marie."Men-mencari siapa?" tanya Zara kepada tiga orang tamu itu."Siapa, Shaki?" Tiba-tiba dari belakang muncul Marie. "Ooh, kalian ... ayo masuk sini!" lanjutnya."Bibi ..
Bab 12 : Rasa Apa Ini? (Bagian 2)Keesokan harinya, setelah waktu isya, Zara telah selesai melipat pakaian sang Tuan di dalam kamarnya."Shaki, Tuan memanggilmu ke kamarnya." Benazir tersenyum simpul.Wajah gadis cantik itu sedikit merona karena Benazir seakan menggodanya. Tanpa banyak tanya ia segera ke luar kamar. Ia juga menghindari wanita tua itu menggodanya lebih lama. Sesampai di depan pintu ruang pribadi Rasyad tersebut ia pun mengetuknya."Masuk!" seru Rasyad dari dalam kamar.Zara kemudian melangkah masuk."Tutup pintunya," perintah sang tuan.Degup jantung sang budak cantik itu mulai bertalu. Ini kali kedua ia berduaan di dalam kamar sang tuan. Sejak malam itu, Zara tidak masuk ke dalam ruangan itu kecuali untuk membereskan kamar juga mengambil pakaian kotor. Itu pun ketika sang tuan sudah pergi berkegiatan di luar rumah. Gadis itu menuruti perintah sang tuan menutup pintu ka
Bab 10 : Cemburu"Shaki .... "Deg!Itu ... itu suara Tuanku, Rasyad. Pria yang tadi malam kembali telah ... ah! Jantungku berdebar kencang. Mengapa jadi begini .... Aku yang sedang menjemur pakaian lalu menoleh ke arahnya. "Iya, Tuan?"Astaga ... semakin hari ia semakin tampan saja. Dengan memakai sorban berwarna gading, baju gamis selutut warna lumut, pedang yang sedia di sabuknya, postur sempurna walau dengan baju begitu, otot lengannya tetap jelas terlihat, sangat gagah sekali.Semalam wajah putih bersih nan rupawan tersebut sangat dekat. Saat itu ada perasaan gemas ingin sekali membelai rahang berambutnya, tapi aku tak kuasa."Kau segera bersiap, aku mau mengajakmu ke tempat Bibi Jasmine," perintah Tuan Rasyad.Apa? Kenapa aku diajak? Ingin aku menanyakan alasan, tapi bukankah aku ini budaknya. Apa pantas aku banyak bertanya?"Baik, Tuan," jawabku dengan mengalihkan p
Bab 14 : Cemburu (Bagian 2)Tuan, kenapa kau buat aku begini ...?***Suara ketukan pintu utama terdengar oleh Katherine yang sedang berkaca di ruang tengah rumahnya. Bibirnya langsung tertarik ke atas. Kemudian ia bergegas dengan riang menuju ke depan."Terima kasih, Sayef," ucap Rasyad sembari melangkah masuk ke dalam rumah Jasmine. Seorang budak lelaki tua yang membukakan pintu rumah itu.Sayef pun tersenyum. "Sama-sama, Tuan," sahutnya."Tolong bawa kudaku ke halaman belakang, ya!" perintah Rasyad kepada sang budak lelaki."Baik, Tuan," jawabnya. Kemudian Sayef berjalan menuju arah dalam rumah, hendak memberitahu akan kedatangan Rasyad kepada majikannya, lalu ia berpapasan dengan Katherine di pintu antara ruang tengah dengan ruang tamu."Tuan Rasy—" Omongan Sayef terpotong karena Katherine sama sekali tak menghiraukannya, terus saja melenggang menuju ke pintu depan. Sayef ha
Bab 15 : Terungkap Sesampainya di depan rumah, Rasyad langsung pergi lagi menuju masjid untuk salat zuhur setelah menurunkan Zara. Gadis itu pun masuk ke dalam rumah. Setelah mengganti pakaian rumah, Zara menuju ke kamar Benazir. Terlihat wanita tua itu sedang berkemas pakaian. Memasukkan beberapa pasang pakaian Nyonya Marie juga pakaiannya sendiri ke dalam sebuah kantung kain. "Kau juga ikut ke Andusia, ya, Benazir?" tanya Zara sembari mendudukkan bokongnya di atas ranjang tak jauh dari Benazir. "Hu'um. Aku disuruh ikut," jawab wanita paruh baya itu. "Berapa lama perjalanan ke Andusia?" "Sekitar lima hari perjalanan dengan kereta kuda." "Apa perjalanan ke arah sana aman saja?" "Tidak juga, terkadang ada saja para irhabi yang menyerang hendak merampas harta para musafir." Zara mengernyitkan dahi. "Tapi jangan khawatir, Tuan Rasyad sudah membayar beberapa orang untuk m