Bab 73 : Ekstra Part
Setelah Hurin sembuh sepenuhnya, ia pun diboyong kembali ke Kesulthanan Konstin. Sampai di sana, wanita muda jelita itu disambut meriah oleh sang ibu, Zara Shaka Arb. Hurin sangat bahagia. Kini ia merasa sangat sempurna dengan keluarga yang lengkap.
Selama hampir dua bulan Hurin mengalami nifas akibat kehilangan janin yang ternyata sudah berusia sebulan lebih. Selama itu juga ia mengonsumsi madu pilihan juga ramu-ramuan dari tabib istana untuk mengembalikan kesehatan dan kesuburannya. Sejak wanita jelita itu masuk Islam, inilah kali pertama dalam waktu yang lama ia tidak menjalankan ibadah shalat. Ia sangat rindu untuk melakukan itu.
Inilah hari di mana ia telah selesai melewati masa nifas yang sampai empat puluh hari. Akhirnya kerinduannya untuk shalat terobati. Karena merasa bersih di waktu Isya, ia pun mengqada shalat magrib, dilakukan di waktu Isya. Setelah selesai shalat, wanita muda itu duduk d
Tersebutlah sebuah kerajaan Islam di masa dinasti Khalifah Haikal Harun, sebuah wilayah yang bernama Al Hajjaz yang dipimpin oleh seorang Sulthan yang bernama Abdullah Zain Fathany. Kerajaan itu hendak melebarkan kekuasaannya ke banyak negara agar tegak hukum Allah di seluruh dunia. Itulah perintah dari Sang Khalifah kepada setiap kerajaan yang telah berbai'at, yaitu agar menaklukkan setiap negeri kafir yang berada dekat dengan masing-masing kerajaan.Rasyad Najmudin adalah salah satu panglima perang di kerajaan Al Hajjaz. Walaupun ia seorang muhajirin dari Andusia dan usianya sangat muda—21 tahun—ia seorang yang tegas dan menguasai ilmu strategi perang yang jitu. Oleh karena itu, sejak dua tahun yang lalu ia didaulat oleh Sulthan Abdullah Zain Fathany sebagai panglima.***Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Kepada Raja Riwaz Arb yang menguasai negeri Konstin.Saya Abdullah Zain Fathany hendak menawark
Part 2 : Kematian Permaisuri KonstinKurebahkan tubuh ke peraduan menatap langit-langit kamar. Semilir angin dari jendela yang terbuka membelai wajah ini. Ah, sejuknya. Pikiranku seketika melayang."Allah ... seperti apa Tuhan-nya umat Islam itu?" Bibirku tanpa sadar bergumam."Putri!”Aku terlonjak kaget mendengar suara seorang anak kecil. Heh, rupanya si Razi—putra tunggal kakakku—. Aku pun duduk di pinggir ranjang menyambut pelukannya. Usianya baru enam tahun. Ibunya, sang permaisuri telah meninggal dunia ketika melahirkannya."Tuan Putri, aku tadi ke tempat Raja. Tapi, tidak dibolehkan masuk .... " Bibir kecilnya mengerucut, lucu sekali.Hehe, tentu saja kau dilarang masuk, Nak. Ayahmu sedang bersenang-senang dengan budak wanitanya."Razi mau apa ke tempat ayah?" tanyaku sembari mengelus rambutnya yang halus."Aku mau minta beliau lukiskan kuda.
Part 3 : Tewasnya Panglima PujaanSudah sebulan lebih sepekan sejak kedatangan kurir dari negeri Hajjaz. Para panglima lebih intens berlatih bersama pasukannya. Persiapan perang di bukit Magindu dilakukan tiga pekan lagi.Mereka akan berangkat, tidak semua ... sejumlah 20.000 pasukan yang diutus dengan beberapa panglima perang. Biasanya hanya belasan ribu orang saja yang dikerahkan, berhubung Al Hajjaz negeri yang terkenal besar, makanya disiapkan lebih. Masih ada lagi sekitar 15.000 pasukan yang tinggal untuk berjaga di sekitar istana. Kakakku berangkat belakangan bersama beberapa pasukan nanti.Perjalanan ke perbatasan negeri Konstin dengan Al Hajjaz di bukit Magindu memakan waktu sepuluh hari berjalan kaki. Sisa waktu sekitar dua hari tentu untuk mereka beristirahat dan membangun tenda di sana.Hari ini kami mengadakan upacara meminta keberkahan dari ruh-ruh nenek moyang. Kami menyembelih dua puluh ekor unt
Bab 4 : Akhir dari Kerajaan KonstinSambil berlari aku melihat di hadapan, Numa dan kedua orang tuanya telah menunggu. Mereka sudah siap dengan kereta kuda. Ada beberapa kereta yang juga siap pergi, isinya mayoritas anak-anak dan wanita terutama keluarga pejabat kerajaan. Aku mempercepat langkah ini. Kereta-kereta yang sudah siap, langsung pergi menjauh dari istana."Tuan Putri, cepaat!" seru Banu, ayah Numa setengah berteriak.Akhirnya aku dan Razi sampai juga masuk ke kereta tersebut. Numa dan ibunya pun menyusul masuk dengan beberapa pekerja wanita. Banu duduk di depan dengan kusir."Putri Zara dan Pangeran Razi, lekas ganti pakaian kalian," ujar Mina, ibunya Numa.Aku segera menanggalkan perhiasan juga pakaianku, menggantinya dengan pakaian sederhana yang sudah disiapkan. Hal ini agar musuh tidak mengenal siapa kami. Razi dibantu oleh Numa mengganti pakaiannya. Kereta k
Bab 5 : Selamat Datang di Kesultanan Al HajjazHari ini aku dan Razi untuk yang pertama kali melakukan perjalanan ke luar wilayah kekuasaan Konstin. Biasanya jika kerajaan kami berhasil menaklukkan suatu negeri, kami akan jalan-jalan ke sana dengan perasaan senang. Namun, kali ini kami meninggalkan istana dengan hati yang remuk redam. Akankah kami bisa kembali lagi ke tanah kelahiran kami atau tidak seperti biasanya? Entahlah ....Kami bukan lagi seorang bangsawan, kami hanyalah tawanan perang. Oh, alangkah takdir bagaikan roda yang berputar. Kali ini kami berada di bawah ... apakah dapat kembali ke atas? Sekali lagi, entah.Beberapa kali kami semua berhenti untuk mengistirahatkan orang-orang yang berjalan kaki. Entah berapa hari bisa sampai ke tujuan. Ke perbatasan di bukit Magindu saja butuh sepuluh hari. Sudah tengah hari, matahari begitu terik. Kami disuruh turun dari kereta, dan berteduh di bawah pepohonan di dekat sebuah sumur.&nb
Bab 6 : Apakah Aku Akan di ....Mereka lalu membawaku juga tiga wanita lainnya ke sebuah ruangan. Ada seorang lelaki paruh baya dengan janggut yang sudah memutih di sana."Ini, Tuan." Salah seorang prajurit yang membawa kami berbicara.Pak tua itu memperhatikan kami dengan saksama. Sebentar saja, tapi seolah cukup baginya untuk menilai."Ini untuk Tuan Ashim." Ia menunjuk seorang wanita di antara kami."Ini untuk Umar.""Ini untuk Tuan Rasyad." Ia menunjukku."Dan ini ... untuk Syafiq.""Baik, Tuan," sahut sang prajurit, lalu ia pun pamit.Kemudian kami digiring ke luar ruangan oleh tiga orang prajurit. Aku mendekati seorang prajurit paling depan."Tuan ...," panggilku.Dia melirik sebentar lalu berkata, "Ada apa lagi?""Tuan, aku mau bertemu anakku. Dia bersama kakeknya di sel pria," jawabku sambil berusaha menyamakan langkah
Bab 7 : Apakah Aku Akan di .... (Bagian 2)"Hei, bangun ... Shaki ... bangunlah." Seorang wanita paruh baya dengan tudung kepala membangunkan Zara.Zara mengerjapkan mata, hendak mengembalikan kesadarannya. Sejenak ia memandang wanita asing di depannya. Sontak ia membangunkan tubuhnya dan duduk di pinggir dipan."A-Anda siapa?" tanyanya."Aku Benazir. Aku budaknya Nyonya Marie ...," jawab wanita itu sembari tersenyum hangat."Marie ...?" Dahi Zara berkerut."Maksudku Ummu Rasyad," lanjut Benazir."Oh ...," lirih Zara."Nyonya menyuruhku membangunkanmu, ia menyuruhmu makan siang."Mendengar makan, Zara refleks memegang perutnya yang memang belum terisi. Ia makan tadi pagi sebelum dibawa ke rumah ini oleh prajurit Hajjaz. Benazir berdiri, kemudian membantu merapikan kudung yang dipakai oleh Zara. Ya, sejak ditawan oleh Hajjaz memang ia diwajibkan memakai penutup kepal
Bab 8 : Indah"Hemm, Shaki ...?" Pemuda berwajah tampan itu mengernyitkan dahi ketika melihat Zara yang terduduk memeluk kakinya sendiri dengan tubuh berguncang, karena menangis.Rasyad Najmudin, seorang pria muda dengan prestasi yang gemilang dalam jihad sehingga dipercaya oleh Sulthan Abdullah Zain Fathany sebagai panglima besar. Selain cerdas dan shalih ia juga dianugerahi oleh Allah dengan wajah yang rupawan. Ia berasal dari negeri Andusia, mewarisi mata indah ibunya yang berwarna biru gelap dan mempunyai sorot tajam dengan alis yang tebal, rambutnya gondrong kecokelatan, sedikit bergelombang.Sejak kecil ia sering mengikuti adik dari ibunya yang bolak balik membawa dagangan ke negeri Hajjaz. Sang paman sudah lama memeluk Islam, ketika usia Rasyad dua belas tahun ia pun masuk Islam mengikuti agama pamannya. Ibunya yang tadinya Nasrani sama sekali tidak melarangnya berpindah agama, karena putra satu-satunya itu merupaka