Share

Apakah Aku Akan di ....

Bab 6 : Apakah Aku Akan di ....

Mereka lalu membawaku juga tiga wanita lainnya ke sebuah ruangan. Ada seorang lelaki paruh baya dengan janggut yang sudah memutih di sana. 

"Ini, Tuan." Salah seorang prajurit yang membawa kami berbicara. 

Pak tua itu memperhatikan kami dengan saksama. Sebentar saja, tapi seolah cukup baginya untuk menilai. 

"Ini untuk Tuan Ashim." Ia menunjuk seorang wanita di antara kami. 

"Ini untuk Umar."

"Ini untuk Tuan Rasyad." Ia menunjukku. 

"Dan ini ... untuk Syafiq." 

"Baik, Tuan," sahut sang prajurit, lalu ia pun pamit. 

Kemudian kami digiring ke luar ruangan oleh tiga orang prajurit. Aku mendekati seorang prajurit paling depan. 

"Tuan ...," panggilku. 

Dia melirik sebentar lalu berkata, "Ada apa lagi?" 

"Tuan, aku mau bertemu anakku. Dia bersama kakeknya di sel pria," jawabku sambil berusaha menyamakan langkah besarnya. 

"Tidak perlu lagi bertemu siapa pun. Budak anak-anak sudah diangkut dan dibagikan kemarin. Tidak ada lagi yang tersisa."

Deg!

"A-apa?" gumamku, aku sangat terkejut dengan informasi ini. "Tuan jangan bercanda, Tuan ... aku mohon, aku mau bertemu dengan anakku. Kemarin ada prajurit yang berjanji mau membiarkan aku bersama anakku, Tuan .... " Aku memohon dengan air mata yang kembali luruh. 

Dia tiba-tiba berhenti berjalan. Aku tersentak. 

"Apa saya terlihat sedang bercanda? Kalian ini sudah jadi budak, jangan banyak permintaan. Kalianlah yang harusnya menuruti semua perintah, bukan sebaliknya. Paham?" Ia terlihat geram, lalu ia kembali melangkah cepat, aku seketika terdiam di tempat. Air mata semakin deras membasahi pipi. 

Habis sudah keluargaku, Ayah dan Ibu telah lama meninggalkan dunia, disusul oleh Kakakku yang dibunuh di depan mataku sendiri. Dan kini ... kini keponakanku, keluargaku satu-satunya yang tertinggal pun dipisahkan dariku. Bagaimana aku dapat menjalani semua ini, Dewa ... kuatkah aku ...? 

"Cepat jalan!" Seorang prajurit menyenggolku dengan gagang pedangnya. Aku pun mengikuti mereka menuju sebuah kereta kuda dengan hati yang hancur berantakan.

***

"Assalamualaikum!" Seorang prajurit berdiri di samping sebuah pintu rumah yang cukup besar, ia mengucapkan salam sembari mengetuknya. 

"Wa 'alaikumussallam warahmatullaah!" Terdengar jawaban dari dalam rumah setelah prajurit itu dua kali mengucap salam. Tak berapa lama terbukalah pintu besar itu. Seorang wanita paruh baya yang membukanya. Walaupun ia memakai penutup wajah, tapi tetap tampak kerutan di sekitar mata biru gelapnya. 

"Umm, ini budak bagian Tuan Rasyad," ucap prajurit itu sopan. 

Wanita tua itu tersenyum di balik cadarnya. "Akhirnya Sulthan memenuhi janjinya untuk memberikan putraku seorang budak wanita. Hemm, cantik juga dia." Netra tua itu menelisik gadis yang sedang tertunduk di hadapannya. 

Prajurit itu terkekeh pelan, kemudian berkata, "Saya hanya mengantarkan dia, Umm. Saya permisi dulu ya ... assalamualaikum."

"Baik, jazaakallah khairan. Wa 'alaikumussallam warahmatullah," sahut wanita tua itu. Prajurit itu menjawab, kemudian berlalu dari rumah tersebut. 

"Mari masuk," lanjut wanita bercadar itu kepada Zara. 

Zara pun mengikuti langkah Ummu Rasyad sambil tetap menunduk. Sejak di kereta ia terus saja diam. Pikirannya seakan tak berada seperti tubuhnya berada. Rasa sedih yang sangat membuat ia tidak lagi punya harapan apa-apa. Tadinya ia berharap dapat bersama satu-satunya keluarga yang tertinggal dalam keadaan hidup yaitu keponakannya. Ternyata Razi pun entah ke mana.

"Nah, ini kamarmu," ujar Ummu Rasyad ketika sampai di sebuah kamar berukuran kecil. 

Di kamar itu terdapat sebuah dipan dengan kasur untuk satu orang. Ada lemari kecil juga di pojok ruangan. Ummu Rasyad lalu duduk di pinggir dipan, kemudian lanjut berkata, "Duduk sini," perintahnya pada Zara yang masih saja tertunduk. 

Zara mematuhi wanita tua yang kini melepas cadarnya. Gadis cantik itu sejenak terpana, ia baru menyadari bahwa Ummu Rasyad berbeda ras dengannya. Manik wanita tua itu berwarna biru gelap, kulitnya putih pucat, bulu matanya juga kecokelatan. 

"Namamu siapa?" tanya Ummu Rasyad lembut tapi tegas. 

"Za—, eemm ... Shaki, Bu ... namakuu Shaki," sahut Zara. Entah mengapa ia tidak berterus terang tentang namanya. Kembali Zara menundukkan kepala. 

"Kamu cantik, anakku pasti suka." Ummu Rasyad membelai pipi ranum Zara. Wajah itu sedikit merona karena dipuji. "Orang tuamu masih ada?" lanjutnya. 

Zara hanya menggeleng, sendu itu tetap setia menghiasi wajahnya. 

"Saudara?" 

Kembali Zara menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. 

"Kau gadis apa janda?" Ummu Rasyad bertanya lagi. 

Sejenak Zara berpikir, diusapnya air mata yang hendak jatuh. 

"A-aku janda," jawab Zara gugup, teringat pengakuannya kepada prajurit Hajjaz bahwa ia mempunyai seorang anak. 

"Hemm .... " Ummu Rasyad bergumam. Kemudian berkata, "Ya sudah, kau istirahat dulu. Anakku nanti malam pulang. Kau budaknya, nanti dia yang menentukan tugasmu apa saja." Wanita tua itu kemudian beranjak dan ke luar dari kamar, lalu menutup pintunya.

Zara membaringkan tubuhnya yang terasa letih karena sejak Kerajaan Konstin dikuasai ia tak pernah lagi tidur dengan nyenyak. Dan ini ialah hari pertama sejak saat itu ia kembali menyentuh yang namanya kasur, walau tidak senyaman dan seempuk dengan yang ada di istananya dulu. 

Gadis rupawan yang wajahnya tidak lagi terkena riasan seperti hari-harinya dahulu itu pun memeluk sebuah bantal. Kemudian air matanya pun tak terasa luruh tiada dapat tertahan. Mengingat ibu yang telah wafat sejak ia kecil, ayahnya, kemudian juga kakak yang senantiasa menyayangi dan memanjakannya. Begitu juga Razi, bocah kecil keponakan kesayangannya yang kini entah ada di mana. Zara terus menangis sesenggukan hingga ia pun lelah, lalu terlelap dengan sendirinya.

***

"Hei, bangun ... Shaki ... bangunlah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status