Share

Pertemuan Yang Tidak Disangka

Bab 9

[P.]

[P.]

[P.]

Tidak juga berubah, tetap centang satu. Ponsel diletakkan di atas meja makan. Rumah yang sudah lebih seminggu kutinggalkan, akan segera dibersihkan karena debu sudah berkuasa menyelimuti beberapa benda yang ada. Terutama si Vespa kesayangan. Sudah tak sabar mengajaknya raun berkeliling sekedar menghilangkan rasa jenuh.

Ponsel berbunyi, kuraih benda pipih berwarna hitam itu dan melihat panggilan dari siapa. Ternyata Naya.

"Zeyn, maaf, ya. Tadi lagi nelepon Nunu. Maklumlah, calon tunangan yang terganteng sedunia. Hahaha," ucapnya, sembari tertawa kecil.

"Owh, ya, udah. Eh, emangnya kapan, sih, tunangannya? Lama amat, deh," tanyaku, sebab Nunu mulai tak serius menanggapi hubungannya dengan gadis yang sangat mencintainya itu.

"Tau, tuh. Ya, menunggu keputusan dari Nunu. Toh, semua dia yang memutuskan, bukan aku atau siapa pun, Zeyn," jelasnya.

"Kalau bisa secepatnya. Bisa bahaya kelamaan."

"Iya, sih. Ehh, nanti Nunu mau dateng. Katanya kangen samaku. Kamu kemari, ya."

Tak kurespon ucapannya. Biar saja dia berbicara, khawatir bila nanti bertemu dengan Nunu yang mulai sedikit aneh menurutku.

***

Si Mumus tidak kelihatan dari tadi. Biasanya ia datang dan naik kepangkuan atau mengejar bila melihatku. Sama sekali belum terlihat juga. Suaranya sangat kurindukan. Entah ke mana mencari kucing berbulu hitam dan putih.

"Mus ... Mumuuus ...."

Tak ada sahutan seperti biasanya. Ia akan mengeong lalu datang menghampiri. Rasa curiga mulai menggelayuti pikiran. Apa dia tertabrak? Atau dicuri orang? Mungkinkah dia mati karena tidak diberi makan?

Seminggu tanpa aku, bisa saja semua terjadi. Sedih hati ini, hanya Mumus satu-satunya teman yang bisa menemani hari-hari.

Setelah membersihkan rumah, berusaha mencari hewan peliharaanku. Ingin rasanya menangis bila mengingatnya. Gelisah sudah pasti menjadi beban.

Rumah tetangga salah satu tempat sasaran pencarian pertama. Beberapa rumah telah didatangi, tetapi tetap tidak ketemu. Ingin rasanya berteriak memanggil namanya.

Oh ... Tuhan, di mana Mumus? Apa aku terkesan membiarkannya? Banyak pertanyaan yang tak terjawab. Setelah beberapa menit, teringat dengan musik yang disukai Mumus. Ya, setiap mendengar musik itu, kami bergoyang. Tangannya kupegang membuatnya berdiri.

Musik diputar, berharap Mumus datang. Berulang kali nada itu diputar tak juga berhasil. Saat putaran kelima, suara mengeong terdengar. Akhirnya Mumus datang dengan tubuh sedikit kurus.

Sungguh kasihan sekali. Bulunya berwarna putih berubah menjadi abu-abu, tak terurus. Kubersihkan bulunya sampai bersih. Lalu memberi makan.

Ayah pulang hanya berbeda waktu beberapa jam. Ternyata ayah tidak tega membiarkanku sendirian.

"Zeyn, apa kamu melihat cincin? E--, maksud Ayah, cincin itu antik."

"Cincin? Owh, iya. Sebentar, ya, Ayah."

Benda melingkar itu kuperlihatkan pada pria terhebatku. Sungguh beliau terkejut, kenapa bisa sampai ke tanganku. Malah aku juga heran, seberapa besar nilai cincin itu di mata Ayah. Sampai-sampai rela pulang secepat ini.

"Ayah, itu cincin apa, sih? Kok, kayak penting banget," tanyaku memberanikan diri.

"Nggak ada apa-apa. Usah dipikirkan, ya." Ayah mencoba membuyarkan penasaranku.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, kubiarkan saja tanpa bertanya lagi. Toh, itu tidak penting bagiku. Saat ini Mumus menjadi perhatian.

Setelah memberinya makan, Mumus muntah. Mungkin perutnya tidak sehat. Lemas tubuhnya dan tergeletak di lantai. Sepertinya mengantuk karena kurang kenyang dan muntah.

Sekitar sepuluh menit, tak ada gerakan di perut Mumus. Badannya kusentuh dan digoyang. Ternyata Mumus sudah tidak bernapas lagi. Ingin rasanya menjerit sekuatnya. Namun, semua itu tidak mampu membuat ia hidup kembali.

Air mata berlinang membasahi pipi. Kepedihan tiada tertahan. Si Mumus kucing kesayangan Mak telah pergi dan tidak akan bangun. Menangis sejadinya, ada rasa penyesalan, apalagi ingat dengan Mak. Rasa berdosa menyalahkan diri ini. Kukubur hewan itu di belakang rumah.

Ayah terlihat sedih ketika tahu si Mumus sudah mati. Mungkin karena sudah lama bersama kami, juga kesayangan Mak. Terkenang dengan kisah Mumus ketika Mak masih ada. Hewan satu-satunya teman Mak saat aku dan Ayah tak di rumah. Hanya si bulu hitam putih itulah menemani waktu kesendiriannya.

Lamunanku buyar karena suara ponsel berdering nyaring dari saku celana. Benda pipih itu kuraih dan melihat siapa yang menghubungi. Nama yang tercantum adalah Dina.

Belum sempat panggilan itu diterima, Ayah memanggilku. Terpaksa didahulukan panggilan pria yang tidak lagi muda itu dari pada Dina.

"Ada yang ingin Ayah ceritakan. Mumpung kamu sudah dewasa dan bisa menampung kisah ini nantinya." Penjelasan yang masih menggantung membuat penasaran.

"Ada apa, Ayah?"

"Begini, Zeyn. Sebenarnya ada rahasia di balik cincin ini."

"Maksud, Ayah?"

Tiba-tiba suara klekson mobil terdengar dari luar. Siapa gerangan?

Suara klekson itu menghentikan pembicaraanku dengan Ayah. Kupastikan, siapa yang datang siang-siang begini. Memang sudah biasa kedatangan tamu yang sebelumnya tidak memberitahukannya. Ayah bersegera ke depan untuk menerima tamu. Sungguh terkejut, yang  datang adalah Dina.

"Dina? Kamu dengan siapa? Kok, nggak bilang-bilang mau datang? Sendirian lagi," tanya Ayah, keheranan.

"Iya, nih, Amangboru. Kok, aku pengen banget ya, ke sini. Lagian udah lama nggak datang ke rumah ini." Dina mengungkapkan keinginannya.

"Ish, Ayah. Bukannya disuruh masuk malah nanya terus. Masuk, yuk, Din. Kita ngobrol di dalam saja," ajakku, sembari menarik tangannya.

Segelas kopi instan beserta roti kemasan kuhidangkan untuk Dina dan Ayah. Sementara aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka. Apa tujuan Dina datang ke mari? Bukankah baru bertemu dua hari yang lalu? Curiga dengan gelagat gadis berperawakan cantik.

Setelah bercerita selama satu jam, Dina mengajakku untuk berkeliling kota Rantau Prapat. Dengan senang Ayah mempersilakan kami pergi. Kali ini mengendarai Vespa tua. 

Keindahan kota sore ini membawa ceria. Terlebih ketika duduk bersantai di pelataran halaman kantor Bupati Labuhan Batu. Tepat di pinggir jalan raya. Suasana terasa nyaman, meski banyak kendaraan lalu lalang.

Tidak lama Dina meraih ponselnya dan mengambil beberapa gambar untuk diabadikan. Dia menikmati selfie-nya, sementara aku hanya memandangi Vespaku yang masih kinclong karena sering dirawat.

"Hei, Zeyn. Lah, di sini juga?" sapa Naya, lalu bertanya.

"Ehh, Naya? Iya, nih, aku bawa sepupuku baru datang dari Sibuhuan," jawabku.

Naya mengulurkan tangannya untuk berkenalan pada Dina. Tak lama, Nunu muncul di hadapan kami bertiga. Aku, Nunu, dan Dina terkejut dan saling pandang. Mata Nunu liar ke arahku. Jelas saja merasa ada keanehan dan tak ingin diketahui oleh Dina juga Naya tentunya.

"Kok, ada di sini? Janjiankah? Ehh, ini kan ...," putus Nunu, sambil menunjuk ke arahku.

"Iya, Sayang. Ini Zeyn, teman aku, lho," sahut Naya.

"Ini sepupunya Zeyn, kenali, dong," ucap Nunu pada calon tunangannya.

"Kok, kamu kenal?" tanya Naya, dengan heran.

"Ya, kenal. Kan Dina temanku sejak SMP dan sekarang satu profesi juga sebagai dokter," balas Nunu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status