Bab 60
Aku diam dan tak ingin lagi bicara. Terlebih karena awal pernikahanku sudah ada wanita lain selain aku. Apa ini memang sudah nasibku? Ya, Allah ... jangan beri aku ujian yang kesekian kalinya. Aku memohon pada-Mu, ya, Allah.
Gladis yang mulai bosan di dalam showroom, mengajakku keluar. Sementara Jafra masih ragu dengan pilihanku.
"Sayang, tunggu, dong. Kok, pergi?"
"Pilih aja sendiri, Mas. Lagian Gladis udah bosen di sini. Aku keluar aja, ya." Terlihat kalau aku mulai akrab dengan sapaan mas dan kata aku, bukan saya lagi.
Hati yang sudah menaruh rasa cemburu, rasanya pengin pulang saja dan berdiam di rumah. Abang dan adik sama saja. Tidak bisa dengan satu wanita. Heran aku.
"Zeyn, kasi aja sama Husna. Setelah itu kamu masuk lagi, ya. Mas mau kamu yang milih," imbuhnya sembari memegang pundakku.
Aku berlalu keluar ruangan dan memberikan putriku pada Husna. Kembali menemui Jafra sesuai permintaan suamiku.
"Ze
Bab 61Sebelum dibuka, aku duduk di sofa. Dengan berlahan membuka kertas kado. Dirobek dan perekatnya diambil agar secepatnya bisa melihat isinya. Gladis juga sibuk membantuku. Aku jadi tersenyum melihat kelakuan putri kami yang mulai aktif-aktifnya bergerak.Mata yang tadinya memandang biasa saja, kini membulat sempurna karena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Apakah aku bermimpi? Dari mana Jafra tahu kalau pandangan mataku tadinya ke arah benda ini?"Gimana, Sayang? Kamu suka?" tanya Jafra memegang benda ini."Mas, ini terlalu mahal untukku. Aku nggak enak.""Jangankan benda semahal ini, hatiku saja akan Mas berikan padamu. Bahkan bila kau kehilangan bagian dari tubuhmu, Mas rela memberikannya. Karena apa? Mas sangat mencintaimu, Zeyn.""Tapi, Mas ...."Aku salut dengan cintanya melebihi cintanya Arul sewaktu masih hidup bersamaku."Selamat sore," ucap seseorang dari luar. Kami kedatangan tamu sore ini.
JumlahKata1119Bab 1'Rumah dijual.'Tulisan itu terpampang membuat mata ini melotot. Tak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Bodoh sekali orang yang mau menjual rumah itu. Bukan hanya karena rumah itu besar, tapi indah, pekarangan luas, strategis, dan antik.Andai saja uang tabunganku cukup dengan merogoh kantong, pasti sudah dibeli. Apalagi rumah itu cocok untuk bersantai di rerumputan dekat pohon yang rindang. Tentunya akan lebih nikmat bersantai dengan orang yang disayang. Khayalan pun melambung tinggi ketika mata ini tidak bisa berpaling.Lama berdiri di sana hanya untuk membaca plang sambil mengawasi sekitarnya. Menakjubkan sekali, pokoknya indah. Belum pernah sebelumnya melihat rumah yang seperti ini. Entah mengapa hatiku tenang bila melihatnya."Hei! Bengong aja kamu. Ngapain, Zeyn?" kejut Pak Maman, penjaga kebun rumah itu.&n
Bab 2Tak henti gedoran itu terus dilakukan. Perut yang tadinya begitu lapar, kini hilang seketika. Cacing dalam perut pun mendadak aman karena mendengar ketukan itu.Sebelum membuka pintu, aku mengintipnya terlebih dahulu dari sebuah lubang dinding yang sedikit berlubang. Rasa penasaran semakin memuncak ketika pintu juga ditendang dengan kaki."Tunggu, Ayah," ucapku seraya membuka pintu.Begitu terbuka, pintu itu langsung ditendang sekuatnya. Aku bingung kenapa Ayah terburu-buru seperti ketakutan. Tidak pernah terjadi sebelumnya, biasanya Ayah adalah tipe pria pemberani. Bingung dengan keadaan yang dialami olehnya. Diri ini jadi ikut takut dengan melihat gelagat pria pertama yang aku cintai itu melakukan hal aneh.Beliau langsung masuk ke kamar. Setelah itu tak tahu lagi apa yang dilakukannya di dalam sana. Aku hanya menunggu kabar darinya. Ada apa sebenarnya yang baru terjadi?
Bab 3Kakiku terasa lemas karena terus mengikutinya. Semakin dikejar sosok itu semakin jauh dan susah untuk diraih. Menyerah, kalah, dan mengalah sepertinya. Hanya untuk mengelabui saja. Selepas dari pandanganku ada sesuatu yang tersirat. Hanya saja belum mengetahui apa itu.Aku merasa ini sangat aneh. Ada antara nyata atau tidak. Sedikit pun tidak disadari."Zeyn, tunggu! Kamu mau kemana, Nak?" tanya Ayah, sembari mengejarku.Aku tetap saja tidak peduli dengan panggilan Ayah. Menurutku panggilan itu tak perlu aku dengarkan. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana caranya agar bisa bertemu dengan sosok wanita tua.Kaki yang masih lelah dan lemas tetap dipaksa untuk melangkah mencari keberadaannya. Keinginan yang kuat itu sangat beralasan karena rasa penasaran yang tak kunjung padam. Ketika hendak berlalu lagi, tiba-tiba tanganku ditarik oleh Ayah. Aku melepaskan pegangan itu.
Bab 4Entah kenapa, ketika melihat cincin itu ada keanehan yang kurasa. Mulai dari jantung berdebar hingga darah di dada berdesir. Entah apa yang terjadi padaku. Sungguh semua ini murni tanpa kuduga.Andai saja cincin ini punya nilai yang tinggi mungkin aku bisa menjualnya untuk membeli keperluan. Namun, merasa tidak berhak melakukannya karena bukan milikku.Lama kupandangi benda yang bisa disematkan di jari. Memerhatikan bentuknya, di jaman begini masih ada saja cincin aneh seperti itu terlihat.'Pasti ini bukan cincin sembarangan,' gumamku, sembari memakaikannya di jari manisku.Indah sekali, tepat di jari manis yang begitu terlihat elegan. Tak ingin melepasnya, tetapi itu tak mungkin kulakukan. Ayah dan Mak berpesan, "Jangan pernah menikmati benda yang bukan milikmu, Nak. Tidak baik." Itulah sebabnya mengapa aku tidak mengambilnya. Hanya saja disimpan, mana tahu ada yang menca
Bab 5Bab 5Setelah kurir itu pergi, kotak kecil dibuka dengan tak sabar. Penasaran dengan isi dan siapa orang yang berbaik hati memberikan sesuatu padaku. Ada rasa takut bercampur senang. Kedua rasa itu bercampur aduk menjadi satu.Berlahan melepaskan perekat dari benda tersebut. Hati berdebar saat isi kotak kecil itu terlihat. Ternyata sebuah arloji mewah dan buku diary yang telah berisi catatan kecil.Sungguh aku terkejut dengan buku diary bertuliskan tentang kisah percintaan sama persis denganku dan seseorang. Di sana terpampang namaku dan beberapa sifat dan sikap yang aku miliki. Bukan hal yang aneh sebenarnya, akan tetapi heran siapa gerangan yang mengirimkan bingkisan ini.Sepertinya dia sudah mengenal dekat dan bahkan mengetahui semua karakter yang aku punya. Dari halaman depan hingga di lembar kelima sepertinya aku mulai mengetahui siapa kira-kira yang menulis diare itu.
Bab 6Akhirnya sampai juga di rumah Tulang. Tulang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari Mak. Abang atau adiknya, maka dipanggil Tulang. Ya, namanya orang Sumatera Utara, sudah pasti memiliki sapaan khas karena juga memiliki marga dalam suku.Sepupu perempuan yang sebaya denganku, mengajak untuk pergi ke rumah temannya. Masih capek sebenarnya, tetapi demi dia aku menerima ajakan itu. Bosan juga dengan berbincang pada penghuni rumah.Kendaraan sepeda motor matic berwarna merah dilaju dengan kencang. Dina seorang gadis yang berprofesi sebagai dokter sangat ramah dan rendah hati. Tak pernah merasa kaya dan sok hebat karena telah menjadi seorang dokter muda cantik. Gadis sepertiku sangat dia hormati. Terlihat dari gerak-gerik bila bersamanya.Rumah mewah telah di depan mata. Mobil juga banyak yang terparkir di halaman. Sudah pasti bukan mobil biasa. Ada Fortuner, Pajero sport, dan lainnya yang tidak
Bab 7Ponsel berdering dan kuabaikan saja. Panggilan itu datang bertubi-tubi sampai akhirnya dia menyerah dan berhenti menghubungi lagi.Sebuah pesan singkat WhatsApp masuk. Sungguh terkejut dengan isi pesan itu. Hati gundah tidak karuan. Semudah itu Naya bisa mencerna suara orang lain."Papa ... siang ini aku dan Zeyn ke Aek Siraisan, ya? Udah lama gak ke sana. Boleh, Pa?" tanya Naya, dengan suara manja."Kalian berdua?" jawab Tulangku, tanpa melihat ke arah putrinya."Ya, iya lah. Sama siapa lagi? Papa ...," rengek Naya.Sedikit pun pria bertubuh kekar itu tak bergeming dengan rengekan Dina. Sebab masih asyik bercerita dengan ayahku. Begitu pun, dia tetap merengek dan berharap permintaannya diiyakan."Pa, Papa ...," rengek Dina pada papanya."Apa, Din? Ya, udah. Pergilah sama Zeyn, tapi ingat! Jangan macem-macem, ya