Home / Romansa / CINTA BUKAN SEPENGGAL DUSTA / Bab 6. Berdamai Dengan Keadaan

Share

Bab 6. Berdamai Dengan Keadaan

Author: Lona O'S
last update Last Updated: 2022-11-04 05:15:23

"Mary Aram, maafkan aku. Aku sangat mencintai dirimu," Amar Mea Malawi memeluk Mary Aram. 

"Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Apa yang harus kukatakan pada tunanganku? Keterlaluan Kau!" Mary Aram memukuli Amar Mea Malawi melampiaskan kesal.

 

"Mary Aram! Kendalikan dirimu," Amar Mea Malawi menggenggam kedua tangan Mary Aram. Pria itu terus mengecup kening Mary Aram berusaha menenangkan. "Hari ini aku akan ke Muara Mua menjemput ayahmu."

 

"Menjemput ayahku? Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Tentunya ayahku akan sangat malu di hadapan calon besannya," Mary Aram kembali membenturkan kepalanya pada dinding.

 

Amar Mea Malawi segera mendekap Mary Aram agar tidak menyakiti diri sendiri. "Kita telah menjadi satu tubuh,  aku bertanggung sepenuhnya atas dirimu."

Pria itu membalut tubuh Mary Aram dengan handuk, lalu mengangkatnya kembali ke pembaringan.

"Aku cinta padamu! Sangat cinta padamu, hingga kehilangan akal sehat," Amar Mea Malawi berbaring memeluk Mary Aram. "Bisakah kita berdamai? Kita membina rumah tangga bersama."

"Kau sangat mengerikan! Aku tidak nyaman bersamamu!" Mary Aram terus menangis kesal, memukuli dirinya sendiri.

Amar Mea Malawi menghela napas panjang, lalu bangkit memakai mantel tidurnya. Kemudian menghubungi nona Patrice.

"Nona Patrice, waktunya Nyonya Muda sarapan pagi. Hari ini kami akan ke Muara Mua, bantu ia bersiap-siap. Kau juga ikut kami ke Muara Mua," perintah Amar Mea Malawi.

["Baik Tuan Muda, Patrice segera datang."]

Tepat pukul tujuh, Amar Mea Malawi sudah berada di meja makan bersiap untuk sarapan. Hatinya gundah memikirkan bagaimana cara menaklukkan hati Mary Aram.

"Paman Sanif, aku ingin dinding pemisah kamar di lantai dua dibongkar. Bisakah pengerjaan membongkar dinding dapat selesai satu hari?" Amar Mea Malawi berbincang dengan kepala rumah tangga kediaman Mea Malawi.

"Jika hanya membongkar dinding dan memindah posisi pintu, dapat selesai hanya satu hari," paman Sanif menuang minuman ke dalam gelas Amar Mea Malawi.

"Baik, aku akan ke Muara Mua, menjemput ayah istriku. Tolong juga siapkan paviliun seberang sungai untuk mertuaku tinggal. Serta empat orang pelayan untuk mengurus mertuaku di sana," dengan tenang Amar Mea Malawi memulai sarapannya.

"Tuan muda," terdengar suara nona Patrice memutus pembicaraan. "Nyonya muda hendak sarapan bersama,"

Amar Mea Malawi tersentak mendapati Mary Aram menuruni tangga dengan anggun bersama nona Patrice. Pria itu segera bangkit menyongsong kedatangan Mary Aram.

"Terima kasih Nona Patrice!" Amar Mea Malawi meraih tangan Mary Aram, dan membimbingnya ke meja makan.

"Kau menghendaki sarapan bersama?" ucapan lembut Amar Mea Malawi, dibalas dengan senyuman sekilas oleh Mary Aram.

Kemudian Mary Aram mengangguk sopan kepada paman Sanif, "Paman Sanif, teh buah Lou Han hangat sangat baik untuk kesehatan lambung. Mulai besok, sajikan di dalam poci tanah liat untuk tuan muda."

"Baik Nyonya Muda," paman Sanif terkekeh senang, melihat jodoh majikan mudanya yang lemah lembut dan ramah.

 

"Mary Aram, kini kau adalah nyonya rumah ini, sebaiknya urusan rumah tangga kau yang mengatur. Bisakah kau membantuku mengurus keuangan rumah tangga?" Amar Mea Malawi terpana menatap kecantikan Mary Aram di pagi hari.

"Baik," Mary Aram berusaha untuk kembali tersenyum, tangannya cekatan mengatur makanan ke dalam piring Amar Mea Malawi.

Walau hanya senyuman sekilas, bagi Amar Mea Malawi sudah suatu keajaiban besar. Dengan tatapan penuh rasa sayang, ia mengelus pipi lembut Mary Aram.

Daripada mengikuti perasaan menyesal berlarut-larut, Mary Aram memutuskan berdamai dengan keadaan. Ia mengulurkan sesuap sarapan pagi ke dalam mulut Amar Mea Malawi.

Wajah serta hembusan napas Amar Mea Malawi, begitu dekat menyentuh wajahnya, membuat Mary canggung.

"Apa yang ayahmu suka, kita membelinya untuk buah tangan," Amar Mea Malawi mengecup pipi lembut Mary Aram.

"Ayahku menyukai buah plum, tidak ada buah plum di Muara Mua," sekali lagi Mary Aram menyuapkan makanan ke dalam mulut Amar Mea Malawi, dan mengusap makanan di sudut mulut pria itu.

"Baiklah, kita ke St Moliana terlebih dahulu untuk membeli buah Plum," bisik Amar Mea Malawi.

"Tuan Muda, buah plum dan buah persik di kebun belakang sudah masak. Tukang kebun akan memanennya untuk dibawa ke Muara Mua," paman Sanif segera menghubungi tukang kebun melalui pengeras suara.

"Terima kasih Paman Sanif," sekali lagi Mary Aram tersenyum.

Walau sebenarnya di dalam hati berkecamuk kemarahan dan kesedihan, Mary Aram belajar menguasai hati untuk menerima Amar Mea Malawi.

"Mary Aram… terima kasih," bisikan lembut Amar Mea Malawi, membuat mata Mary Ara berkaca-kaca. "Bisakah kita berdamai?"

"Hah! Aku akan mencobanya," Mary Aram bibir bergetar berusaha mengendalikan emosi.

"Sekali lagi terimakasih Mary Aram," Amar Mea Malawi mengecup pipi Mary Aram, dan menghapus air di sudut mata wanita itu.

Tenggelam dalam benci dan dendam, entah bagaimana kedepannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA BUKAN SEPENGGAL DUSTA   Bab 99. Teka-Teki

    "Mary Aram?" Boa Moza terkejut menatap ambang pintu utama rumah persemayaman jenazah. "Bukan kah yang di sana tadi, Mary Aram?"Boa Moza menoleh menatap perawat Patsy, dengan tatapan tidak mengerti. Perawat Patsy juga masih tertegun bingung, dengan apa yang dilihatnya. "Ya, benar! Yang barusan kita lihat adalah Nona Besar!" Perawat Patsy segera berlari menuju pintu utama rumah persemayaman. "Cepat sekali menghilang? Tidak ada siapa-siapa di luar?"Sejenak ia menjelajahi taman kecil di depan rumah persemayaman jenazah. Tidak ada siapa pun di sekitar taman. Tanpa banyak bicara Boa Moza kembali ke ruangan Mary Aram di rawat. "Mary Aram, kau membuatku ikut terkena serangan jantung!"Langkah lebarnya, mempersingkat waktu. Sesampai di ruang perawatan Mary Aram, tirai merah telah disingkirkan. Sebab jenazah tuan besar Felix Aram telah dipindahkan ke gedung persemayaman jenazah."Mary Aram? Kau telah bangun?" Boa Moza menggeser pintu dan menyibak tirai pemisah ruangan.Seorang perawat me

  • CINTA BUKAN SEPENGGAL DUSTA   Bab 98. Duka Yang Mencekik

    "Tuan Besar Boa Moza! Dokter Felix Aram telah berpulang kepada SANG PENCIPTA, tiga puluh menit yang lalu," seorang dokter senior menandatangani selembar kertas. "Maafkan kami, Tuan Besar Boa Moza," dokter senior membungkuk memberi hormat, tanda berduka."Tidak mungkin!" Boa Moza sangat terkejut. Sebab tidak ada tanda-tanda atau firasat jika kakaknya itu akan berpulang kepada Yang Maha Agung SANG PENCIPTA."Kakakku tidak mungkin meninggal! Semalam kami berbincang santai, bahkan kakakku bercanda dengan cucu-cucunya," Boa Moza tidak percaya apa yang dilihat dan didengarnya. "Kakakku itu tertawa bahagia saat menidurkan anak dokter Miseaz di pangkuannya.""Kesedihan mendalam akan nona besar Aram dan tuan muda Mea Malawi putra adatnya, merupakan tekanan berat bagi dokter Felix Aram. Hal itu memicu terjadinya serangan jantung.""Sekali lagi! Ini tidak mungkin!" Boa Moza sangat terpukul, mendapati Dokter Felix Aram berbaring memeluk Mary Aram putri tunggalnya yang koma hampir empat bulan.P

  • CINTA BUKAN SEPENGGAL DUSTA   Bab 97. Tirai Merah Di Ambang Pintu

    "Adam Miseaz? Bagaimana bisa, kau ada di sini?" Desis Boa Moza menahan sakit yang mulai menguasai tubuh. Samar-samar wajah Adam Mizeaz tersenyum ada di depan mata. Senyuman itu terasa aneh, mengandung banyak makna. 'Bagaimana bisa dokter itu berada di St. John? Bukankah seharusnya berada di St. Martin?'Bau anyir darah bercampur obat menguasai ruangan, denting peralatan medis saling beradu.Di tengah setengah kesadarannya, Boa Moza merasakan jika dokter Adam Mizeaz mulai melakukan operasi."Kau heran Boa Moza, mengapa aku bisa di sini?" Suara tenang Adam Mizeaz memecah keheningan, dengan santai ia menangani operasi pengambilan peluru di bahu Boa Moza. "Tentu saja aku harus berada di sini, sebab orang yang sangat aku cintai sedang melangsungkan pernikahan.""Apa maksudmu Adam Mizeaz?" Gumam Boa Moza, hatinya sangat tidak nyaman dengan sikap Adam Mizeaz. "Ya! Aku sangat mencintai Mary Aram! Ia adalah obsesiku! Karena Mary Aram lah, aku berniat menjadi dokter. Agar derajatku sepadan

  • CINTA BUKAN SEPENGGAL DUSTA   Bab 96. Hati Seorang Ibu

    Sangat sakit! Kaku! Sakit yang luar biasa pada punggung itu begitu dominan, membuat sekujur tubuh yang lain mati rasa. Perlahan tubuh menjadi basah oleh cairan hangat! Mary Aram pun tumbang ke lantai.'Keterlaluan! Sungguh keterlaluan! Apa salahku? Mengapa orang-orang begitu kejam padaku?''Tidak cukupkah ayahku, berbuat kebaikan kepada mereka? Mengapa mereka menginginkan nyawaku?'Di tengah perasaan sakit dan malu, Mary Aram berusaha untuk bangkit. Seulas senyum tersungging di sudut bibirnya. 'Ya SANG PENCIPTA Yang Maha Agung, ampunilah orang-orang ini! Aku serahkan perbuatan mereka ke dalam tanganMU SANG PENCIPTAku Yang Maha Agung. '"Istriku!" Boa Moza segera mengangkat Mary Aram, bersamaan dengan Abee Bong Moja."Mary Aram!" Abee Bong Moja berusaha mengambil alih tubuh Mary Aram."Menyingkir! Kau tidak ada hak atas istriku!" Boa Moza mendesak tubuh Abee Bong Moja agar menjauh dari istrinya."Boa Moza! Ia tunanganku!" Abee Bong Moja bersikeras merebut tubuh Mary Aram."Hah! Lihatl

  • CINTA BUKAN SEPENGGAL DUSTA   Bab 95. Perseteruan Sengit

    Dari tangga ruang lonceng dapat terlihat jelas ritual pernikahan suaminya dengan Alda Bong Moja.Tangis pilu Mary Aram semakin tidak terbendung, melihat Alda Bong Moja menerima dupa wangi dari biksu kepala lalu berjalan mengitari Boa Moza. Dari balik cadar pengantin yang transparan, dapat terlihat jelas senyum manis mengembang di wajah wanita itu."Suamiku apapun yang terjadi, aku percaya kepadamu. Namun hatiku tidak bisa menerima wanita itu, dia akan menjadi duri dalam rumah tangga kita.""Ini rumah tangga kita, keluarga kita! Sangat keterlaluan berbagi tempat tidur bersama wanita lain."Dupa wangi telah mengitari pengantin pria, saatnya berganti dengan nyala api mengitari pengantin wanita.Hati Mary Aram semakin tersayat kepedihan, melihat suaminya membawa api dalam bokor tembaga berjalan mengitari pengantin wanita. "Mary Aram, kau harus percaya pada suamimu!" Wanita itu menangis seorang diri, sambil memukul-mukul bahunya. "Aku harus percaya! Aku harus percaya suamiku!"Doa-doa ri

  • CINTA BUKAN SEPENGGAL DUSTA   Bab 94. Hati Yang Terbelah. 

    "Kalian bawa anakku ke menara Timur.""Baik Nyonya besar."Perawat Ellen membawa Hegan Boa keluar, sesampai di ambang pintu ia menoleh. Perawat itu mencemaskan Mary Aram, hatinya tidak tega mendapati suami majikannya direbut paksa tepat pada hari pernikahan. "Namun, apakah Nyonya besar tidak masalah jika kami tinggal?""Kalian jangan cemas, aku baik-baik saja," Mary Aram tersenyum, wajahnya tampak tenang, namun tampak jika sedang mengendalikan perasaan luka. Berlalunya kedua perawat, Mary Aram membuka kotak kayu di hadapan di atas meja. Ia mengeluarkan seuntai kalung dan sebuah cincin perak. Pada liontin kalung serta cincin itu berlambang burung Cendrawasih.Selain itu masih ada sebuah cincin emas berlambang kepala singa. Kedua cincin itu adalah cincin pria, yang longgar di jari Mari Aram. Ia menyematkan kedua cincin itu pada kalung perak, lalu mengenakannya.Lonceng pernikahan kembali terdengar. Mary Aram menarik napas dalam, lalu beranjak meninggalkan kediamannya melalui balkon.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status