Share

Bab 5. Kesengsaraan Tidak Berujung

"Bisakah kau mencintai diriku?" Amar Mea Malawi memeluk tubuh halus Mary Aram, sambil bermain kismis di puncak bukit bidadari dengan jari telunjuknya.

"Entahlah," Mary Aram memejamkan mata, mengusir gundah. Ia membiarkan Amar Mea Malawi bermain kismis.

'Keterlaluan! Sangat keterlaluan! Apakah diriku akan terjebak dalam kehidupan yang tidak aku inginkan seumur hidup?' Mary Aram menyesali keputusannya bersekolah di St Martin.

Andai dirinya menurut apa kata ayah untuk bersekolah di kota Fontana yang lebih dekat dari Muara Mua, tentunya hal buruk ini tidak ia alami.

Malam itu adalah malam yang  panjang bagi Mary Aram. Meski senjata tajam Amar Mea Malawi tidak melakukan kunjungan mesra, namun tuan muda itu mengagumi tubuh Mary Aram sepanjang waktu.

Penjelajahan pagutan tidak kunjung berhenti, menjelajah di setiap jengkal diri Mary Aram. Gumam-gumam lembut terus berdengung sepanjang malam disertai aroma anggur hangat terhembus.

Bagai sebuah boneka pajangan di etalase toko, pria itu bermain tubuh Mary Aram sesuka hatinya. Jika hal itu setiap hari terjadi, alangkah jenuhnya kehidupan Mary Aram di masa mendatang.

'Ayah maafkan aku! Abee Bong Moja maafkan aku!' Teringat senyum bangga ayahnya mendapati dirinya beranjak dewasa, Mary Aram menangis. Tangis penyesalan yang menyayat di dalam hati.

Gelak tawa menggema di sepanjang sungai Muara Mua, "Abee Bong Moja! Jika ingin menjadi pedagang, mengapa harus belajar jauh-jauh hingga ke Macau? Bukankah kota Jakarta atau kota Surabaya lebih dekat?" Mary Aram memeluk manja leher Abee Bong Moja, hidungnya menggelitik jakun kekasihnya.

"Selain belajar, Abee Bong hendak menjalin relasi disana. Orang-orang Macao pandai dalam strategi berdagang, ada baiknya menimba ilmu dari mereka," Abee Bong Moja mengecup kening Mary Aram, "Maukah Mary Aram menunggu Abee Bong barang beberapa tahun?"

"Tentu saja! Bukankah kita selalu bersama sejak kanak-kanak? Berpisah beberapa tahun bukanlah masalah bagi Mary Aram," Mary Aram menghujani Abee Bong Moja dengan kecupan sayang.

"Baik! Aku Abee Bong Moja akan belajar giat, dan membangun masa depan!"

'Abee Bong Moja, maafkan aku!' Mary Aram berusaha menggeser tubuhnya dari dekapan Amar Mea Malawi, tubuhnya terasa tidak nyaman karena lengket.

Mendapati kembali ada darah di kakinya serta alas tidur, Mary Aram hanya bisa menghela napas memejamkan mata. Hatinya sangat sakit. 'Sungguh terlalu!'

 

Mary Aram sekuat tenaga beringsut untuk bangkit. Meski tubuhnya masih terasa kaku, ia berusaha bangun membersihkan diri. Sedangkan Amar Mea Malawi tertidur pulas, setelah puas melakukan penjelajahan semalaman.

Sebenarnya tubuh polos Amar Mea Malawi sangatlah mengesankan. Kokoh, padat, bentuknya ideal, wajahnya juga tampan. 'Apakah sebelumnya pria ini memiliki kekasih?'

Mary Aram menyelimuti tubuh polos Amar Mea Malawi, ia tidak nyaman melihat pria tidur tanpa busana, kemudian menutup rapat kelambu.

"Apakah pria ini sudah menjadi suamiku? Ia telah merampas kehormatanku, mempermainkan aku semalaman," Mary Aram mendengus penuh amarah. Kemudian tertawa sinis, menertawakan dirinya sendiri.

"Nyonya Muda, apakah Patrice boleh masuk? Sudah waktunya membersihkan diri," suara Patrice terdengar dari pengeras suara.

"Ah! Kembalilah satu jam lagi, tuan muda masih tidur," Mary Aram tersentak dari lamunan. Tubuhnya pegal dan kaku, Mary Aram berusaha berjalan ke kamar mandi.

"Baik Nyonya Muda," suara langkah kaki sayup-sayup terdengar menjauh.

"Ah kamar ini sangat luas, sungguh melelahkan berjalan di dalam kamar sendiri," karena lelah berjalan, akhirnya Mary Aram merangkak mendekati kamar mandi.

Melihat bayangan dirinya tampak kacau di depan cermin, Mary Aram berusaha membersihkan diri sendiri. Namun seberapa pun ia bertekad membersihkan diri, tetaplah kesuciannya tidak akan kembali.

"Apa yang harus aku katakan kepada ayahku, dan Abee Bong Moja? Bagaimana aku harus mengembalikan martabat ayahku?" Mary Aram sangat kesal, ia membenturkan kepala pada dinding. "Apakah aku harus mengemis pengampunan pada Abee Bong Moja?"

"Hah!" Mary Aram berteriak kesal sambil melempar cermin dengan botol sabun cair. Untung cermin itu tidak pecah, andaikan pecah berantakan tentunya serpihan cermin akan melukai wajahnya.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku menjadi wanita yang tidak bermartabat. Menjadi pelampiasan hasrat di kediaman pria yang tidak dikenal," Mary Aram menangis meringkuk di sudut kamar mandi.

"Apa yang kau lakukan Mary Aram? Kau akan masuk angin jika berbaring di lantai kamar mandi," Amar Mea Malawi mengangkat tubuh Mary Aram.

"Lepaskan aku!" Mary Aram menepis tangan Amar Mea Malawi. "Jauh-jauh aku datang ke St Martin, untuk belajar. Masyarakat Muara Mua membutuhkan seorang dokter."

"Dan Kau?" Mary Aram menatap Amar Mea Malawi dengan sorot mata penuh kemarahan. "Kau menyandera diriku untuk menjadi boneka  pelepas hasrat! Keterlaluan kau menghina diriku."

Mary Aram histeris dan kalut. Bagai dijatuhkan dari puncak menara, ia merasa telah kehilangan martabat!

'Bagaimana memulihkan martabat? Terbelenggu dalam pernikahan tidak diinginkan? Ataukah mati secara terhormat? Toh keduanya merupakan kesengsaraan tidak berujung.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status