Share

Bab 5

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-09 14:29:31

Hari perpisahan tahunan yang direncanakan dengan susah payah akhirnya tiba. Semua orang sibuk mempersiapkan detail terakhir. Lia dan Dean juga berada di tengah kesibukan, mencoba memastikan tidak ada hal yang terlewat.

Namun, situasi mendadak berubah ketika salah satu panitia melaporkan bahwa dekorasi utama, yang seharusnya menjadi daya tarik acara, belum tiba. Vendor yang bertanggung jawab mengirimkan barang itu tidak dapat dihubungi sejak semalam.

“Ini tidak mungkin terjadi sekarang!” Dean membanting ponselnya ke meja. Wajahnya menunjukkan perpaduan antara marah dan panik.

Lia yang ada di sampingnya mencoba tetap tenang. “Kita masih punya waktu. Mungkin kita bisa cari solusi lain.”

Dean menatapnya tajam. “Kamu bilang gampang, tapi dekorasi itu adalah pusat dari semua tema acara kita. Tanpanya, ini akan terlihat seperti acara biasa!”

Lia merasakan dadanya sesak mendengar nada Dean, tapi ia tahu bukan waktunya untuk bertengkar. “Kalau begitu, kita cari alternatif. Aku bisa minta bantuan bagian seni untuk membuat sesuatu yang sederhana tapi tetap menarik.”

Dean terdiam sesaat, lalu mengangguk singkat. “Baik. Lakukan. Aku akan coba cari tahu kenapa vendor itu tidak muncul.”

Sementara Lia bekerja keras dengan bagian seni, membuat dekorasi darurat dari bahan seadanya, Dean tetap sibuk menghubungi berbagai pihak untuk memastikan semuanya berjalan lancar.

Namun, ketika Dean akhirnya menemukan jawaban dari vendor yang bermasalah, kenyataan itu membuat darahnya mendidih. Ternyata, salah satu anggota OSIS yang bertugas mengatur pembayaran awal tidak menyelesaikan tugasnya tepat waktu, sehingga vendor membatalkan pesanan di menit terakhir.

Dean langsung menghampiri anggota tersebut di belakang panggung. “Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu tidak membereskan pembayaran itu?” bentaknya dengan nada tinggi.

Lia yang kebetulan lewat mendengar suara Dean dan segera menghampiri mereka. “Dean, tenang,” katanya sambil menarik lengan Dean.

Dean menatap Lia dengan mata penuh kemarahan. “Tenang? Bagaimana aku bisa tenang, Lia? Ini semua karena kelalaian bodoh!”

“Marah sekarang tidak akan menyelesaikan apa-apa,” balas Lia tegas. “Kita harus fokus pada apa yang bisa kita perbaiki, bukan mencari siapa yang salah.”

Dean menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ada sesuatu dalam nada suara Lia yang membuatnya sedikit lebih tenang, meskipun ia masih merasa frustrasi.

Setelah semua dekorasi darurat selesai dan acara akhirnya dimulai, Lia dan Dean berdiri di belakang aula, mengawasi jalannya acara. Lia yang kelelahan menyandarkan dirinya ke dinding, mencoba menarik napas dalam-dalam.

“Terima kasih,” kata Dean tiba-tiba.

Lia menoleh, terkejut. “Untuk apa?”

“Untuk tadi. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin sudah kehilangan kontrol,” jawab Dean pelan. Tatapannya tidak lagi tajam seperti biasanya.

Lia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Lagi pula, aku tidak mau acara ini berantakan.”

Dean tersenyum tipis, sesuatu yang jarang Lia lihat. “Kamu selalu seperti itu ya... selalu mencoba memperbaiki segalanya meskipun tidak ada yang menyadari usahamu.”

Lia terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Dean yang membuatnya merasa... dihargai.

Namun, sebelum Lia sempat merespons, seorang siswa dari kelas lain tiba-tiba mendekat. Itu adalah Raka, siswa yang dikenal dekat dengan Lia sejak ia pertama kali pindah ke sekolah ini.

“Lia, aku lihat hasil dekorasimu tadi. Keren banget!” Raka memuji dengan antusias.

Dean, yang melihat interaksi itu, merasa sesuatu yang asing muncul di dalam dirinya—perasaan tidak nyaman yang ia tidak bisa jelaskan.

“Terima kasih, Raka,” jawab Lia sambil tersenyum.

Raka lalu menatap Dean. “Kamu juga hebat, Dean. Tapi kayaknya Lia yang jadi penyelamat acara ini, ya?”

Dean hanya mengangguk singkat, tetapi di dalam dirinya, ada rasa frustasi yang mendidih. “Kenapa aku merasa seperti ini?” pikirnya, menatap punggung Raka yang berjalan menjauh bersama Lia.

Malam itu, setelah semua siswa pulang, Dean dan Lia masih berada di aula untuk membereskan sisa-sisa dekorasi. Suasana terasa canggung, terutama setelah interaksi dengan Raka tadi.

“Lia,” Dean akhirnya memecah keheningan.

“Ya?” Lia menjawab tanpa menoleh, masih sibuk merapikan meja.

“Kenapa kamu begitu dekat dengan Raka?” tanya Dean, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Lia berhenti sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi bingung. “Kenapa kamu peduli?”

Dean terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

“Aku hanya... merasa dia terlalu sering mencampuri urusan kita,” katanya akhirnya.

Lia mengerutkan kening. “Urusan kita? Dean, aku dan kamu hanya rekan kerja. Tidak ada yang lebih dari itu.”

Kata-kata itu menusuk hati Dean, meskipun ia tidak tahu mengapa. “Aku hanya tidak suka kalau ada orang lain yang ikut campur,” jawabnya dengan nada defensif.

Lia menatapnya dengan tajam. “Dean, kalau kamu punya masalah denganku, katakan saja. Jangan tarik orang lain ke dalamnya.”

Dean merasa amarah dan kebingungannya memuncak. Ia tidak bisa menjelaskan perasaannya, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak suka melihat Lia bersama orang lain.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 100

    Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 99

    Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 98

    Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 97

    Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 96

    Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 95

    Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status