Share

Bab 4

Author: Zayba Almira
last update Huling Na-update: 2024-12-08 21:52:43

Seminggu setelah insiden di ruang OSIS, suasana antara Lia dan Dean mulai sedikit mereda. Meski masih ada ketegangan, mereka tampak lebih berhati-hati dalam berbicara satu sama lain. Namun, konflik batin di antara keduanya tetap terasa—seperti api kecil yang terus menyala di bawah permukaan.

Hari itu, saat istirahat, Lia memutuskan untuk menghindari keramaian. Ia berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa. Namun, ia tidak menyangka akan menemukan Dean di sana, duduk sendirian di bawah pohon besar dengan buku catatan di tangannya.

Lia ragu untuk mendekat, tetapi rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk menjauh. “Dean?” panggilnya pelan.

Dean mendongak, sedikit terkejut melihat Lia. Ia segera menutup buku catatannya. “Ada apa?” tanyanya singkat, dengan nada yang lebih datar daripada biasanya.

“Tidak, aku hanya... tidak tahu kalau kamu suka tempat ini juga,” jawab Lia canggung.

Dean menghela napas dan menggeser posisi duduknya, memberi ruang untuk Lia. “Kalau mau duduk, duduk saja. Tidak perlu izin.”

Lia tersenyum kecil, lalu duduk di sampingnya. Mereka terdiam cukup lama, hanya ditemani suara burung dan angin yang berhembus lembut.

“Dean,” akhirnya Lia membuka suara, “kenapa kamu selalu terlihat... marah pada dunia?”

Pertanyaan itu membuat Dean menegang. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku tidak marah pada dunia. Aku hanya tidak punya waktu untuk kesalahan.”

“Tapi itu membuatmu terlihat... berat,” ujar Lia dengan nada hati-hati. “Seperti ada sesuatu yang kamu pendam.”

Dean menoleh, menatap Lia dengan mata yang penuh emosi yang ia sembunyikan dengan baik. “Kamu tidak tahu apa-apa tentangku, Lia,” katanya pelan.

Malam itu, Dean merenung di kamarnya. Kata-kata Lia terus terngiang di benaknya. “Seperti ada sesuatu yang kamu pendam.”

Ia membuka laci meja belajarnya, mengeluarkan sebuah foto lama. Di foto itu, terlihat Dean kecil berdiri bersama seorang pria dewasa—ayahnya. Tatapan tajam dan senyum tipis di wajah pria itu membuat Dean mengingat kembali masa kecilnya yang penuh tekanan.

“Ayah selalu menginginkan kesempurnaan dariku,” pikirnya. “Dan aku... tidak pernah cukup.”

Ia menutup foto itu dengan cepat, merasa perasaan lama kembali menghantamnya. Dean tidak pernah ingin orang lain tahu betapa beratnya beban yang ia pikul. Tetapi entah kenapa, setiap kali ia melihat Lia, ada sesuatu yang membuat temboknya perlahan retak.

“Kenapa dia harus menanyakan itu?” gumamnya, merasa terganggu.

Keesokan harinya, Lia datang lebih awal ke ruang OSIS untuk menyelesaikan beberapa tugas. Ia tidak menyangka Dean sudah ada di sana, duduk dengan ekspresi serius seperti biasa.

“Pagi,” sapa Lia canggung.

Dean hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara.

Setelah beberapa saat, Dean akhirnya berbicara. “Aku ingin minta maaf... soal kemarin. Aku tidak seharusnya membentakmu seperti itu.”

Lia terkejut mendengar kata-kata itu. Dean jarang sekali meminta maaf, apalagi padanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Lia pelan. “Aku juga mungkin terlalu emosional.”

Mereka terdiam lagi, tetapi kali ini keheningan terasa lebih ringan. Lia merasa ada sesuatu yang berubah dalam cara Dean memandangnya—lebih lembut, lebih manusiawi.

Namun, sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, suara ketukan pintu mengganggu momen itu. Seorang anggota OSIS masuk dengan wajah panik. “Dean, kita punya masalah besar! Salah satu vendor acara perpisahan membatalkan kerjasama.”

Dean langsung bangkit, wajahnya kembali serius. “Apa? Kenapa?”

“Katanya ada masalah dengan pembayaran awal,” jawab anggota OSIS itu.

Lia melihat bagaimana wajah Dean berubah—campuran antara marah dan frustasi. Ia tahu ini adalah momen yang sulit, tetapi entah kenapa ia merasa ingin membantu.

“Dean, aku bisa bicara dengan mereka,” kata Lia tiba-tiba.

Dean menatapnya tajam. “Kamu yakin? Ini bukan hal yang mudah.”

Lia mengangguk. “Aku akan mencoba. Kita tidak punya pilihan lain, kan?”

Lia mendatangi vendor itu dengan hati yang berdebar. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya, tetapi ia juga merasa tekanan besar dari kepercayaan yang Dean berikan.

Dengan suara yang gemetar namun penuh tekad, Lia menjelaskan situasi mereka kepada vendor. Awalnya, mereka tampak enggan untuk mendengarkan, tetapi perlahan, Lia berhasil meyakinkan mereka untuk memberi kesempatan kedua.

Saat ia kembali ke sekolah dengan kabar baik, Lia merasa lega namun juga lelah. Dean menunggunya di ruang OSIS, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum kecil padanya.

“Kerja bagus,” katanya singkat, tetapi ada kehangatan dalam suaranya yang tidak biasa.

Lia tersenyum, merasa bahwa ia akhirnya berhasil membuat Dean melihatnya sebagai seseorang yang kompeten, bukan hanya sebagai beban.

Malam itu, Lia duduk di kamarnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Ia merasa bahwa hubungannya dengan Dean perlahan berubah—dari ketegangan yang penuh konflik menjadi sesuatu yang lebih kompleks, lebih dalam.

Namun, di sisi lain, ia juga merasa takut. “Apakah ini hanya sementara? Atau ada sesuatu yang lebih dari ini?” pikirnya, memandang keluar jendela.

Di tempat lain, Dean juga merenung. Ia merasa bahwa Lia membawa sesuatu yang baru dalam hidupnya—sesuatu yang membuatnya mulai mempertanyakan prinsip-prinsipnya sendiri.

“Apa yang sebenarnya aku rasakan tentang dia?” pikir Dean, memandangi langit malam.

Bab ini menjadi titik balik dalam hubungan Lia dan Dean. Konflik mereka mulai bergeser dari permusuhan murni menjadi hubungan yang lebih kompleks, penuh emosi dan kebingungan. Namun, meski ada perubahan, masih ada banyak hal yang belum terungkap—baik tentang masa lalu Dean maupun perasaan mereka yang perlahan tumbuh.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 100

    Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 99

    Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 98

    Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 97

    Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 96

    Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 95

    Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status