Tangis Dinda pecah. Tubuhnya bergetar hebat saat menyadari begitu dekat dia dengan angan-angan ayahnya. Seharusnya sang ayah sudah berada di sini. Seharusnya dia sudah dijemput dan tinggal bersama ayahnya lagi. Seharusnya mereka sudah punya rumah baru. Seharusnya sang ayah bisa menghadiri wisudanya beberapa bulan lagi. Begitu banyak mimpi Dinda yang direbut begitu saja. Meski tidak saling berhubungan, keyakinan sang ayah masih hidup telah membuatnya bertahan selama ini. Tetapi kini Dinda tidak lagi punya pegangan dalam hidupnya. Ayahnya telah pergi. Bahkan dia tidak bisa melihat dan menguburkan jasad ayahnya. Pintu kamarnya terbuka dan Bima berdiri di sana. Setelah menutup pintu, Bima duduk di samping Dinda. Dirangkulnya gadis itu dan direngkuhnya ke dalam pelukan. Tangannya membelai punggung Dinda menenangkannya. Bima tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu Dinda perlu mengeluarkan semua duka citanya.Bima membiarkan air mata Dinda membasahi pakaiannya. Entah berapa lama Bima memeluk Di
Chelsea terlihat jauh lebih cantik daripada yang ada di televisi atau majalah. Hanya dengan make up tipis dan gaun sederhana saja sudah bisa membuatnya terlihat begitu menonjol. Sebuah senyum ramah melekat di bibirnya saat menyapa Dinda.“Hai, Bim! Masih inget gue, kan? Kita pernah satu sekolah,” kata Chelsea.Berbalik dengan Kartika dan Chelsea, wajah Bima justru menjadi tegang. Dia hanya mengangguk kecil menanggapi Chelsea.“Bima! Yang sopan, dong!” tegur Kartika. Dengan senyumnya dia lalu menatap Chelsea. “Maafin Bima, ya, Sayang. Dia memang nggak ramah.”“Nggak apa-apa, Tante. Mungkin Bima lagi cape,” jawab Chelsea. “Ini anaknya Kak Sarah, kan? Lucu banget, sih kalian.”Rasya dan Tasya merengut saat Chelsea mencubit pipi mereka. Bagi keduanya, Chelsea adalah orang asing. Mereka tidak suka jika ada orang asing yang mendekati atau menyentuh mereka.“Kenapa dia bisa ada di sini, Ma?” tanya Bima tanpa berusaha menutupi rasa tidak sukanya.Kartika menyabarkan diri menanggapi sikap putr
Dinda harus menahan tatapan sinis Chelsea sepanjang makan malam. Berkali-kali dia sengaja menyuruh Dinda melakukan hal-hal kecil yang membuat kesal seperti menuangkan air putih, mengambilkan garam karena sopnya terasa hambar, hingga mengambilkan alat makan baru setelah sebelumnya ia dengan sengaja menjatuhkan sendoknya ke lantai.Dengan mengabaikan rasa kesalnya, Dinda menuruti permintaan-permintaan itu. Mungkin ini adalah balasan Chelsea padanya karena telah menolak tawarannya dan mengguruinya sore tadi. Tetapi meski begitu, Dinda merasa puas karena dirinya kini lebih berani dan menentang sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya.“Pakai madu dua sendok teh. Ingat, dua sendok aja jangan kebanyakan!” Lagi-lagi Chelsea menyuruh Dinda saat dia dan Kartika duduk minum teh setelah makan malam.“Baik, Mbak.”“Kamu suka teh madu juga?” tanya Kartika. “Biasanya anak muda sekarang lebih suka kopi-kopi kekinian, lho.”Chelsea menggeleng. “Aku suka teh Tan. Terutama chamomile sama lemon hangat.
Hari-hari berikutnya adalah saat paling membahagiakan dalam hidup Dinda. Bima selalu berusaha langsung pulang setelah selesai jam kerja. Lalu mereka akan makan malam dan menghabiskan waktu bersama. Terkadang Bima membantu Dinda mengerjakan tugas atau skripsinya. Di lain waktu Dinda akan menemani Bima bekerja atau membantunya memeriksa beberapa laporan perusahaan. Hanya ada satu hal yang membuat Dinda merasa tak enak. Keluarga Bima tidak tahu hubungan mereka.Seperti biasa, setelah Bima berangkat kerja, Dinda membersihkan sisa-sisa sarapan mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi bel. Dengan penasaran Dinda memeriksa siapa yang datang karena biasanya tidak ada yang datang di waktu-waktu seperti ini.Begitu melihat Kartika dan Sarah di monitor, Dinda segera membukakan pintu.“Gimana kabar kamu, Din?” tanya Kartika begitu masuk.“Baik, Bu,” jawab Dinda sambil mengikuti mereka ke ruang duduk. “Mas Bima sudah berangkat tadi, Bu.”Kartika duduk di sofa dengan Sarah di sampingnya. “Kami kemari untu
Setelah menutup rapat, Bima bergegas pulang. Sebuah pesan dari Dinda masuk dan membuatnya khawatir. Pesan itu singkat, hanya berisi tiga kata tetapi berhasil membuat hatinya tak tenang. Terlebih saat dia mencoba menghubungi Dinda, ponsel gadis itu justru tidak aktif.‘Mas, saya pergi.’Kata-kata Dinda terus terngiang di benak Bima sepanjang jalan pulang. Begitu membuka pintu apartemen, Bima berteriak memanggil Dinda. Tak ada jawaban. Betapa terkejutnya dia saat masuk ke ruang duduk dan mendapati Kartika dan Sarah ada di sana.“Sedang apa Mama dan Kak Sarah di sini?” tanya Bima bingung. “Di mana Dinda?”“Dinda sudah Mama usir,” jawab Kartika datar.Bima tak mempercayai pendengarannya. Mungkin dia terlalu lelah setelah memimpin rapat panjang sehingga telinganya bermasalah. “Mama barusan bilang apa?”“Mama sudah mengusir Dinda dari sini. Kamu tidak perlu repot-repot mencarinya lagi.”Melihat sikap ibu dan kakaknya, Bima merasa ada yang tidak beres. Dia duduk di hadapan mereka. “Maksud Ma
Saat membuka matanya, Dinda hanya melihat langit-langit berwarna putih. Seluruh tubuhnya terasa sangat lelah dan lemah. Dia melihat berkeliling dan tersadar bahwa dia ada di rumah sakit. Jika dilihat dari interiornya, Dinda berada di ruang VIP. Bagaimana dia bisa sampai di tempat ini?Ingatan Dinda mulai kembali. Dia ingat berada di kafe bersama Aldi. Mereka kemudian keluar dan berpisah, lalu Dinda merasakan sakit luar biasa di perutnya. Ada darah juga. Mungkinkah menstruasinya datang dan ia tidak menyadarinya? Tetapi mengapa dia sampai pingsan dan dibawa ke rumah sakit? Siapa yang membawanya kemari? Aldi?Tepat saat Dinda bertanya-tanya pintu ruangannya terbuka. Aldi masuk dengan membawa tas plastik di kedua tangannya.“Udah sadar, Din? Gimana keadaan kamu?” Aldi meletakkan barang-barang yang dibawanya di atas meja di samping brankar tempat Dinda berbaring.“Saya kenapa, Di? Kenapa saya sampai dibawa ke rumah sakit? Berapa lama saya pingsan?” Dinda balik bertanya. Dia ingin segera ta
Perdamaian?Dinda tak mempercayai pendengarannya.Apakah Iskandar begitu takut dia akan menuntut Bima dan mencoreng nama baik keluarga besar mereka? Dinda bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal seperti itu.“Apa maksud Bapak?”Iskandar duduk dan menyatukan kedua tangannya di pangkuan. “Istri saya sudah cerita tentang hubungan kamu dan Bima. Karena itu, saya tidak memberitahu siapapun tentang kondisimu,” Iskandar diam sejenak. “Tidak seharusnya kamu diusir seperti itu. Bagaimanapun, Bima juga bersalah. Tetapi tolong maafkanlah istri saya karena membela Bima. Kamu tahu istri saya sebenarnya orang yang baik. Hanya saja, Bima adalah anaknya. Naluri seorang ibu adalah melindungi anaknya. Dan itu yang dilakukan istri saya pada Bima.”Dinda tertegun. Iskandar datang menemuinya untuk minta maaf atas nama Kartika? Yang benar saja. Jika Kartika benar-benar merasa bersalah, dia akan datang sendiri. Sakit hatinya tidak akan sembuh hanya karena seseorang mewakili Kartika meminta maaf.“Lalu
Dua tahun kemudian.Dinda melihat lampu-lampu kota yang menyala di malam hari dari jendela apartemennya. Setelah berdiam diri di sana sejak pulang tadi, Dinda beranjak dan merebahkan dirinya di sofa. Ingatannya membawa ke masa itu. Ke waktu dua tahun yang lalu, saat dia dan Iskandar duduk di sana. Setelah Iskandar memaksanya untuk menerima apartemen ini, Dinda tinggal di sana seorang diri dan menyelesaikan kuliahnya sambil bekerja di kafe. Hidupnya hanya seputar bekerja, kuliah, lalu pulang ke rumah. Dia membentengi hatinya agar tidak terlalu dekat atau membuka diri pada orang lain. Tidak ada yang mendampinginya di acara wisuda seperti teman-temannya. Satu-satunya hal yang membuatnya agak terhibur adalah sebuah buket bunga mawar yang dikirim Iskandar sebagai ucapan selamat.Hati Dinda terasa sakit saat mengingatnya. Di saat yang seharusnya paling membahagiakan dalam hidupnya, Dinda justru seorang diri. Tetapi bagaimanapun, Dinda harus melanjutkan hidupnya meski tanpa tujuan. Setelah m