Adinda harus berpisah dengan ayahnya dan hidup di tengah keluarga orang lain. Satu-satunya tujuan hidupnya adalah bekerja agar mendapat cukup uang untuk membeli rumah dan tinggal kembali bersama ayahnya. Meskipun dia tinggal bersama keluarga yang baik padanya, Dinda tetap kesepian. Tidak ada yang menghujaninya dengan kasih sayang dan perhatian seperti ayahnya. Saat Bima datang di hidupnya, Dinda mulai merasakan kebahagiaan yang telah begitu lama ia dambakan. Bahkan dia bersedia memberikan segala yang ia punya pada pria itu. Sayangnya, Dinda tidak tahu sedalam apa hati Bima. Bosnya itu tahu Dinda akan ia dapatkan jika bersikap baik padanya. Hanya perlu sedikit usaha dan kata-kata manis agar Dinda jatuh ke dalam pelukannya.
Lihat lebih banyak“Din, tolong bersihin kamar Bima ya. Ganti sprei dan selimutnya juga. Malam ini dia pulang.”
“Baik, Bu.”
Adinda segera berdiri dan mengikuti Kartika, yang menjadi majikannya selama beberapa tahun terakhir. Mereka keluar dari dapur dan menyusuri koridor, menaiki tangga hingga sampai di lantai dua rumah besar itu.
“Sekalian kamar mandinya dibersihakan juga, ya. Biar Bima betah tinggal lama-lama di sini,” Kartika mengucapkan perintahnya dengan lembut. Inilah salah satu yang membuat Adinda begitu bersyukur mendapatkan Kartika dan keluarganya sebagai majikan. Mereka kaya raya dan terpandang, tetapi selalu memperlakukan semua pekerjanya dengan sangat baik. “Heran saya sama Bima itu, orang tua masih lengkap gini kok jarang banget pulang ke rumah.”
“Mungkin Mas Bima memang sibuk ngurusi pekerjaannya di Amerika, Bu,” kata Dinda sabar. Dia sudah hapal sifat Kartika di rumah. Meski penampilannya seperti ibu-ibu sosialita yang sedang arisan, di dalamnya masih khas seperti ibu-ibu yang menunjukkan sayang dengan cara cerewet dan sering mengomeli anaknya.
Kartika menghela napas. “Ya biarpun sibuk, harusnya tetap inget rumah dong, Din. Ini telepon saja nggak pernah kalau bukan saya yang nelpon dulu. Dalam setahun ada libur tahun baru, libur lebaran, natalan, juga nggak pulang.”
“Mungkin Mas Bima niatnya ingin ngajakin Bu Tika liburan di luar negeri, jadi sengaja nggak pulang biar pada ke sana.”
“Ah, kamu itu nggak kenal sama anak saya, Din. Emang itu anak cueknya nggak ketulungan.”
Kali ini Dinda hanya meringis karena tidak tahu harus membalas apa. Dia sudah paham apa yang harus dilakukan saat Kartika mulai mengomel. Dengarkan dan dengarkan hingga Kartika lelah. Sikap sabar Dinda itulah yang membuat Kartika betah berlama-lama ngobrol satu arah dengan gadis itu, yang baginya adalah pendengar yang baik.
“Ya sudah, kamu tolong kerjain apa yang saya bilang barusan ya, Din. Jangan lupa kamarnya harus wangi. Saya mau creambath dulu, pusing mikirin anak satu itu.”
“Baik, Bu.” Adinda tersenyum melihat kepergian Kartika. Dalam hati menjerit jika mengingat biaya yang dikeluarkan Kartika tiap harinya untuk sekedar creambath atau massage atau perawatan lainnya di salon. Dinda pernah tidak sengaja menemukan tagihan salon Kartika, dan hanya bisa melongo. Satu kali perawatan saja bisa untuk membeli mobil. Jadi wajar saja Kartika tetap terlihat muda dan segar meski usianya sudah berada di pertengahan lima puluh.
Mungkin memang nasib Adinda tidak seberuntung Kartika. Untuk hidup saja dia harus menumpang dan bekerja di sini sejak usia enam belas tahun. Awalnya Kartika berniat memasukkan Dinda ke sekolah menengah atas. Tetapi dia menolak dan lebih memilih ikut kejar paket agar tetap bisa bekerja. Adinda tidak ingin menumpang secara gratis dan merepotkan orang lain. Ia ingat kata-kata ayahnya sebelum mereka berpisah di depan rumah besar Kartika.
“Kamu ikut Ibu Kartika dulu ya, Din. Tinggal di sana, tapi jangan menyusahkan mereka. Bantu mereka sebisa kamu. Ayah tahu kamu pintar bersih-bersih rumah dan memasak. Kamu bisa bantu nyapu atau ngepel. Atau cuci piring. Nanti kalau Ayah sudah punya rumah lagi, kamu Ayah jemput. Kita akan tinggal sama-sama lagi seperti dulu.”
Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, Adinda masih sering menangis saat mengingat perpisahannya dengan sang ayah. Setelah perpisahan itu, tidak ada kabar tentang ayahnya. Dinda sudah berkali-kali datang ke rumah lama mereka, menanyakan keberadaan ayahnya pada tetangga atau kenalan yang ia tahu, tapi nihil. Harapannya hanya ayahnya belum lupa pada janjinya dan menjemputnya di rumah Kartika. Itulah mengapa Dinda begitu gigih dan rajin bekerja. Dia ingin Kartika menyayanginya dan tidak punya alasan untuk memecat atau mengusirnya dari rumah itu. Hanya rumah Kartika-lah yang menjadi penghubung antara Dinda dan ayahnya.
Setelah selesai membersihkan tempat tidur, Dinda beralih ke kamar mandi yang lebih kotor dari dugaannya. Kamar ini memang jarang digunakan selama tujuh tahun terakhir. Saat Dinda pindah ke rumah ini, Bima sang pemilik kamar dan anak kedua Kartika, tengah melanjutkan kuliahnya di New York. Bima hanya pulang beberapa kali dalam waktu tujuh tahun terakhir, tetapi Dinda tidak pernah melihatnya. Seringkali Kartika dan keluarganya yang lain yang akhirnya mengalah dan mengunjungi Bima di New York. Bahkan jika bukan karena sering diperlihatkan fotonya oleh Kartika dan anak perempuannya, Sarah, Dinda tidak akan mengenali wajah Bima.
Hampir satu jam Dinda habiskan untuk menggosok bathtub, wastafel, dan kloset di kamar mandi yang ukurannya hampir dua kali lebih luas dari kamarnya di samping dapur. Pinggangnya seperti mau putus karena terlalu lama berjongkok. Setelah dirasa cukup bersih, Dinda lalu mengumpulkan alat-alat kebersihannya dan keluar dari kamar mandi.
“Siapa lo? Ngapain di kamar gue?”
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen