Adinda harus berpisah dengan ayahnya dan hidup di tengah keluarga orang lain. Satu-satunya tujuan hidupnya adalah bekerja agar mendapat cukup uang untuk membeli rumah dan tinggal kembali bersama ayahnya. Meskipun dia tinggal bersama keluarga yang baik padanya, Dinda tetap kesepian. Tidak ada yang menghujaninya dengan kasih sayang dan perhatian seperti ayahnya. Saat Bima datang di hidupnya, Dinda mulai merasakan kebahagiaan yang telah begitu lama ia dambakan. Bahkan dia bersedia memberikan segala yang ia punya pada pria itu. Sayangnya, Dinda tidak tahu sedalam apa hati Bima. Bosnya itu tahu Dinda akan ia dapatkan jika bersikap baik padanya. Hanya perlu sedikit usaha dan kata-kata manis agar Dinda jatuh ke dalam pelukannya.
Lihat lebih banyakDua minggu. Bima belum kembali. Masih tidak ada kabar darinya. Dinda hanya menerima satu atau dua potong informasi tentangnya saat menanyai Daniel. Dia selalu mengatakan Bima baik-baik saja dan menyuruh Dinda untuk tidak perlu mengkhawatirkannya.Tentu saja Dinda tetap khawatir. Apapun bisa terjadi dalam waktu itu. Walau Dinda ingin mempercayainya, dia tidak bisa mencegah untuk memikirkan kalau perasaan Bima mungkin berubah dalam waktu dan jarak sejauh itu.Dinda menghembuskan napas kasar. Tubuhnya terasa lelah dan tak bertenaga. Dia hampir tidak punya waktu untuk istirahat selain saat ia tidur di malam hari. Meski pekerjaannya di kantor sudah lebih ringan setelah peluncuran produk, dia masih harus terus membuat video promosi dan mengunggahnya. Beberapa media bahkan menghubunginya dan meminta waktunya untuk diwawancara. Tetapi di antara pekerjaan dan kelas privatnya, Dinda tidak lagi punya tenaga dan waktu untuk menerima tawaran itu.Bahkan dia harus minta izin untuk pulang lebih awal
Dinda tidak tahu batas beberapa hari yang dimaksud Bima. Awalnya dia berpikir Bima pergi hanya sekitar empat atau lima hari. Satu minggu paling lama. Tetapi sudah lebih dari satu minggu sejak terakhir mereka bertemu dan Dinda belum mendengar kabar apapun darinya.Beberapa kali dia tergoda untuk menghubunginya. Namun Dinda segera mengurungkan niatnya. Bima berpikir dia telah mengkhianatinya dan Dinda sedang berusaha mendapatkan kembali kepercayaannya. Walau hari-harinya dilalui dengan kekhawatiran dan kerinduan, Dinda tetap berusaha untuk menahannya.Sayangnya tidak ada yang bisa ia tanyai. Dinda tidak mengenal orang lain selain keluarga Bima yang mungkin tahu keadaannya. Dia tidak mungkin pergi ke rumah Kartika untuk menanyakan hal itu. Pada hari ke sepuluh Dinda menemukan sebuah jawaban, meski dia sendiri tidak yakin. Tetapi dia merasa layak untuk mencobanya.Akhirnya pada malam ke sebelas kepergian Bima, Dinda berdiri di depan pintu itu dan mengetuknya. Dia langsung pergi ke sana se
Bima menambah kecepatan treadmill-nya. Keringat menetes di seluruh tubuhnya. Tetapi Bima tidak ingin berhenti. Sepulangnya dari apartemen Dinda, dia hanya berganti pakaian olahraga dan berlari di atas treadmill. Dan itu sudah berlangsung lebih dari tiga puluh menit.Dia ingin tubuhnya kelelahan hingga tidak sanggup memikirkan apapun. Bima tidak mau memikirkan Dinda dan perjanjiannya dengan sang Mama. Atau kebetulan berkali-kali antara Dinda dan Aldi. Atau kemungkinan-kemungkinan buruk yang terlintas di kepalanya.Mungkin seharusnya dia mendengarkan Dinda tadi. Mungkin penjelasan Dinda akan membuatnya mengerti dan merasa lebih baik. Sayangnya kekecewaannya terlalu besar. Dinda tahu apa yang membuatnya memberontak. Tetapi gadis itu justru mengambil jalan yang sedang Bima hindari dan menyembunyikan semua itu darinya. Dinda meraih uluran tangan Kartika dan mengikutinya tanpa menyadari kalau wanita itu sedang membuat cetakan dirinya dalam diri Dinda.Sebentar lagi gadis itu akan menjelma s
“Aahhh... pelan-pelan,” desah Dinda. Dia menggigit bibir bawahnya menahan erangan yang sejak tadi ada di tenggorokannya.“Sebelah sini?” tanya Bima.Dinda mengangguk. “Iya..ah... Pelan-pelan!”Bima menghela napas dan menghentikan aktivitasnya memijit telapak kaki Dinda. “Ini udah pelan, Din. Mau sepelan apa?”“Ya kan dipijitin biar enakan, ini jadi sakit,” keluh Dinda lagi. Bibirnya cemberut. Dia menarik kakinya yang sejak tadi ada di pangkuan Bima. Mereka ada di sofa di apartemennya setelah seharian merekam berbagai video yang akan digunakan untuk promosi produk baru.“Ya emang gitu, kan? Awalnya emang sakit, tapi lama-lama juga enak,” seringai Bima. Dia menarik kaki Dinda kembali ke pangkuannya, mengusap betisnya dengan lembut dan memberi sedikit tekanan. “Sekarang mulai enak, kan?”Wajah Dinda sontak memerah mendengar kata-kata Bima yang bermakna ganda. Pria itu selalu bisa mengubah suasana biasa menjadi sensual. Dinda mengigil saat Bima memberi pijatan di betisnya yang lain. Dia m
Apa yang dilakukan Aldi siang tadi masih terus membayangi kepala Dinda. Dia tidak mengerti mengapa Aldi menyimpan benda kotor seperti tisu bekas dan memperlakukannya seolah itu adalah barang yang begitu berharga.Mungkin dia lupa bawa sapu tangan, pikir Dinda. Tetapi dia kenapa harus tisu yang sudah kotor?Dinda punya beberapa jawaban, namun baginya terlalu menakutkan dan tidak masuk akal. Dia berusaha menyangkalnya. Mungkin Aldi hanya punya kebiasaan yang unik dan berbeda dengan orang lain. Jika Aldi berniat jahat, dia punya banyak kesempatan untuk melakukannya selama ini. Tetapi sejak dulu pria itu tidak pernah melakukan sesuatu yang bisa menyakitinya. Kecuali ucapannya beberapa hari lalu.“Kita mulai.”Dinda kembali memusatkan perhatiannya pada Miss Daisy, yang menolak memulai kelas sebelum pukul enam lewat tiga puluh meski Dinda datang sepuluh menit lebih awal. Wanita itu mempersilakan Dinda masuk ke ruang duduk yang sama seperti sebelumnya.“Silakan duduk.”“Terima kasih,” jawab
“Dan kenapa dia ada di sini?”Bima bergegas masuk dan menghampiri Daniel. Dengan Dinda hanya memakai piama dan berduaan saja dengan pria seperti Daniel membuat dadanya bergemuruh. Bima tahu reputasi Daniel dengan para wanita. Meski ada semacam perjanian tidak tertulis di antara mereka untuk tidak saling memperebutkan wanita yang sama, tetap saja Bima merasa cemburu kalau mereka berduaan di ruangan tertutup.“Hai, Bim. Udah sarapan belum?” Daniel terlihat santai meski teman baiknya itu siap membunuhnya.“Ngapain lo di rumah cewek gue?”Daniel tertawa keras. Baru sekali ini dia mendengar Bima mengklaim seorang gadis menjadi miliknya. “Cewek gue?”“Iya. Jawab!”Tawa Daniel memudar dan kemudian menghilang saat Bima tidak menganggapnya lucu. Bahkan sahabatnya itu menunjukkan ekspersi tegang dan serius. Daniel lalu mengangkat kedua tangannya, mencoba menjelaskan kalau dia tidak punya niat buruk. “Chill, Bim. Gue nggak ada maksud apa-apa ke Dinda. I know she’s yours.”Bima mengangkat kedua a
“Nggak.”Dinda menolak bujukan Indra. Mereka masih ada di ruang rapat bersama dengan Bima sementara yang lain sudah kembali ke meja masing-masing.Setelah Indra mengumumkan Dinda sebagai kandidatnya untuk mempromosikan produk mereka, hampir semua yang hadir langsung menyetujui. Indra beralasan kalau saat ini nama Dinda sedang banyak dibicarakan di media sosial. Banyak fotonya yang diambil diam-diam dan mendapat banyak reaksi positif. Beberapa bahkan mengomentari gaya berpakaiannya dan menjadikannya inspirasi.“Pak Indra lagi bercanda, kan?” tanya Dinda saat mendengar Indra mengatakannya.Tetapi Indra datang dengan persiapan. Dia menunjukkan bukti-bukti yang telah diambil dari media sosial. Saking tidak percayanya Dinda sampai meminjam ponsel Reva dan memeriksa lewat akunnya.“Kalo lo punya akun medsos, gue yakin pengikut lo udah puluhan ribu,” komentar Reva saat Dinda mengembalikan ponselnya dengan lesu.Dinda hanya bisa melongo. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang hingga menjad
Dinda hampir menyesali keputusannya, tetapi dia sudah terlanjur mengiyakan. Emosinya tersulut karena Aldi seolah meremehkannya. Dia lalu mengirimkan pesan pada Kartika yang menyatakan kalau dia menerima persyaratan yang diberikan padanya untuk tetap bersama Bima. Dinda merasa perlu untuk membuktikan diri kepada semua orang agar mereka tidak lagi melihatnya dengan sebelah mata.Kartika hanya membalas dengan jadwal dan rincian alamat tempat Dinda mengambil kelas privat. Karena Kartika tidak mengatakan apapun tentang biaya, Dinda berasumsi semua telah beres. Kalaupun harus membayar semua biayanya, Dinda rela merogoh tabungannya.Dan di sinilah dia berada. Masih mengenakan pakaian kerjanya, Dinda berdiri di sebuah rumah berlantai dua dengan arsitektur Eropa. Di jadwal yang Kartika berikan tertulis Miss Daisy sebagai gurunya di kelas etika. Setelah Dinda membunyikan bel, pintu pagar terbuka secara otomatis.Dinda berjalan melewati taman bunga kecil yang indah. Tepat saat ia menaikkan tanga
Dinda tersenyum saat mengingat ucapan Bima semalam. Entah berapa lama Dinda telah menunggunya mengucapkan sesuatu seperti itu. Akhirnya Bima membuat pengakuan. Meski Dinda tidak yakin pria itu mengatakannya karena euforia alkohol dan klimaksnya, atau memang karena dia benar-benar serius.Mengingatnya mambuat Dinda khawatir. Bagaimana jika Bima tidak mengingatnya karena semalam terlalu mabuk? Tetapi bahkan Dinda tidak terlalu mabuk. Dia masih memiliki kesadarannya dan bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi.Semalam setelah mereka selesai di sofa, Bima membawanya ke tempat tidur dan membaringkannya di sana. Setelah menanggalkan semua pakaiannya, Bima bergabung dengan Dinda. Memeluk dan membelainya hingga dia tertidur dalam pelukannya.Tidak ada mimpi buruk yang datang. Saat Dinda membuka mata, matahari sudah bersinar. Seberkas cahaya masuk dari sela tirai yang tidak tertutup sempurna, menyinari wajah Bima yang masih terlelap di depannya. Mereka tidur dengan berpelukan, satu tangan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.