“Dan kenapa dia ada di sini?”Bima bergegas masuk dan menghampiri Daniel. Dengan Dinda hanya memakai piama dan berduaan saja dengan pria seperti Daniel membuat dadanya bergemuruh. Bima tahu reputasi Daniel dengan para wanita. Meski ada semacam perjanian tidak tertulis di antara mereka untuk tidak saling memperebutkan wanita yang sama, tetap saja Bima merasa cemburu kalau mereka berduaan di ruangan tertutup.“Hai, Bim. Udah sarapan belum?” Daniel terlihat santai meski teman baiknya itu siap membunuhnya.“Ngapain lo di rumah cewek gue?”Daniel tertawa keras. Baru sekali ini dia mendengar Bima mengklaim seorang gadis menjadi miliknya. “Cewek gue?”“Iya. Jawab!”Tawa Daniel memudar dan kemudian menghilang saat Bima tidak menganggapnya lucu. Bahkan sahabatnya itu menunjukkan ekspersi tegang dan serius. Daniel lalu mengangkat kedua tangannya, mencoba menjelaskan kalau dia tidak punya niat buruk. “Chill, Bim. Gue nggak ada maksud apa-apa ke Dinda. I know she’s yours.”Bima mengangkat kedua a
Apa yang dilakukan Aldi siang tadi masih terus membayangi kepala Dinda. Dia tidak mengerti mengapa Aldi menyimpan benda kotor seperti tisu bekas dan memperlakukannya seolah itu adalah barang yang begitu berharga.Mungkin dia lupa bawa sapu tangan, pikir Dinda. Tetapi dia kenapa harus tisu yang sudah kotor?Dinda punya beberapa jawaban, namun baginya terlalu menakutkan dan tidak masuk akal. Dia berusaha menyangkalnya. Mungkin Aldi hanya punya kebiasaan yang unik dan berbeda dengan orang lain. Jika Aldi berniat jahat, dia punya banyak kesempatan untuk melakukannya selama ini. Tetapi sejak dulu pria itu tidak pernah melakukan sesuatu yang bisa menyakitinya. Kecuali ucapannya beberapa hari lalu.“Kita mulai.”Dinda kembali memusatkan perhatiannya pada Miss Daisy, yang menolak memulai kelas sebelum pukul enam lewat tiga puluh meski Dinda datang sepuluh menit lebih awal. Wanita itu mempersilakan Dinda masuk ke ruang duduk yang sama seperti sebelumnya.“Silakan duduk.”“Terima kasih,” jawab
“Aahhh... pelan-pelan,” desah Dinda. Dia menggigit bibir bawahnya menahan erangan yang sejak tadi ada di tenggorokannya.“Sebelah sini?” tanya Bima.Dinda mengangguk. “Iya..ah... Pelan-pelan!”Bima menghela napas dan menghentikan aktivitasnya memijit telapak kaki Dinda. “Ini udah pelan, Din. Mau sepelan apa?”“Ya kan dipijitin biar enakan, ini jadi sakit,” keluh Dinda lagi. Bibirnya cemberut. Dia menarik kakinya yang sejak tadi ada di pangkuan Bima. Mereka ada di sofa di apartemennya setelah seharian merekam berbagai video yang akan digunakan untuk promosi produk baru.“Ya emang gitu, kan? Awalnya emang sakit, tapi lama-lama juga enak,” seringai Bima. Dia menarik kaki Dinda kembali ke pangkuannya, mengusap betisnya dengan lembut dan memberi sedikit tekanan. “Sekarang mulai enak, kan?”Wajah Dinda sontak memerah mendengar kata-kata Bima yang bermakna ganda. Pria itu selalu bisa mengubah suasana biasa menjadi sensual. Dinda mengigil saat Bima memberi pijatan di betisnya yang lain. Dia m
Bima menambah kecepatan treadmill-nya. Keringat menetes di seluruh tubuhnya. Tetapi Bima tidak ingin berhenti. Sepulangnya dari apartemen Dinda, dia hanya berganti pakaian olahraga dan berlari di atas treadmill. Dan itu sudah berlangsung lebih dari tiga puluh menit.Dia ingin tubuhnya kelelahan hingga tidak sanggup memikirkan apapun. Bima tidak mau memikirkan Dinda dan perjanjiannya dengan sang Mama. Atau kebetulan berkali-kali antara Dinda dan Aldi. Atau kemungkinan-kemungkinan buruk yang terlintas di kepalanya.Mungkin seharusnya dia mendengarkan Dinda tadi. Mungkin penjelasan Dinda akan membuatnya mengerti dan merasa lebih baik. Sayangnya kekecewaannya terlalu besar. Dinda tahu apa yang membuatnya memberontak. Tetapi gadis itu justru mengambil jalan yang sedang Bima hindari dan menyembunyikan semua itu darinya. Dinda meraih uluran tangan Kartika dan mengikutinya tanpa menyadari kalau wanita itu sedang membuat cetakan dirinya dalam diri Dinda.Sebentar lagi gadis itu akan menjelma s
Dinda tidak tahu batas beberapa hari yang dimaksud Bima. Awalnya dia berpikir Bima pergi hanya sekitar empat atau lima hari. Satu minggu paling lama. Tetapi sudah lebih dari satu minggu sejak terakhir mereka bertemu dan Dinda belum mendengar kabar apapun darinya.Beberapa kali dia tergoda untuk menghubunginya. Namun Dinda segera mengurungkan niatnya. Bima berpikir dia telah mengkhianatinya dan Dinda sedang berusaha mendapatkan kembali kepercayaannya. Walau hari-harinya dilalui dengan kekhawatiran dan kerinduan, Dinda tetap berusaha untuk menahannya.Sayangnya tidak ada yang bisa ia tanyai. Dinda tidak mengenal orang lain selain keluarga Bima yang mungkin tahu keadaannya. Dia tidak mungkin pergi ke rumah Kartika untuk menanyakan hal itu. Pada hari ke sepuluh Dinda menemukan sebuah jawaban, meski dia sendiri tidak yakin. Tetapi dia merasa layak untuk mencobanya.Akhirnya pada malam ke sebelas kepergian Bima, Dinda berdiri di depan pintu itu dan mengetuknya. Dia langsung pergi ke sana se
Dua minggu. Bima belum kembali. Masih tidak ada kabar darinya. Dinda hanya menerima satu atau dua potong informasi tentangnya saat menanyai Daniel. Dia selalu mengatakan Bima baik-baik saja dan menyuruh Dinda untuk tidak perlu mengkhawatirkannya.Tentu saja Dinda tetap khawatir. Apapun bisa terjadi dalam waktu itu. Walau Dinda ingin mempercayainya, dia tidak bisa mencegah untuk memikirkan kalau perasaan Bima mungkin berubah dalam waktu dan jarak sejauh itu.Dinda menghembuskan napas kasar. Tubuhnya terasa lelah dan tak bertenaga. Dia hampir tidak punya waktu untuk istirahat selain saat ia tidur di malam hari. Meski pekerjaannya di kantor sudah lebih ringan setelah peluncuran produk, dia masih harus terus membuat video promosi dan mengunggahnya. Beberapa media bahkan menghubunginya dan meminta waktunya untuk diwawancara. Tetapi di antara pekerjaan dan kelas privatnya, Dinda tidak lagi punya tenaga dan waktu untuk menerima tawaran itu.Bahkan dia harus minta izin untuk pulang lebih awal
“Nggak perlu ditungguin. Dinda udah janjian sama gue buat pulang bareng.”Sean, remaja yang menjadi partnernya di kelas tari menghampiri mereka dan berdiri di samping Dinda. Tubuhnya yang jangkung membayangi gadis itu.Dinda merasakan kelegaan mengaliri hatinya saat Sean datang. Walau menyebalkan, Dinda lebih memilih digoda anak itu dibanding harus berduaan sepanjang makan malam dengan Aldi.“Siapa kamu?” Aldi menatap Sean dengan mata menyipit.“Siapa kamu?” Sean membeo. Matanya memandang Aldi dari atas ke bawah dan menyeringai. “Asal Anda tahu, Om, yang bukan murid di sini nggak boleh masuk.”Aldi mendengus. Rahangnya menegang. Matanya yang biasanya bersinar hangat berubah menjadi dingin. Dia lalu mengabaikan Sean dan beralih pada Dinda. “Saya tunggu kamu di luar.”“Dibilang Dinda ada janji sama gue, jadi Om nggak perlu nunggu dia. Udah tuli ya, Om?” ejek Sean.“Bener, Din?” Tentu saja Aldi tidak percaya jika ucapan itu tidak keluar langsung dari mulut Dinda.“Eh, iya bener, Di,” den
Dinda menggigit bibir bawahnya, menebak reaksi Bima jika ia menceritakan semua yang terjadi sepanjang hari ini. Mungkin dia tidak akan menyetujui keputusannya lagi. Tetapi kali ini Dinda akan memaksa Bima untuk mendengar alasannya.Di atasnya, Bima menatap Dinda dengan campuran antara nafsu dan ingin tahu. Walau wajahnya tenang, matanya menyorotkan gairah yang menyala-nyala. Kepala Bima turun dan dia membenamkan wajahnya di leher Dinda, menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.“Jadi kamu masih belum berhenti?” desisnya.Dinda terkesiap saat Bima menghisap leher di bawah telinganya. Tulang-tulangnya terasa lembek. Napasnya mulai tidak teratur. Dia bahkan kesulitan untuk menjawab pertanyaan Bima.“I─iya─ah”Bibir Bima berpindah, kali ini bawah dagunya, terus turun hingga berhenti di ujung belahan dada Dinda. “Kenapa?”“Karen─aah...,” pekik Dinda. Sekuat tenaga dia mendorong Bima menjauh dari tubuhnya. “Boleh aku jawab nanti? Atau kamu bisa berhenti dulu─”“Oke. Jawab nanti.”Bima kembali m