Share

9 - Gempa Bumi

Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan. 

Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”

Di luar sana alarm-alarm mobil turut panik, bersahut-sahutan dengan suara klakson yang beraneka nada. Nguing! Nguing! Ngek! Ngok! Ngek! Ngok! Tin! Tin! Sudah macam ajang kompetisi alarm paling berisik.

Gue segera keluar dari bilik sambil menarik ritsleting. "Aw!" Kulit burung gue kejepit benda kecil itu. Kebayang tidak sakitnya? Belum lagi pakai digoyang-goyang gempa. Aadu adu aduu! Susah payah gue melepaskannya sampai keringetan. Setelah berhasil, secepatnya gue menutup celana gue, dan langsung pergi keluar, sudah tidak sempat lagi cuci tangan apalagi flush!

Di luar murid-murid  berhamburan seperti kelereng. Ada yang bertabrakan dan terjatuh, ada yang terpeleset kehilangan pijakan, ada pula yang berjalan merangkak. Sebagian lain mencoba berpegangan pada apa pun yang bisa jadi penopang, tiang, pohon, termasuk kepala temannya. Yang tidak dapat pegangan, merendahkan badannya, melebarkan tangannya seperti orang sedang berselancar di pantai. Di momen ini orang-orang terlihat ingat pada Tuhannya masing-masing. Mulut mereka komat-kamit sambil mata menatap langit. Ada pula yang bernyanyi-nyanyi pujian, “How great Thou art…” Tapi ada juga yang memanfaatkan momen untuk live streaming, "Hai guys, bersama David di sini"

Sekonyong-konyong terdengar suara teriakan wanita, “Toloooong!” Suara itu agak tersembunyi di belakang. Gue menengok kiri-kanan memastikan arah sumber suara. “Tolooong!” Gue bergegas mendekati suara itu sambil berpegangan tembok. Sumber suara berasal dari ruang penyimpanan peralatan. Gue masuk ke dalam menyelidiki. Di ruangan itu tampak Ibu Ervinah sudah terpojok. Matanya terpaku pada sesuatu di lantai. Seekor ular sepanjang satu meter. Badannya membentuk huruf S seakan siap menyerang. Mungkin akibat gempa makhluk itu keluar dari sarangnya dan kebetulan menemukan Bu Ervinah dan menuduhnya sebagai orang yang rese mengguncang-guncang sarangnya. 

Gempa lalu berhenti. 

Melihat ular gue ketar-ketir. Belum pernah gue berurusan dengan reptil bersisik itu seumur hidup. Akan tetapi sebagai laki-laki gue harus melakukan hal yang benar, yaitu…  pergi mencari orang yang lebih tepat untuk menolong. Gue berbalik dan melangkah pergi.

Akan tetapi baru beberapa langkah terdengarlah jeritan itu, “Kyaaaa!” Jeritan wanita dalam kesulitan. Sial. Gue buru-buru kembali lagi. Bu Ervinah sudah terjatuh di lantai memegangi kakinya. Darah mengalir keluar dari sela-sela jarinya. 

Da...darah… lemas gue melihat darah. Namun kondisi Bu Ervinah yang terluka dan dalam bahaya membuat insting laki-laki gue tidak bisa lagi berpaling. Antara ular itu yang tertangkap atau gue yang mati. Yang utama Ibu Ervinah harus selamat! Fight! Fight! Fight! Tapi kaki gue tak mau berhenti gemetar dan telapak tangan terasa dingin. 

Ular itu sudah siap untuk menyerang lagi. Gue tengok ke kanan kebetulan ada sebuah ember merah. Gue ambil benda itu dan bergegas masuk. Rencananya gue akan sergap ular itu dan memasukkannya ke dalam ember. Gue mengendap-endap dari belakang. Ketika jarak kami tersisa tinggal dua langkah, gue melompat. Target sudah terkunci. 

Sialnya…

Gue kesrimpet dan jatuh tepat di samping sang ular. Kepala makhluk bersisik itu langsung terangkat dan menatap gue dengan tak senang. Lidahnya yang bercabang menjulur-julur cepat, mendesis-desis, pipinya membesar mengintimidasi, lalu mulutnya menganga memperlihatkan  kedua taringnya yang panjang. Tanpa ba-bi-bu lagi ular itu langsung menyerang wajah gue. Refleks gue angkat ember. "Bak!" Tenaga makhluk itu cukup terasa saat menabrak. Di bagian bawah ember langsung terlihat dua lubang bekas taringnya. 

Gue langsung menggelinding mengambil jarak. Karena gue bulat, cara itu lebih cepat daripada harus bangun dulu dan berlari. Tapi ular itu malah ikut meliuk-liuk mengejar gue. Wah, gawat. Gue terus berguling sampai menabrak tongkat pel tali. Langsung gue ambil dan sodok ular itu. Sang ular itu terdorong ke belakang, berdesis tak senang. Setiap kali binatang itu hendak maju menyerang, gue tahan pakai pel. Tali-tali itu cukup membantu menjaga jarak dan menghalangi pandangan si ular. 

Mungkin bete tak kunjung bisa menggigit ular itu berbalik lagi ke Bu Ervinah, santapan yang lebih mudah. 

"Joni, tolong!" teriak Bu Ervinah ketakutan. 

Feeling gue semakin tak enak. Benar saja ular itu menyambar wajah Bu Ervinah. "Kyaa!" Untung sebelum kena, gue sudah keburu pegang ekor dan menariknya. Bu Ervinah sampai menangis ketakutan, syok. Matanya berkaca-kaca. 

Sekarang gue yang panik memegang ular itu di tangan kiri, hingga melompat-lompat seperti sedang tap dancing. Apalagi kepala si ular sekarang mengarah ke gue dan langsung menyerang perut gue, menyerang kemaluan gue. Badan gue sampai mundur-mundur menghindari serangan. Dia benar-benar kelihatan sangat marah, mungkin sedang PMS. Badannya melengkung, tiba-tiba saja menggigit dan melilit tangan gue. Haaa… Ya Allah. Melihat ular itu menancapkan taringnya ke tangan gue, mau pingsan. Gue harus apa? Di tengah kebingungan itu, gue melihat lakban hitam, tanpa pikir panjang gue ambil dan lilit kepalanya dengan lakban ke lengan bawah gue, sampai dia tidak bisa bergerak. Ow… ow… taringnya lumayan perih juga. Ini satu-satu cara yang terpikirkan untuk melumpuhkannya. Nanti gue akan keluar dan mencari pertolongan.  

Gue menghampiri Bu Ervinah hendak memeriksa keadaannya. Tapi dia agak ketakutan melihat ular itu di tangan gue. 

"Tenang, bu. Ular ini sudah aman terkendali," ucap gue sok cool. Padahal hati menjerit-jerit. "Ibu bisa jalan?"

"Gak tahu," jawabnya sedikit terisak-isak. 

Gue pelan-pelan mendekatinya dan bantu dia berdiri. Tiba-tiba gempa susulan sebuah. Sebuah kepala barongsai merah yang disimpan di atas lemari, jatuh. Secara insting gue langsung memeluk Bu Ervinah, dan berganti posisi untuk melindunginya. Benda yang cukup besar dan berat itu menghantam punggung gue. "Buak!" Alamak, rasanya seperti ketimpa tabung gas. Kami terdorong ke depan dan terjatuh bersama-sama. Posisi gue berada di atasnya, menindihnya, wajah kami jadi begitu dekat. Wow, dari close up dia memang cantik sekali. 

"Be… berat!" keluh Bu Ervinah megap-megap. 

"Maa. Maaf!" Gue buru-buru memindahkan badan gue ke samping. Sebentar lagi gue pasti diomelin lagi. 

Di luar dugaan Bu Ervinah memegang punggung tangan kanan gue dan bertanya, "Joni, kamu tak apa-apa?" Wuoohhoo… apa ini. Gue merasakan jemarinya yang lentik di kulit, lembut sekali seperti es krim yang creamy

Gue pandang Bu Ervinah, tidak nampak  pandangan mata yang dingin menusuk sumsum seperti dulu. Gue langsung menjaga wibawa dan mengangguk-angguk, "Ehm… ehm… tentu, saya baik-baik saja." Padahal punggung gue terasa nyeri. Kalau pulang mesti panggil tukang urut langganan. 

Gue berdiri, sambil memegang tangan Bu Ervinah membantunya berdiri. Tapi dia terjatuh dalam pelukan gue. Hehh… gemetar gue. Apalagi parfumnya begitu wangi yang soft

"Ehm… ibu sepertinya tak bisa jalan," katanya. 

"T...tak apa, saya akan gendong."

Gue angkat Bu Ervinah dengan kedua tangan gue. Entah gue dapat kekuatan dari mana padahal perut lagi keroncongan dan tangan kiri sedang di gigit ular. Mungkin kah ini ego laki-laki yang tak mau terlihat lemah di depan wanita? Gue berusaha sekuat tenaga membawanya ke luar ke lapangan supaya kami bisa segera mendapat pertolongan. Satu yang terlintas di pikiran, apakah semua wanita itu seberat ini? 

Baru gue mau tanya, "Ibu beratnya berapa sih?" Tapi dia keburu memotong, “Joni, maafkan ibu telah memanggilmu gendut tempo hari.”

"I...iya bu. Tak usah dipikirkan."

Bu Ervinah mengambil hape dari kantongnya. "Boleh ibu tahu nomor hape kamu?"

"085711456678. Mau buat apa, bu? "

Bu Ervinah diam tak menjawab. 

"Terima kasih ya, Jon."

"Sama-sama."

Sesampai di lapangan, begitu anak-anak melihat kami, mereka langsung heboh. Apalagi melihat Bu Ervinah begitu pasrahnya dalam pelukan gue. “HAaaaaaaaaaah!” seru mereka melongo. Pasti mereka bertanya-tanya ada kejadian apa? Saat ini mungkin gue terlihat seperti Superman yang tengah menggendong Lois Lane. Gagah. Heroik. 

"Bluk!" Waduh Bu Ervinah terlepas jatuh. Maaf, gue lemas karena keroncongan. Tak enak hati gue jadinya. 

"Tolong, bantu bawa Bu Ervinah ke rumah sakit. Dia digigit ular." Lalu gua angkat tangan kiri gue yang sedang digigit ular. Orang-orang tambah kaget dan melongo. “Sekalian juga tolong cari orang yang bisa menangani ular ini.”

Guru Biologi datang dan mengamati ular itu. “Oh, tenang saja, ular ini tak berbisa. Tak perlu di bawa ke rumah sakit. Bawa saja ke UKS dan berikan perawatan di sana. Guru-guru dengan sigap membantu memapah Bu Ervinah dan gue ke UKS. Akhirnya ular di tangan gue diamankan dan tangan gue diperban.

Heboh-heboh gempa bumi dan Bu Ervinah  berakhir. Anak-anak kembali ke kelas melanjutkan jam pelajaran yang tersisa. 

Akibat dari peristiwa itu gue dibawa masuk lagi ke kantor kepsek, diinterogasi. Gue menjawab dan menerangkan kejadian yang sebenarnya. 

Akan tetapi di ruangan itu ada satu hal yang menjadi perhatian gue, yaitu map yang ada di depan bapak kepsek di atas meja. Dari semenjak gue masuk, tangannya selalu berada di atas map itu, bahasa tubuhnya mengisyaratkan ada sesuatu yang ia ingin sembunyikan. Mencurigakan. Pasti itu daftar absen! Bagaimana caranya gue bisa mengambil map itu dan menghapus barang bukti untuk menyelamatkan nakama gue? 

"Yah, bapak sudah cukup mendengar keterangan darimu. Kamu boleh meninggalkan ruangan ini."

Oh tidak, gue belum menemukan caranya sudah disuruh keluar. 

Gue melirik map itu. Bapak kepsek menyadari lirikan gue, lalu dia melirik gue. Gue gantian melirik bapak kepsek. Kami saling lirik-melirik. Tiba-tiba saja gue melompat dan mencoba merebut map itu. Bapak kepsek menahannya. Kami saling rebutan. "Crak!" Map itu robek terbelah dua. "Kamu bapak keluarkan!"

Ah, itu cuma bayangan gue saja. Kelihatannya bukan ide yang bagus. Gue tersenyum dan memohon diri.

Sambil terus berpikir gue berjalan melewati ruangan kelas yang kosong. Hanya tas-tas murid saja yang ada. Dari lapangan, terdengar suara tepakan tangan menghantam bola dan "Jeding!" suara benda menghantam lantai konkrit. Seperti orang sedang bermain bola voli. Mungkin mereka sedang mata pelajaran olahraga. Sekonyong-konyong terlintas sebuah ide. Gue masuk ke dalam kelas itu dan dengan  berdebar-debar gue membuka salah satu tas. Bingo! Gue menemukan sesuatu yang gue cari. Pakaian dalam wanita! 

Biasanya murid-murid yang ada aktivitas olahraga akan membawa pakaian ganti.

Hei, jangan salah sangka, jangan berprasangka buruk, gue bukan ecchi atau hentai. Atau punya kegemaran aneh seperti para maling pakaian dalam. Percayalah ini untuk tujuan mulia. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status