Share

Pertemuan

Hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Suara guyuran airnya membisingkan telinga. Siang belum berlalu, namun langit telah menampakkan wajah gelap. Seluruh area desa Windmill Village basah. Bahkan beberapa bagian telah tergenang. Got-got kecil meluap. Airnya tumpah ke jalan.

Mobil jip hitam yang dikendarai Alicia Eva melaju membelah terpaan hujan badai. Dia mengemudi dengan ekspresi serius. Tatapannya tertuju lurus ke depan. Sepasang wiper di kaca depan bergerak cepat. Air yang menurun sesekali tersapu oleh pergerakannya.

Kedua sisi jalan yang ditempuh mobil jip Alicia berderet pepohonan. Tak seperti di area pemakaman tadi, pohon-pohon yang ada di sana berdaun rimbun.

Keadaan cukup gelap. Hujan yang turun membuat jarak pandang terbatas.

Pria yang tadi bertemu dengan Alicia juga ada di dalam mobil. Dia terkekeh lagi. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Sesekali dia menoleh ke samping. Lekuk wajah Alicia yang indah ditatapnya dengan saksama. Penampakan hidung mancung dan bibir tipis gadis itu sangat menggoda.

“Masih jauh?” tanya Alicia Eva tanpa menoleh. Sambil memegang setir dengan sebelah tangan, dia menyibakkan rambutnya. Lehernya yang jenjang terlihat. “Aku benci hujan seperti ini.”

Pria itu terkekeh sambil mengusap rambut ikalnya. Dia lalu menepuk jaket lusuhnya yang sedikit basah. “Di depan sana belok kanan.”

Alicia mendesah panjang. Dia lantas menggeleng. Dari tadi dia sesekali menahan napas. Bau apek dari pakaian pria yang duduk di sebelah membuatnya mual. Karna sudah tak tahan, dia pun menginjak pedal gas lebih dalam. Mobil pun melaju kian kencang.

Pria berjaket lusuh tersentak kaget. Mobil jip yang tiba-tiba bertambah cepat membuat punggungnya terlempar ke sandaran jok. Pantulannya lalu memajukan tubuhnya. Hampir saja dia membentur kaca depan. Beruntung dia sempat berpegangan pada dashboard.

“Ini ketiga kalinya kau hampir mencelakakan aku, Nona.” Suara kekeh terdengar lagi. “Aku harap tak ada kali keempat.”

Alicia tak memedulikan orang di sampingnya. Dia terus melajukan kendaraannya tanpa mengurangi kecepatan.

Tak lama kemudian, mobil jip hitam milik Alicia memasuki sebuah pekarangan luas berumput pendek. Air hujan setinggi tumit memenuhi seluruh permukaannya.

Di atas tanah pekarangan berdiri sebuah rumah kayu yang cukup besar. Seluruh badan bangunannya berwarna coklat tua. Atap dan keempat sisi rumah itu basah kuyup. Cuaca yang gelap, ditambah dengan teras yang tak berlampu, membuat rumah itu terkesan angker.

Mobil jip hitam berhenti tepat di depan teras rumah tua. Kedua pintunya terbuka. Alicia dan penumpangnya turun dengan cepat. Setelah menutup kembali pintu mobil, keduanya berlari memasuki teras depan rumah.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, si pria berjaket lusuh mengedor pintu. Percikan air hujan masuki teras. Seluruh lantainya menjadi basah.

Air hujan menghantam atap terdengar keras. Halilintar pun sesekali menyambar dengan nyaring. Keduanya menghasilkan suara yang membisingkan telinga.

Pintu terus digedor. Sambil menunggu orang di dalam sana mempersilakan masuk, Alicia Eva membuka kancing jaket satu per satu. Dia lalu melepaskannya. Tubuhnya yang molek dalam balutan tank top hitam terlihat. Pistol pendeknya pun tampak terselip dalam sarung di pinggang kanannya.

Si pria berjaket lusuh menoleh ke samping. Penampilan wanita di sebelahnya yang memamerkan sepasang lengan berkulit putih mulus membuatnya terpana. Dia kontan cengengesan dan mengedipkan sebelah matanya.

Tingkah genit pria paruh baya itu tak dipedulikan Alicia. Dia meletakkan jaketnya yang sedikit basah di atas pundak kiri.

Kilat berkedip. Teras depan rumah menjadi terang sekejap saja. Setelah itu, sekali lagi halilintar menyambar dengan keras. Suaranya seolah membuat jantung bergetar.

Tiba-tiba pintu terbuka. Sesosok pria kontan terlihat. Dia berdiri di ambang pintu. Ruangan di belakangnya terang benderang.

“Aku bawa tamu dari luar.” Si pria berjaket lusuh buka suara. Sekali lagi dia terkekeh. “Tamu jauh.”

Pria yang baru saja membuka pintu itu bertubuh tinggi tegap. Dia mengenakan celana panjang dan kaos ketat. Otot lengan dan dada yang kekar membuatnya terkesan gagah. Karena posisinya berdiri melawan cahaya, wajahnya terlihat tak jelas. Sebaliknya, dia bisa melihat raut kedua orang di hadapannya dengan jelas.

Alicia Eva berdiri terpaku. Dia seolah salah tingkah.

Pria yang merupakan pemilik rumah kayu memandangi Alicia dengan lekat. Wajah cantiknya diamati, kemudian tubuh indahnya juga menjadi sasaran tatapan.

Alicia memalingkan wajahnya. Pipinya bersemu merah. Dalam hati, dia merasa menyesal telah melepaskan jaketnya.

Sementara itu, Si pria berjaket lusuh terus terkekeh.

“Jason, siapa wanita ini?” tanya Si pemilik rumah kayu. Dia terfokus menatap pistol di pinggang Alicia. “Kau yakin dia tak berbahaya?”

Pertanyaan barusan membuat Alicia tersentak. Dia kembali menatap ke depan. Keningnya kontan berkerut. Apa yang ditanyakan Si pemilik rumah membuatnya sedikit tersinggung.

Pria berjaket lusuh yang bernama Jason itu lantas terkekeh. “Entahlah, Pak Kepala Desa.”

“Pelaksana tugas kepala desa,” ralat si pemilik rumah kayu. Dia memindahkan tatapannya pada Jason. “Ingat itu!”

“Yang jelas dia sudah menembak dua kali tadi,” lanjut Jason. Dia terkekeh di ujung kalimatnya. “Dua korban. Aku saksinya.”

“Apa?” Si pemilik rumah kayu berkacak pinggang. Dia kembali menghadapkan wajahnya ke Alicia.

“Aku rasa yang kutembak tadi bukan manusia!” seru Alicia Eva. Dia memindahkan jaketnya dari pundak kiri ke pundak kanan. “Aku tak berminat menjadi santapan kedua makhluk aneh itu.”

Si pemilik rumah kayu membuang napas kasar. Dia lalu menurunkan kedua tangannya dari pinggang. Posisi berdirinya yang melawan cahaya tetap membuat raut wajahnya terlihat tak jelas. Alicia penasaran. Dia hanya bisa melihat rambut pendeknya yang bermodel jabrik dan tertata rapi.

“Apa tindakan menembakku sudah benar, Pak kepala ....” Alicia terdiam sejenak. Dia berdeham. “Maksudku Pelaksana tugas kepala desa.”

“Carnivore!” seru Jason dengan wajah cengengesan. Dia terkekeh bersamaan dengan bunyi gemuruh guntur. “Si pemakan daging.”

“Hah?” Alicia menoleh ke arah Jason. “Carnivore?”

“Makhluk yang menyerangmu,” jelas Jason. Dia mengedipkan sebelah matanya pada Alicia. “Kami menyebutnya begitu.”

“Terserah apa sebutannya.” Alicia Eva mengerutkan kening tanda tak mengerti. “Dari mana asal mereka? Kenapa semua makam di area pekuburan tadi rusak? Lalu, kenapa keadaan desa ini berantakan? Tak ada tanda-tanda kehidupan.”

Jason menggeleng. Dia lalu melebarkan kedua tangannya. “Aku tak berhak menjawab pertanyaanmu, Nona.”

Alicia Eva menarik napas, lalu mengembuskannya. Dia menoleh ke belakang sejenak. Terpaan hujan menghalangi pandangan. Dia tak dapat melihat jelas pemandangan pekarangan.

“Kalau mau tinggal saja beberapa lama di sini,” lanjut Jason. Seperti kebiasaannya, dia terkekeh lagi. “Aku jamin semua pertanyaanmu akan terjawab.”

Alicia Eva tertawa kecil. Dia lalu menggeleng.

“Kau belum memperkenalkan dirimu, Nona,” kata Si pemilik rumah kayu. “Siapa namamu? Asalmu? Dan apa tujuanmu ke desa ini?”

“Alicia Eva, dari Southland City,” ujar Alicia sambil mengulurkan tangannya. “Tujuanku ke sini akan kujelaskan nanti.”

Si pemilik rumah kayu menyambut tangan Alicia. Mereka bersalaman erat. “Aku Steve Santana. Pelaksana tugas kepala desa Windmill Village.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status