Share

CORONA - awakening
CORONA - awakening
Penulis: Lienarto Lie

PROLOG

Windmill Village, 22 Mei 2021.

Langit menampakkan wajah suram. Nuansa kelabu pekat menyelimuti angkasa secara keseluruhan. Dari ujung timur hingga ufuk barat, maupun arah utara sampai selatan, tak ada setitik pun warna biru yang tampak. Hari masih siang. Namun sedari pagi, mentari enggan memperlihatkan wujudnya.

Seiring berjalannya waktu, gumpalan awan di angkasa kian pekat. Warna kelabunya pun semakin tebal hingga menghitam. Angin sepoi kuat bertiup. Suara yang dihasilkan bak siulan panjang dengan melodi sedih.

Sesekali kilat berkedip. Cahayanya yang sekejap terlihat seolah membelah langit. Setelah itu, suara guntur pun menyusul terdengar. Gemuruhnya memenuhi angkasa.

Sebidang padang gersang terhampar luas di bawah kaki langit. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya hamparan tanah tandus. Warna coklat tua menguasai seluruh permukaannya. Tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh di atasnya, bahkan sepucuk rumput pun tidak.

Ada sebuah jalan panjang yang membelah di tengah padang bertanah tandus itu. Tidak terlalu luas. Sepi dan sunyi. Kedua ujungnya seolah menghubungkan arah utara dan selatan.

Kilat kembali berkedip berkali-kali. Setelah itu, bunyi guntur terdengar.

Sebuah mobil jip hitam melaju dengan kecepatan normal. Keempat rodanya yang kokoh bekerja sama menggesek aspal kasar. Suasana sunyi membuat suara mesinnya yang kasar terdengar jelas. Karena tidak ada kendaraan lain, mobil dengan fisik usang itu bisa bergerak maju dengan lancar.

Alicia Eva mengemudi dengan santai. Kedua tangannya yang berkulit mulus diposisikan pada kemudi jip, sedangkan punggungnya bertopang pada sandaran jok.

Wajah Alicia cantik jelita dengan bola mata biru dan hidung mancung. Bibirnya yang mungil, tipis, dan merah merona, membuat pesonanya kian memancar. Angin yang terbelah memasuki jendela mobil jip, sehingga membuat rambut Alicia berkibar. Tidak panjang, hanya pendek sebahu, namun warna coklatnya yang indah memberi kesan feminin. 

Alicia sangat menikmati perjalanannya. Musik klasik bermelodi lembut yang mengalir keluar dari speaker di atas dashboard memberinya ketenangan. Cuaca mendung dan pemandangan suram di luar sana tak diindahkannya. Sambil mengemudi, dia meresapi setiap nada yang melantun.

Dari dalam jip, Alicia memandang lurus ke depan. Di kejauhan sana terlihat sebuah gapura. Kedua tiangnya berdiri kokoh pada kiri dan kanan jalan. Bagian atas gapura yang menghubungkan kedua tiang itu tergantung sebuah papan bertulisan.

Alicia Eva memicingkan matanya. Rasa penasaran membuatnya menginjak pedal gas lebih dalam. Kecepatan mobil bertambah. Semakin lama, jarak gapura pun kian dekat. Akhirnya, tulisan pada papan yang tergantung di atas gapura pun terbaca.

‘WELCOME TO WINDMILL VILLAGE.’

Garis bibir Alicia membentuk senyum manis. Hatinya girang. Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya dia sampai tempat tujuan.

‘Windmill Village,’ batin Alicia Eva, ‘nama yang unik.’

Fisik gapura yang merupakan ikon desa Windmill Village terlihat usang. Kedua tiangnya sudah retak. Warna catnya yang berwarna putih pun sudah kusam dan terkelupas.

Alicia Eva menoleh ke samping sejenak saat mobilnya melewati bawah gapura. Keningnya berkerut. Dia lalu kembali menatap ke depan. Sebelah tangannya dinaikkan untuk memijat ringan keningnya.

“Awal yang buruk untuk sebuah desa,” gumam Alicia. Dia lalu menghela napas. Tangannya yang berada pada kening dikembalikan ke setir. “Gapura itu perlu sedikit renovasi.”

Pemandangan di kedua sisi jalan tak berubah. Di kiri dan kanan masih terlihat hamparan tanah tandus. Alicia heran. Dalam hati dia bertanya, kenapa gapura yang baru saja dilewatinya malah berjarak jauh dengan desa.

Sambil menggeleng pelan, Alicia terus mengemudi. Di luar sana angin bertiup semakin kencang. Embusannya yang dingin membuat bulu kuduk berdiri. Langit lagi-lagi memperlihatkan kilatan cahayanya. Suara gemuruh guntur pun menyusul terdengar.

Setelah menempuh jarak sekitar dua kilometer, Alicia Eva sampai di daerah pemukiman penduduk. Kini, rumah-rumah dan toko-toko mulai terlihat. Jalan yang ada di sana pun lebih lebar.

Alicia memperlambat laju mobilnya. Dia bergerak maju sambil mengedarkan pandangannya. Matanya melirik ke luar kaca jendela jip. Kiri dan kanan diperhatikan dengan saksama. Sunyi. Sepi. Tak ada seorang pun yang tampak. Keningnya mengerut menatap pemandangan yang tak lazim.

Kesunyian semakin terasa saat suara embusan angin terdengar. Gumpalan awan kelabu di angkasa terus bergelora, saling menggulung satu sama lain.

Daerah itu kumuh. Banyak sampah berserakan di tengah jalan. Kaleng, plastik, kertas, dan bahkan sisa makanan tergeletak. Saking kotornya, Alicia bisa mencium bau tak sedap yang terbawa angin.

Selain sampah, tampak juga kendaraan-kendaraan yang terparkir dalam keadaan tak rapi. Beberapa sepeda motor tumbang di tepi jalan. Tak sedikit juga mobil-mobil yang kacanya terlihat pecah.

Kening Alicia Eva terus berkerut. Dia tetap menjalankan mobilnya perlahan. Tatapannya terus mengitari keadaan sekitar.

Rumah dan toko yang berderet di kedua sisi jalan dalam keadaan tertutup pintu-pintunya. Bahkan, ada beberapa yang dipalang dengan kayu.

Penampilan fisik bangunan di sana besar kecil. Ada yang bertingkat dua dan tiga, ada yang hanya memiliki satu lantai, bahkan ada juga yang hanya berupa kios kecil. Bangunan satu sama lain tak berdempet. Ada celah selebar satu sampai dua meter antar bangunan. Yang jelas, tak ada satu pun pintu yang kelihatan terbuka.

“Ini desa seperti desa mati. Apa aku tak salah alamat?” tanya Alicia dengan suara berbisik. Dia menghela napas. “Tak ada tanda-tanda kehidupan di sini.”

Sesampainya di perempatan jalan, Alicia Eva memutar kemudi ke kiri. Matanya juga menatap ke arah yang sama. Tiba-tiba ada seseorang yang menyeberang jalan. Alicia yang baru saja memindahkan tatapannya ke depan terkejut. Dia refleks menginjak pedal rem. Mobil jip berhenti mendadak. Keempat rodanya menghasilkan suara decit.

Alicia Eva terbelalak. Dia melongo sambil mengelus dadanya.

Di depan mobil jip Alicia terlihat seorang pria paruh baya berdiri. Bagian depan jip bersentuhan dengan tubuhnya yang berpakaian kumal. Sedikit saja Alicia telat menghentikan kendaraannya, pastilah orang itu sudah menjadi korban tabrakan.

Pria itu berumur sekitar 45 tahun. Warna kulitnya sawo matang. Rambut keritingnya yang berwarna hitam terlihat acak-acakan. Kumis dan jenggot yang tumbuh mengitari bibirnya pun tak rapi.

Alicia Eva mengeluarkan kepalanya melalui jendela jip yang terbuka. Dia lantas menyapa orang yang hampir saja dia celakakan. “Selamat siang, Pak! Maaf, Anda tak apa-apa? Ada yang terluka?”

Pria itu tidak menanggapi. Dia membuka mulutnya sedikit tanpa bersuara. Beberapa giginya ompong. Matanya tajam menatap Alicia. Selain paras yang tak sedap dilihat, raga pria itu pun compang-camping. Dia mengenakan jaket hijau yang lusuh. Bagian dada dan lengan kanannya bahkan sudah koyak.

“Sekali lagi maaf, Pak! Aku benar-benar tak sengaja.” Alicia berusaha berucap santun. Kepalanya masih berada di luar jendela. “Anda terluka? Perlu kuantar pulang?”

Mata pria itu terus menatap sinis pada Alicia. Dia membuang napas kasar.

“Atau perlu kuantar ke mana?” lanjut Alicia.

Pria itu lantas membuang muka. Sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, dia berlalu. Tanpa memedulikan Alicia, dia lanjut menyeberang jalan.

Alicia memasukkan kepalanya kembali. Dari dalam mobil, dia menatap pria misterius itu melalui kaca depan. Setelah menggeleng dan mendesah, dia kembali menjalankan mobilnya.

“Semoga tak semua penduduk desa seperti dia,” gumam Alicia Eva sambil menginjak pedal gas. “Aku paling tak suka orang cuek.”

Pria tadi telah sampai di seberang jalan. Dia berdiri diam di atas trotoar yang lantainya retak dan penuh sampah berserakan. Sambil terkekeh, dia menatap mobil Alicia yang bergerak menjauh.

Setelah menoleh kiri kanan, si pria misterius mengusap hidungnya yang besar dan berkulit kasar. Sama seperti semula, tiada seorang pun di daerah sekitar sana. Sekali lagi dia terkekeh, lalu melanjutkan langkahnya. Dia berjalan ke arah yang juga dituju Alicia Eva.

***

Alicia Eva menepikan mobil jipnya. Dia berhenti di depan sebuah pagar tinggi berterali besi hitam. Di sana tergantung sebuah papan rapuh bertulisan. Huruf-hurufnya ditulis dengan cat merah. Walaupun sudah pudar, namun kalimatnya masih bisa terbaca jelas. Kata-katanya menggunakan huruf kapital.

‘TANAH PEMAKAMAN KHUSUS. AREA TERBATAS. DILARANG MASUK BAGI YANG TAK BERKEPENTINGAN!’

Alicia Eva membuka pintu mobil jip. Dia lantas turun. Pintu jip ditutupnya kembali dengan kuat hingga menghasilkan bunyi hantaman keras. Sambil bergerak maju, dia memfokuskan tatapannya pada tulisan tangan yang tak rapi itu.

“Tanah pemakaman khusus?” gumam Alicia Eva. Dia menyibakkan rambut coklatnya. “Jangan-jangan kuburan para korban wabah.”

Alicia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Kedua tangannya berkacak di pinggang. Dia berpenampilan modis dengan tank top hitam yang dilapisi jaket hijau tua. Sepasang kakinya dibalut celana panjang yang juga berwarna hitam. Sedangkan alas kaki, dia memakai sepatu kets bertali.

Rasa penasaran menggerogoti hati Alicia. Masih dalam posisi berkacak pinggang, dia menoleh kiri kanan. Dirinya berdiri di atas trotoar yang kotor karna taburan sampah. Area sekitar sana juga sepi dan sunyi. Rumah-rumah dan toko-toko juga tertutup semua pintunya. Suasananya sama persis dengan bagian depan desa.

Alicia menurunkan kedua tangannya dari pinggang. Dia lalu memberanikan diri menyentuh pagar tinggi berterali besi di hadapannya. Setelah menyentuh salah satu batang terali besi, dia mendorongnya pelan. Pagar bergerak. Suara derit engselnya yang berkarat pun kontan terdengar.

Angin sepoi kuat berembus. Sampah-sampah yang berserakan di jalan dan trotoar beterbangan.

Alicia Eva semakin berani. Dia melangkah maju sambil menambah tenaga dorongan. Pagar besi terbuka kian lebar.

Kilat di angkasa tiba-tiba berkedip lagi. Alicia menengadah sejenak. Gumpalan awan hitam terlihat bak asap tebal. Suara gemuruh guntur pun terdengar. Kali ini bunyinya lebih nyaring.

Pemandangan yang berada di balik pagar membuat Alicia terperanjat. Matanya terbelalak dan keningnya berlipat. Sebuah area pekuburan terlihat. Tanahnya cukup luas dan ditumbuhi semak belukar, serta rerumputan yang telah menguning. Tingginya hampir selutut. Beberapa batang pohon yang tumbuh di sana sudah mati. Tiada selembar daun pun yang menempel pada dahan dan rantingnya.

“Astaga,” gumam Alicia sambil melangkah masuk lebih dalam. Dia mengedarkan pandangannya. “Apa yang terjadi di desa ini?”

Sebagian besar kuburan dalam keadaan rusak. Nisan-nisannya retak, bahkan ada yang pecah menjadi dua bagian. Tak sedikit juga yang tanahnya tergali, sehingga memperlihatkan lubang pada tanah.

Alicia Eva terus bergerak maju. Dia kini telah sampai ke tengah area pemakaman dan berdiri diam di sana. Sambil menyibak rambut, dia menurunkan tatapannya ke tanah. Semua lubang kuburan yang tergali kosong melompong. Tak ada mayat di setiap lubang. Kerangka maupun tulang belulang tak terlihat.

‘Apa-apaan ini? Kenapa semua makam rusak dan tergali?’ tanya Alicia Eva dalam hati. Dia memutar badan dan menatap sekeliling. ‘Apa mungkin semua jenazahnya dipindahkan?’

Sekali lagi langit memperlihatkan cahaya kilat. Bunyi guntur kembali bergemuruh. Angin yang berembus membuat rerumputan bergoyang kuat.

Tiba-tiba tercium bau tak sedap. Aromanya menusuk hidung. Karna tak mampu menahan, Alicia Eva sampai menutup lubang hidung dengan jari telunjuknya. Dia mual. Perutnya terasa teraduk-aduk. Bau yang terbawa angin itu mirip aroma daging busuk.

Alicia Eva memandang sekeliling. Suara angin terdengar. Area itu sungguh sunyi dan sepi. Selain pohon-pohon gundul, rerumputan kering, semak belukar, serta makam-makam rusak, tak ada lagi objek lain yang tampak.

Bulu kuduk Alicia berdiri. Dia merasa merinding. Jari telunjuk terus berada di bawah lubang hidungnya. Tangannya yang satu lagi dinaikkan untuk mengusap bagian belakang lehernya.

Sementara bau daging busuk terus tercium, kini terdengar suara seperti orang sedang mengunyah. Walau bunyinya bercampur dengan suara angin, namun terdengar cukup jelas.

“Suara apa itu?” gumam Alicia seraya menurunkan kedua tangannya. Bau amis langsung merasuki lubang hidungnya. “Apa ada orang lain di sini?”

Rasa penasaran Alicia Eva semakin besar. Keningnya berkerut. Tatapannya tertuju pada sebatang pohon yang berada tak jauh darinya. Dia melangkah maju. Sepatu kets bertalinya menapaki rerumputan kering.

Selangkah demi selangkah Alicia berjalan. Suara kunyahan terdengar kian jelas. Bau amis pun tercium makin kuat.

Alicia menatap tajam. Pohon gundul berbatang besar di depannya menjadi tujuan. Dalam hati, dia yakin di balik sana ada sesuatu. Ada seseorang. Dia meyakini suara kunyah yang terdengar dan bau amis yang tercium berasal dari sana.

“Halo!” seru Alicia Eva. Suaranya terdengar bersamaan dengan bunyi gemuruh guntur. “Ada orang di sana?”

Tak ada jawaban. Tak ada yang menanggapi. Hanya suara mengunyah yang terdengar seolah menjawab pertanyaan Alicia.

Bau amis semakin menusuk hidung. Alicia menahan napas sejenak. Aroma itu sungguh membuatnya ingin muntah.

“Permisi! Halo!” Alicia Eva telah tiba di depan pohon gundul berbatang besar. Cukup dekat. Jaraknya kurang dari satu meter. “Apa ada orang? Halo!”

Tidak adanya jawaban membuat rasa penasaran Alicia membesar. Dia bahkan jadi kesal. Dengan cepat, dia bergerak menuju balik pohon untuk melihat apa yang ada di sana.

Sesuatu yang mengerikan terlihat. Alicia Eva tersentak kaget. Dia refleks menjerit seraya melangkah mundur beberapa langkah.

Apa yang terlihat di depan sana membuat Alicia Eva melongo dan terbelalak. Sungguh pemandangan yang tak lazim. Seluruh tubuhnya langsung gemetaran.

Sesosok makhluk terlihat sedang memangsa seorang wanita. Makhluk itu berwujud manusia. Pakaiannya compang-camping. Badannya kurus kering, kulitnya berwarna pucat kelabu dan penuh dengan luka. Posisinya berlutut. Kedua telapak tangannya menopang di atas tanah.

Wanita yang menjadi korban terbaring di atas rerumputan. Pakaiannya terkoyak. Seluruh tubuhnya penuh luka. Cairan merah membasahi raganya dari wajah sampai ujung kaki. Yang lebih mengerikan, daging pada perutnya hancur karna dimakan oleh makhluk aneh itu.

Alicia Eva seperti tersihir. Dia tak mampu bergerak. Badan dan kakinya gemetaran. Makhluk yang ada di samping pohon itu tak memedulikan Alicia. Dia terus menikmati santapannya. Saking asyiknya, area sekitar bibirnya sampai berlepotan bercak merah.

“A ... apa-apaan ini?” Alicia mencoba bergerak mundur satu langkah. Walau kakinya terasa berat, tapi dia berhasil. Tatapan matanya tetap tertuju ke depan. “Makhluk apa itu?”

Makhluk berwujud manusia itu akhirnya menyadari keberadaan Alicia. Dia mengangkat kepalanya. Saat itulah tampak wajahnya yang menyeramkan. Matanya merah, pipinya kempot, dan warna kulitnya kelabu pucat, sama seperti badannya.

Alicia Eva menyadari adanya bahaya. Dia mundur lagi beberapa langkah. “Ka ... kau siapa? Apa yang kau lakukan?”

Seolah tak mengerti ucapan Alicia, makhluk itu tak menanggapi. Perlahan dia bangkit berdiri sambil mengunyah sisa daging yang berada dalam mulutnya. Dia lantas menggeram. Suaranya bak seekor singa yang bersiap menerkam mangsa.

“Diam di tempat!” seru Alicia sambil melangkah mundur satu langkah. Suaranya mengeras. “Jangan mendekat!”

Seruan Alicia Eva tak berpengaruh. Makhluk berkepala plontos itu malah meraung. Saat mulutnya menganga, dua deret gigi tajam terlihat. Bekas santapan yang berwarna merah menempel di sana. Dia segera bergerak maju. Langkahnya pelan dan kaku. Lututnya tak dapat ditekuk. Dia berjalan dengan kedua kaki lurus.

“Aku bilang jangan mendekat!” tegas Alicia. Dengan cepat dia mengeluarkan sepucuk pistol yang tersimpan dibalik jaketnya. “Diam di tempat atau kutembak!”

Sekali lagi makhluk itu meraung. Dia bergerak maju satu langkah lagi. Peringatan Alicia tak diindahkan. Sepertinya dia memang tak mengerti bahasa manusia.

Alicia memosisikan jari telunjuknya pada pelatuk pistol. Rasa ragu untuk menembak memaksa dia bergerak mundur beberapa langkah. Dia berusaha menenangkan diri. Tak dapat dipungkiri, rasa bingung dan takut menguasai batinnya.

Tiba-tiba dari tanah di belakang Alicia muncul sebuah telapak tangan. Pergelangan kakinya yang sebelah kanan kontan tercengkeram.

Alicia Eva tersentak kaget. Dia menjerit histeris. Tatapannya tertuju ke bawah. Tangan yang memegang pergelangan kakinya kurus kering. Yang tersisa hanya kulit pembungkus tulang.

Alicia yang panik meronta sekuat tenaga. Dia berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman tangan itu sangat kuat. 

Sementara itu, makhluk yang pertama tadi terus melangkah maju sambil memperlihatkan gigi tajamnya. Suara raungannya juga diperdengarkan.

Dalam keadaan terdesak, Alicia mengerahkan seluruh tenaga. Dengan kuat dia menarik kaki kanannya yang tercengkeram. Alhasil, tangan kurus itu tertarik keluar seluruhnya dari dalam tanah.

Alicia Eva yang berhasil melepaskan diri segera mundur menjauh. Rasa penasaran membuatnya enggan kabur. Dia tetap bersiaga sambil menjaga jarak. Walau merasa lelah dan berkeringat, dia tetap pada posisi mengacungkan pistol.

Sosok yang mencengkeram kaki Alicia menampakkan wujudnya. Tubuh bagian atasnya telah keluar dari dalam tanah. Bagian pinggang sampai kakinya masih terkubur. Sama seperti makhluk pertama tadi, dia juga bermata merah dan gigi tajam.

Alicia Eva terperangah. Makhluk yang baru saja muncul itu mengenakan setelan jas rapi. Rambut di kepalanya masih utuh. Dari penampilannya, Alicia menduga dia adalah salah satu jenazah yang terkubur di sana. Sambil meraung keras, makhluk kedua berusaha mengeluarkan pinggangnya dari dalam tanah.

Kilat berkedip. Kali ini halilintar menyambar keras. Suaranya memekakkan telinga. Makhluk pertama tadi mengganas. Dia mempercepat langkahnya. Sambil meraung, dia menyerang Alicia.

Alicia Eva mulai bisa menguasai kepanikannya. Rasa takutnya pun kian sirna. Dengan cepat dia mengarahkan pistol ke arah makhluk pertama. Tanpa ragu dia menarik pelatuknya. Suara letusan keras terdengar. Bersamaan dengan itu, sebutir peluru pun melesit keluar dari moncong pistol.

Makhluk pertama tadi tertembak tepat di keningnya. Tubuhnya terdorong ke belakang, kemudian tumbang di atas rerumputan. Timah panas dari Alicia bersarang di kepalanya. Dalam sekejap, dia tak dapat bergerak lagi. Suara raungannya pun kontan berhenti.

Sementara itu, makhluk kedua tadi sudah berhasil keluar dari dalam tanah. Dia masih pada posisi berjongkok. Sambil menatap Alicia Eva dengan sorot mata buas, dia memperdengarkan suara raungan.

Alicia balas menatap makhluk kedua dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Bahkan dia memberanikan diri maju beberapa langkah. Pistol di tangannya tergenggam erat.

Raungan makhluk kedua memekakkan telinga. Mulutnya yang menganga menampakkan dua deret gigi tajam. Perlahan dia bangkit berdiri. Setelan jas yang membalut tubuhnya penuh dengan tanah basah.

“Penampilanmu berantakan, Sobat. Aku tak suka itu,” gumam Alicia sambil menaikkan tangan dan mengacungkan pistolnya. “Ada baiknya kau beristirahat kembali dalam kuburanmu.”

Seiring dengan menyambarnya halilintar, makhluk kedua bergerak maju sambil meraung. Kedua tangannya di arahkan ke depan. Kuku di ujung kesepuluh jarinya tajam dan runcing. Nafsu membunuhnya besar. Sudah jelas, dia berniat memangsa Alicia Eva.

Alicia menggenggam senjata apinya hanya dengan tangan kanan. Makhluk kedua tak diberi kesempatan menyentuhnya. Dengan sigap, dia menembakkan pistolnya. “Rest in peace!”

Makhluk kedua bernasib sama. Kepalanya berlubang oleh tembusan peluru. Tanpa mampu bertahan, dia juga tumbang. Tubuhnya jatuh ke dalam sebuah liang.

Alicia Eva membuang napas kasar sambil menurunkan pistolnya. Dia mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan sebelah kiri.

Suasana kembali sunyi. Selain bunyi embusan angin, tak ada suara lain yang terdengar. Bau amis yang dari tadi tercium masih menyengat. Aromanya tetap menusuk lubang hidung.

Akhirnya Alicia bisa bernapas lega. Namun kebingungan dan rasa penasaran masih menguasainya. Keningnya mengerut. Tangan kirinya berkacak di pinggang, sedangkan tangan kanannya yang masih menggenggam pistol terjuntai ke bawah. Sambil mengedarkan pandangannya, Alicia mencoba menganalisis keadaan sekitarnya.

Ada apa dengan desa Windmill Village? Kenapa tak ada tanda-tanda kehidupan di sana? Kenapa dari bagian depan desa keadaannya berantakan? Makhluk apa yang tadi bangkit dan menyerang? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Alicia.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang menginjak semak belukar dari arah belakang. Alicia Eva tersadar dari lamunannya. Dia refleks membalikkan badannya dengan cepat. Pistolnya pun langsung diacungkan. Dia bersiap menembak lagi.

“Jangan tembak!”

Suara teriakan itu sempat mengejutkan Alicia. Pistol dalam genggamannya tetap diacungkan. Matanya menatap tajam pada seorang pria yang berdiri di hadapannya.

Sambil terkekeh, pria berjaket kumal yang mendadak muncul itu mengangkat kedua tangannya. Deretan giginya yang sedikit ompong terlihat. Beberapanya sudah menghitam. Dia menatap ke depan dengan penuh hasrat. Kecantikan Alicia membuat naluri lelakinya bergejolak.

“Eh, bukankah Anda yang tadi menyeberang jalan?” Kening Alicia mengerut. Dia menurunkan pistolnya.

“Ya! Tadi kau hampir menabrakku.” Pria itu menurunkan kedua tangannya. Dia lantas terkekeh. Tatapan matanya kini tertuju pada tubuh indah Alicia. “Dan sekarang kau hampir menembakku.”

Alicia Eva merasa resah dengan tatapan pria itu. Dia menyimpan kembali pistolnya ke balik jaket dan segera mengancingnya. “Maaf soal tadi. Aku sama sekali tak berniat menabrak Anda.”

Sekali lagi pria berhidung besar dan bibir tebal itu terkekeh. Tatapannya tak dipindahkan. Walaupun Alicia Eva sudah menutup jaket, namun tubuhnya yang montok masih terlihat bentuknya. Dia bak model. Keindahan wajah dan fisiknya sungguh sangat menarik perhatian kaum Adam.

“Sepertinya kau bukan penduduk desa ini, ya?” Angin yang berembus membuat rambut ikal si pria bergoyang. “Atau aku yang tak pernah melihatmu?”

Alicia Eva mendesah panjang. “Ini pertama kalinya aku ke sini. Bisa Anda jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Sebelum pertanyaan Alicia Eva sempat dijawab, kilat kembali berkedip. Tak lama kemudian, suara guntur terdengar. Rintik-rintik air dari langit pun mulai berjatuhan.

Alicia menengadah. Wajahnya yang berkulit putih mulus terkena beberapa tetes air. Dia segera menyekanya dengan telapak tangan.

“Di sini bukan tempat yang nyaman untuk bicara, Nona! Juga bukan waktu yang tepat.” Lagi-lagi pria itu memperdengarkan suara kekehnya. Kali ini lebih keras. “Kecuali kau mau basah kuyup.”

Alicia Eva mengerutkan keningnya. Dia menatap tajam pria di hadapannya. Setelah membuang napas kasar, dia melangkah.

Pria itu menatap Alivia berjalan melewatinya. Dia pun segera menyusul. Mereka berdua melangkah menuju pagar masuk area pekuburan.

Rintik-rintik air yang berjatuhan semakin banyak. Langit menggelap. Akhirnya, sedikit demi sedikit, hujan gerimis pun membasahi area pemakaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status