Bab 6
*
Itu masih sebagian yang kualami dalam hidupku. Tentang ketidakadilan, tentang pengucilan juga tentang menepi perlahan.
Semuanya diringkas menjadi tentang seorang cucu yang dibedakan. Diperlakukan beda dari Kalila dan Karina.
Pagi. Seperti biasa ibu dan ayah pergi ke sawah. Selesai satu sawah, mereka akan bergerak ke sawah lainnya. Ada dua petak sawah yang mereka kelola, setahuku itu milik nenek. Nenek memiliki beberapa sawah dan kebun, peninggalan kakek turun temurun alias warisan.
Aku masih sedang menyiapkan diri, mengenakan seragam sekolah saat ibu dan ayah berpamitan.
Setelah semua beres, aku pun berangkat ke sekolah. Sampai di depan rumah Farah, aku memanggilnya untuk pergi bersama.
Farah juga terlihat sudah siap. Jika dilihat, penampilanku dengan Farah hampir sama. Sama buluknya. Ia mengenakan sepatu butut, tas yang sudah dijahit di bagian talinya. Sama sepertiku.
Aku dan Farah berjalan kaki ke sekolah, jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi lumayan membuat kaki menjadi pegal. Berbeda dengan anak-anak lainnya yang diantar orang tua, kebanyakan diantar naik sepeda, hanya satu dua orang yang diantar dengan motor oleh orangtua mereka. Mobil? Saat itu masih jarang sekali yang memilikinya. Bahkan di kampungku tidak ada yang memiliki mobil. Paling mewah standar orang kampung, ya, motor.
“Udah jam berapa?” tanyaku pada Farah, karena kulihat ia memakai jam di tangannya.
Farah diam tak menjawab. Aku mengulang pertanyaan, siapa tahu ia tidak mendengar.
“Jam berapa?”
Farah menatapku, lalu cengengesan. “Jamnya mati.”
Aku menepuk jidat. “Jadi, itu jam cuma buat pajangan di tangan?”
“Abisnya aku masih suka banget sama jam ini.” Farah nyengir.
Yasudahlah, tak perlu melihat jam pun aku sudah tahu ini belum waktunya masuk kelas. Kami akan masuk jam delapan pagi, dan pulang tepat jam dua belas siang. Dulu jadwal sekolah berbeda dengan zaman sekarang. Dulu bisa dikatakan jadwalnya tidak teratur, kurang disiplin, tapi muridnya memiliki sopan santun dan rasa hormat yang tinggi pada gurunya.
Aku dan Farah tiba di depan gedung sekolah. Gedung tua yang catnya sudah mengelupas sana sini. Tak banyak kelas yang ada di sana. Hanya enam kelas untuk peserta didik, dan satu ruang untuk kantor guru. Di tengahnya ada lapangan kecil untuk berolahraga. Semua sangat sederhana. Aku merasa beruntung bisa sekolah di sini, meski kadang aku merasa minder dengan sepatu dan tas jelek yang kupunya.
Namun, saat melihat beberapa anak yang masih mengenakan sandal, dan kresek sebagai pengganti tas, aku merasa hidupku lebih beruntung. Hanya ketika melihat Kalila dan Karina juga beberapa teman lain, yang membuatku iri.
Waktu demi waktu kulalui di sekolah. Hingga tiba saat pelajaran terakhir. Pelajaran matematika yang bagi sebagian anak sangat tidak menyukainya, tapi aku suka. Aku lebih suka menghitung angka eksak yang sudah pasti ketimbang harus berpikir teori dan penjelasan yang panjang lebar.
Suasana kelas tampak senyap, karena sebagian anak-anak sudah tertidur di bangkunya. Ya, bagi mereka pelajaran matematika itu ibarat pil tidur yang membawa mereka ke alam mimpi. Sebagian lagi masih memperhatikan, termasuk Kalila dan Karina.
Bu Halimah tak mempermasalahkan mereka yang tidur, karena itu lebih baik daripada mereka terbangun dan membuat keributan di kelas.
Aku sedang menyimak pelajaran, saat itu kami belajar tentang pembagian dan perkalian. Tiba-tiba ada bau aneh yang menusuk hidung, membuat mereka yang pura-pura tidur demi tak mendengar pelajaran biru terbangun. Baunya seperti telur busuk.
Udin dari pojok kanan bersorak. “Bau kentut, woy.”
Karena teriakan Udin, semua anak yang tadinya menangkup wajah di meja kini terbangun. Semua serentak menutup hidung, menghindari bau busuk yang berasal entah dari mana.
“Ih, jorok.”
“Bau banget.”
“Siapa kentut, sih?”
Sahut-sahutan anak-anak saling melempar pertanyaan.
“Sekar mungkin. Kan dia sering makan terasi.” Ucapan Kalila membuat dadaku sesak. Ia menuduhku sembarangan di depan teman-teman sekelas.
Serentak semua murid tertawa. Menertawakan aku yang di mata mereka benar bahwa dariku bau busuk itu berasal. Farah yang duduk di sampingku menatap, hanya ia yang tidak ikut menertawakanku. Ia tahu bukan aku pelakunya, karena jika aku yang kentut pastilah dia duluan yang mencium baunya.
“Diam!” teriak Bu Halimah pada semua muridnya. Hal itu membuat semua anak diam.
“Kalau kebelet kentut, silakan minta izin dan buang di luar. Jangan pula menuduh sembarangan, Kalila.”
Aku senang, akhirnya ada yang menengahi keributan di kelas. Ah, bukankah itu memang tugas seorang guru?
Di depanku, kulihat Kalila menunduk. Mungkin merasa bersalah karena telah dimarahi Bu Halimah.
Suara lonceng di kantor guru berbunyi. Menandakan waktunya pulang. Namun, sebelum pulang, Bu Halimah menghentikan kami untuk duduk sebentar lagi.
“Tunggu sebentar, saya lupa. Hasil ulangan kalian sudah saya periksa. Dengarkan nama kalian saat dipanggil, dan maju ke depan untuk mengambil hasilnya.”
Semua murid tampak diam menunggu nama mereka dipanggil.
“Kalila.” Bu Halimah memanggil Kalila. Sepupuku itu bangun ke meja guru untuk mengambil kertas ulangan. Saat ia berbalik, kulihat wajahnya tersenyum bahagia.
Aku mengintip kertas ulangan Kalila, tertulis angka sembilan puluh lima di situ. Ia memang pintar, tak heran bisa mendapatkan nilai seperti itu.
“Sekar.” Aku bangun dari tempat duduk untuk mengambil kertas ulangan. Mataku membulat sempurna, lalu tanpa sadar meloncat di depan meja Bu Halimah. Tak menyangka kali ini aku mendapatkan nilai seratus untuk ulangan matematika. Nilai yang sempurna, dan tentu saja lebih lima poin dari Kalila.
Melihat aku yang meloncat, wajah Kalila tertekuk. Begitu juga Karina, ia mendapat sembilan puluh kali ini. Keduanya saling menatap, lalu sedikit melotot padaku.
*
Aku pulang dengan senyuman yang tak lepas dari bibirku. Senang sekali rasanya, karena bisanya aku akan mendapat nilai sembilan puluh, atau malah delapan puluh, itu saja sudah sangat bagus untukku.
Aku mengayunkan langkah seirama dengan Farah. Irama jalan tertahan karena menahan sepatu agar tak lebih rusak.
“Sekar!” panggil Farah.
“Hmm.”
“Nanti kalau udah gede, kamu mau jadi apa?”
Aku menoleh pada Farah. Selama ini aku tak pernah berpikir tentang cita-cita, karena yang kutahu sekolah yang tinggi itu butuh banyak biaya. Ibu dan ayah tentu tak punya biaya sebesar itu, untuk makan saja susah.
“Nggak tau, Farah. Susah bilangnya.” Aku berkata dengan ragu. Saat itu pikiranku sama sekali tak terpikir tentang beasiswa.
“Tapi, kan, aku suka sama pekerjaan dokter. Itu tuh kayak Dokter Adi di puskesmas kita.”
“Kalau kamu?” tanyaku pada Farah.
“Aku malah bingung, Sekar. Aku suka ya apa ya?” Farah mendongak ke langit seolah akan mendapat jawaban dari sana.
“Aku suka liat ibu masak sih, pengen juga belajar masak yang enak. Pengen punya warung sendiri nantinya.” Farah menjawab dengan ragu, tapi ada keseriusan dalam ucapan dan harapannya.
Pulang sekolah di tengah terik matahari, berjalan kaki sambil bercerita banyak hal. Hingga tak terasa aku dan Farah sudah sampai di depan rumah nenek. Kalila dan Karina berjalan di depanku, mereka biasanya akan pulang ke rumah nenek, nanti akan dijemput oleh ayahnya.
“Aku duluan ya,” Farah pamit masuk lebih dulu ke rumahnya.
Di depan kulihat Kalila dan Karina berlari sambil mengambil sesuatu dari dalam tas mereka. Mengambil kertas ulangan yang tadi diberikan Bu Halimah. Keduanya memperlihatkan dengan riangnya pada nenek yang sedang duduk di teras.
“Nek, dapat sembilan puluh lima.” Kalila berkata dengan bahagianya.
“Aku dapat sembilan puluh, Nek. Aku janji, besok nggak akan kalah dari Kalila atau bahkan dapat seratus sekalian,” ujar Karina berapi-api.
Aku yang melihat pemandangan itu, langsung berlari menuju nenek. Aku ingin bersama mereka. Ingin juga menunjukkan hasil ulanganku yang sempurna.
“Aku dapat seratus, Nek.” Aku berkata dengan senang.
Aku, Kalila dan Karina mengulurkan kertas untuk dilihat nenek. Senyum di wajah kami sama, menanti nenek mengambil dan melihat dengan sendirinya. Namun, tangan nenek hanya mengambil dua kertas milik Kalila dan Karina. Sementara kertas milikku tetap terulur di udara. Tanpa sapa, tanpa senyum, tanpa ajakan, mereka langsung masuk ke dalam rumah.
Meninggalkanku yang perlahan menarik tangan di udara. Menyimpan kembali kertas ulangan dengan rapi dan melangkah pulang.
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p