Terkadang seseorang perlu menjauh untuk tahu arti dekat. Terkadang seseorang perlu tahu letihnya mengejar untuk memahami sebuah perjuangan. Dan aku akan berjuang untuk itu, meskipun aku harus kesulitan mendapatkanmu. (Arza – Cinta dan Harapan) ***Arza tidak fokus dengan tugasnya. Ia masih memikirkan Luna dan bayi yang ada di kandungannya. Sungguh Arza tidak pernah menyangka Luna melakukan hal itu. Ia selalu berusaha mengarahkan Luna ke jalan yang lebih baik. Namun, sepertinya wanita itu tidak mau diingatkan atau pun dinasihati. Hari 2abita itu seolah tertutup, mungkin saja karena belum diberikan hidayah oleh Sang Pencipta.“Hei, kenapa melamun? Aku lihat kamu sejak tadi melamun dan terlihat gelisah?” tanya Razdan dan Farhan. Keduanya mendekat untuk beristirahat menyusul Arza.“Apa kalian sudah dikasih Luna undangan?” tanyanya menunjukkan undangan dari Luna.“Iya, bahkan dia dengan gamblangnya menceritakan hal itu pada kami. Tentu saja dengan berbisik supaya yang lain tidak menden
Aku yakin pertemuanku dengannya tidak akan salah tempat juga tidak akan salah waktu, apalagi salah orang. Allah sudah mengatur semuanya. Aku bersyukur Allah mengabulkan doaku.(Arza – Cinta dan Harapan)***Pukul sebelas siang acara dihentikan untuk istirahat dan sholat zuhur berjamaah. Arni segera mendekat ke arah Bu Elok dengan diikuti santrinya yang berjalan di belakangnya. “Assalamualaikum, Bu Elok.” Dengan lembut Arni menyapa wanita kalem itu.“Wa’alaikumussalam, Masya Allah ... Bu Arni, apa kabar?” Mereka saling berangkulan melepas rindu.“Alhamdulillah sehat, Bu. Bu Elok sendiri?” tanya Arni lembut.“Alhamdulillah sehat.” Keduanya pun terlibat obrolan seputar panti.“Banyak juga ya santri dari pesantrennya Bu Arni yang mengikuti lomba. Pastinya mereka sudah terpilih yang berkualitas, setiap tahun santri dari pesantren Bu Arni selalu mendapatkan juara umum,” pujinya tulus.“Alhamdulillah, Bu. O iya, Bu. Boleh saya berkenalan dengan Nak Fathiyah?” Arni penasaran pada gadis ber
Lelahnya sebuah penantian akan terobati dengan indahnya sebuah pertemuan. Dan di saat itu tidak akan aku biarkan kamu menjauh, meskipun aku harus berjuang untuk mendapatkan maaf dan cintamu.(Arza – Cinta dan Harapan)“Assalamualaikum, saya Arza,” ucap Arza dengan menangkupkan tangannya di depan dada dengan sopamFathiyah mengepalkan tangannya di balik hijab segi empat syari yang ia pakai. Sungguh ia sangat membenci laki-laki yang ada di hadapannya. Hati dan perbuatannya tidak sinkron, padahal ia sangat ingin memaafkan kesalahan Arza padanya, tetapi melihat wajah laki-laki itu ia sangat membencinya. Ucapan Arza yang begitu meremehkannya dua tahun yang lalu masih terngiang jelas di telinganya. Hinaan dan cacian yang diucapkan Arza kala itu masih tersimpan jelas di ingatannya. Membuatnya muak dan jijik melihat senyum manis yang ditunjukkan laki-laki itu.Fathiyah berusaha menguasai dirinya untuk tidak marah pada laki-laki itu. Ia berusaha menormalkan degup jantungnya yang berderu. Ingin
Bila dirimu yakin memiliki kemampuan untuk melihat ada sebuah titik cahaya yang bersinar meskipun dalam kegelapan, maka kamu masih mempunyai harapan untuk bangkit memperjuangkan. Perjuangkan seseorang yang layak untuk kamu perjuangkan!(Arza – Cinta dan Harapan)“Jangan, Bun. Kita beri ruang untuk mereka berdua. Sebaiknya kita kembali ke kamar,” bisik Afnan pada sang istri. Pria paruh baya yang masih tampan di usianya yang sudah tidak muda itu merangkul bahu sang istri.Arni hampir saja mendekat. Wanita cantik berkacamata itu tidak tahan mendengar penuturan sang putra. Saat Afnan menceritakan masalah Arza padanya dulu, dirinya berusaha menahan agar tidak marah pada sang putra. Apalagi Arza sudah menyesal dan berniat meminta maaf. Arni dan Afnan memutuskan untuk kembali ke kamar mereka setelah mengetahui kebenaran itu. Afnan sedikit lega karena berhasil membujuk sang istri.“Bunda enggak menyangka, Bi. Ternyata Fathiyah adalah gadis yang sudah disakiti Arza. Bunda melihat ada kebenc
Bagiku kamu adalah pelita yang akan memberi arah terang jalanku, juga harapan yang akan memberi jalan keselamatan. Bersama melangkah menuju masa depan dengan keridhoan Allah. Mampukah aku menaklukkan hati dan cintamu?(Arza – Cinta dan Harapan)Fathiyah segera mengusap air matanya. Ia tidak mau ada orang yang melihatnya menangis. Ia mencoba memantapkan hatinya supaya tidak lagi tersakiti.“Us, saya permisi ke toilet sebentar,” pamitnya pada Ustazah Nafis. Namun, langkahnya terhenti saat suara Arza yang membuka sholawat pertama kali terdengar di telinganya. Suara yang begitu merdu, ia tidak menyangka Arza mempunyai suara seindah itu. Ia sekilas mengurungkan langkah kakinya dan berhenti sejenak. Setelah mendengarkan dua bait salawat yang dibaca Arza, ia segera berlalu. Namun--Fathiyah melihat ke arah Arza sekilas yang membaca sholawat dengan pandangan melihat ke arahnya juga. Kini mata keduanya saling beradu pandang, bahkan keduanya sama-sama terbawa perasaan. Namun, pada menit beriku
Di sini aku menunggumu untuk menaklukkan hatimu yang pernah dulu pergi dariku. Tidak akan lagi kubiarkan itu terjadi. Walau aku akan berjuang untukmu.(Arza – Cinta dan Harapan)Arza kembali ke tempat duduknya setelah mengatakan itu pada Fathiyah. Afnan yang sudah berada di atas panggung bersama para pemangku pondok pesantren lainnya, ia pun memulai memimpin tahlil bersamaAcara pembacaan tahlil bersama dibaca dengan khidmat dan khusuk. Setelah acara itu selesai acara dilanjutkan dengan pengumuman lomba. Namun, sebelum pengumuman dibacakan acara dialihkan ke acara lainnya. Sekitar satu jam lebih pengumuman lomba pun dibacakan. Beberapa kategori sudah diumumkan. para santri dari pesantren yang diikutkan dari pesantren Afnan mendapatkan juara mulai dari juara harapan hingga juara satu, seperti tahun-tahun berikutnya. “Selamat ya, Kiyai Afnan. Santri jenengan pasti selalu menyabet juara di setiap perlombaan,” ucap salah satu ustaz dari pesantren lain yang duduk di samping Afnan. Pujia
***Aku menjadikan harapan yang tinggi dengan tekad yang tak akan pernah padam. Akan kuhadirkan semua itu untuk meluluhkan hatimu, pada saat waktunya tiba.(Arza – Cinta dan Harapan)***“Kalau Gus Arza mau, bisa menemui Nak Fathiyah di panti. Bukannya Gus Arza sering memberi pengajaran pada anak panti, jujur anak-anak merindukan pengajaran dan tausiah dari Gus Arza, sudah lama mereka tidak mendengarnya, itu pun kalau jenangan berkenan dan tidak keberatan meluangkan waktu untuk mereka,” ucap Bu Elok menawarkan pada Arza.“Insya Allah, Bu. Saya akan mengusahkan waktunya untuk memberi pengajaran pada anak-anak panti seperti dulu lagi, tapi apa anak-anak masih bersedia belajar dengan saya?" ucapnya seraya bertanya dengan ragu.“Pasti mau, Gus. Mereka semua menyukai Gus Arza, bahkan mereka sering menanyakan tentang Gus Arza saat Bunda Arni datang ke panti. Terima kasih sebelumnya kalau jenengan berkenan, Gus." Bu Elok terlihat senang mendengar jawaban Arza.“Sama-sama, Bu. Mohon maaf saya
Belajar dari apa yang telah kualami, yang berujung pada penyesalan. Membawaku menjadi lebih kuat untuk memperjuangkanmu. Namun sungguh ... untuk melihatmu bersanding dengan yang lain menjadikanku terpuruk.(Arza – Cinta dan Harapan)***“Ya sudah, kapan pun Ibu siap mendengarkan kalau kamu sudah siap menceritakan. Ibu tinggal dulu.” Bu Elok keluar dari kamar Fathiyah. Ia tidak mau memaksa gadis itu untuk cerita padanya.“Tunggu, Bu!” cegah Fathiyah merasa tidak enak hati sudah berbohong pada wanita paruh baya yang sudah bersedia menampung dan memberinya limpahan kasih sayang itu.“Iya, Nak ada apa?” Bu Elok bertanya seraya tersenyum lembut.Fathiyah ingin sekali bercerita kepada Bu Elok, tetapi dirinya masih ragu. Fathiyah menundukkan kepala sekilas sedangkan Bu Elok masih setia menunggunya di depan pintu. Melihat hal itu wanita berusia 55 tahun itu mendekat.“Anggap Ibu seperti ibumu sendiri, Nak. Kamu bisa menceritakan apa yang menyiksa hatimu selama ini, jika itu akan meringankan be