Harus diakui oleh Ben bahwa Ann memiliki semua kriteria wanita idaman. Mata Ann yang bulat dengan bola kemerahan hazel itu, hidung mancung menggoda, kulit sehalus pualam, juga senyum memikat dan tubuh sintal seksi menggairahkan. Hanya dengan bertemu sekali saja saat Ann salah masuk ruangan, Ben sudah sangat ingin memilikinya.
"Kamu boleh pergi," ucap Ben setelah berpikir beberapa saat. Ia raup wajahnya sebentar, gemas karena ia terbentur oleh prinsipnya sendiri. "Aku nggak akan pergi kalau masalah kontrak kita belom kelar!" ucap Ann tegas. Ia tepis lengan Ben yang tadi membatasi gerakannya. "Nanti kuhubungi lagi soal ini. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang!" balas Ben mengikuti Ann yang duduk di sofa, keduanya berhadapan kini. "Nggak! Aku nggak bisa ngebiarin masalah ini ngegantung gitu aja. Berapa milyar uang yang harus kita pertaruhkan buat perjanjian nggak masuk akal ini? Aku mau kita sepakat buat sama-sama ngebatalin perjanjian!" tegas Ann seakan mendapat angin segar dari masalah pelik yang terus menghantuinya. "Kamu nggak paham arti dari lifetime?" gumam Ben lagi-lagi menyesap wine di tangannya. "Kalau kita berdua sepakat buat ngebatalin kan nggak masalah." "Agensi kamu? Mereka udah terima keuntungan dengan biaya awal sejumlah 400 juta, menurut kamu, mereka mau ngembaliin uangku yang udah masuk itu?" Ann mendesah kalut, "Lagian kenapa sih kamu maen ngasih-ngasih aja uang segitu gede. Yakin amat aku mau tidur sama kamu!" serangnya. "Kamu nggak akan bisa nolak, Nona," kata Ben menyeringai tajam. "Pulanglah, nanti kupikirin lagi solusinya," ujarnya lantas berjalan ke arah pintu karena seseorang mengetuknya. Begitu pintu terbuka, dua orang pelayan masuk membawa troli mewah. Mereka langsung berjalan menuju meja makan di dekat ranjang, menyajikan beberapa menu makanan beraroma wangi yang sangat menggugah selera. Mencium aroma makanan yang menyengat hidungnya, Ann teringat bahwa terakhir kali ia makan adalah dengan sepotong roti gandum, selepas pemotretan untuk majalah remaja siang tadi. "Kamu boleh ikut makan sebelom pergi," ucap Ben menoleh Ann. "Ada garang asem kesukaan kamu," tambahnya. Ann yang sedianya ingin bersikap tak acuh akhirnya tergoda juga. Masalah bagaimana Ben tahu bahwa garang asem adalah makanan kesukaannya, sebenarnya ia penasaran. Namun, ia memilih untuk menahan diri dan mendekat untuk duduk menghadapi meja makan, di seberang Ben. "Apa kamu biasa menjamu perempuan laen kayak gini setelah kamu tidurin?" tanya Ann menutupi gengsi, ia sendok sedikit garang asem hati ampela itu ke piringnya. Ini adalah kedoknya untuk mencari tahu dari mana Ben mendapat informasi mengenai garang asem kesukaannya. "Kalau mereka kooperatif dan nggak berisik, ya, kuajak mereka makan dulu. Aku nggak pernah bikin perjanjian lama sama mereka, bukan gayaku," jawab Ben sedikit banyak bicara malam ini. Sebelumnya, jika dengan perempuan-perempuan selain Ann, Ben cenderung sangat dingin dan tidak mau terlibat banyak dengan mereka. "Kenapa aku harus seumur hidup?" sengal Ann kesal. "Entahlah," ucap Ben mengedikkan bahunya tak acuh, menyebalkan. "Aku bukan pelacur!" kata Ann menegaskan identitasnya. "Kamu pernah mikir nggak konsekuensi masuk ke industri ini? Agensi nggak ngasih tau?" "Industri ini yang mana? Aku direkrut agensi buat jadi model, bukan jual diri!" Ben menyeringai, ia suap potongan steik dari garpunya, "Kamu gabung di Queen's Diary dikasih tau kan rule-nya? Mereka tunduk sama aturanku," tukasnya. Ann tak langsung menanggapi. Ia memilih untuk mengisi amunisi tubuhnya lebih dulu, setidaknya jika ia kenyang, ia bisa berpikir jernih dan Ben tidak akan menjerumuskannya lagi pada perjanjian tak masuk akal lainnya. Sambil mengunyah, mata Ann kembali curi-curi pandang ke arah Ben. Ia menangkap satu tato di punggung telapak tangan lelaki tampan ini. Tato daun momiji, hanya setangkai, berwarna hitam tapi terlihat gahar di jemari-jemari panjang seksi itu. "Aku cuma pengin menghasilkan uang banyak," ucap Ann setelah melihat Ben menyudahi acara makannya. "Jadi model dan rela disuruh telanjang pun, aku udah pikirin itu matang-matang. Tapi aku nggak ngejual diriku buat ditidurin, itu bukan gayaku!" jelasnya rinci. "Kenapa kedengeran munafik banget di telingaku ya?" balas Ben. "Terserah gimana kamu menilaiku. Orang nggak punya kerjaan yang seneng banget ngehamburin uang cuma buat ngebeli harga diri orang lain kayak kamu nggak akan tau gimana perjuangan hidup orang laen!" cecar Ann kemudian menarik napas dalam-dalam untuk tidak berteriak mengumpat. "Aku juga nggak tertarik soal kehidupan pribadi orang laen!" "Seenggaknya kalau kamu punya mata, kamu liat dan pahami! Jangan merem dan nggak mau peduli!" sengal Ann dengan dada yang naik-turun marah. Tak menjawab, Ben justru bangun dari posisi duduknya. Ia memutari meja makan, mendekat pada Ann. Lantas, ia duduk di sandaran kursi sebelah Ann, membungkuk sedikit agar wajahnya cukup dekat dengan wajah ayu gadis di depannya ini. "Aku ngebeli kamu dengan harga mahal bukan buat dengerin kisah hidup kamu," bisik Ben terdengar kejam. "Sebaliknya, aku ngasih kamu kesempatan buat ngumpulin lebih banyak duit dan kamu bisa nolong hidup bullshit kamu itu!" gumamnya. Pandangan mata Ann naik dari dada Ben hingga berakhir dengan saling tatap tanpa suara. Mereka sama-sama keras kepala dan tidak menemui kata sepakat setiap kali saling berbicara. "Sekarang, kalau aku mundur aku rugi, aku lanjut tambah rugi karena aku nggak akan pernah nidurin perawan amatir kayak kamu!" lanjut Ben gamang. "Bukan cuma kamu yang dirugiin. Sejak awal aku yang ada di pihak yang paling nggak diuntungkan!" Ann melawan sengit. "Kalau gitu, buat diri kamu berguna dan nggak ngerugiin aku yang udah keluar banyak uang." "Tanggung aja kerugianmu sendiri, aku sih bodo amat," kata Ann songong. "Kamu lupa di isi kontrak ada klausul yang mewajibkan kamu memenuhi apapun yang kumau?" tanya Ben tersenyum penuh arti. "Kamu lupa udah berapa juta uangku yang masuk ke rekeningmu?" Ann terhenyak. Salah satu alasannya bersedia datang adalah karena perusahaan termasuk agensi yang merekrutnya sudah mentransfer sejumlah uang. Ia tidak tahu jika itu termasuk uang bayaran atas kontraknya dengan Ben hingga ia dengan gegabah menggunakannya untuk membayar tunggakan biaya kuliah juga biaya kontrakan rumah. Hidup sebatang kara di kota besar Jakarta dan tanpa sanak saudara membuat Ann berjibaku sendirian demi hidupnya. Hingga saat ia tersadar dari mana uang itu berasal, ia tak memiliki satupun pilihan untuk menghindar. "Aku udah penuhin maumu dengan dateng ke sini. Urusan kamu nggak mau nidurin amatir kayak aku, itu di luar perjanjian kita!" ucap Ann seolah kembali memiliki cara untuk lepas dari cengkeraman Ben atas dirinya. "Kamu yang nggak mau sama tubuhku," ujarnya sambil menurunkan sebelah lengan bajunya hingga tali bra-nya terpampang. "Cara klasik begini nggak akan mempan. Saat ini juga kalau kamu mau, aku bisa minta perempuan laen buat gantiin tugasmu," balas Ben jumawa. "Tapi kamu ngebeli mereka cuma buat satu malam, Bos. Kenapa aku seumur hidup? Aku bukan budakmu!" "Budak itu nggak terima bayaran, Nona," Ben tertawa, ia kecup bibir Ann sekejap, gadis ini tidak berkutik sama sekali. "Kamu bisa kerja di rumahku, kayaknya itu ide bagus!" ucapnya menemukan solusi brilian. "Nggak mungkin! Aku kuliah dan aku model! Nggak akan mau aku jadi pembantumu," tolak Ann mentah-mentah, ia berdiri dari kursinya spontan. Tawa Ben makin terdengar mengerikan, ia tarik pinggang Ann menempel pada tubuhnya. Ann seketika membuat pertahanan, ia tekan dada bidang Ben agar tak lagi mencuri kecupan darinya. "Siapa bilang kamu bakal jadi pembantu? Kukasih tau, di rumahku, ada hal laen yang lebih seru," bisik Ben misterius, membuat Ann ternganga, tak bisa berkata-kata. Benar, Ann lagi-lagi membeku di pelukan Ben tanpa bisa melawan. Pesona lelaki ini mustahil untuk ia tolak begitu saja. Siapa gerangan Big Ben? Sialan! Gue nolak ditidurin, tapi aroma tubuhnya ni brengsek bikin gue nggak bisa ngapa-ngapain! ###"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama