LOGINHallo, aku ada visualisasi Radja dan Djiwa pakai dresscode acara. Beskap hitam dan kebaya krem🥰 Cek di igehku, ya: @langit_parama Jangan lupa follow juga🫰🏻
Sepuluh hari setelah liburan mereka di Rotterdam, private jet keluarga Reinard akhirnya mendarat mulus di landasan Bandara Indonesia.Begitu roda pesawat berhenti sempurna, pramugara membuka pintu kabin.Udara Jakarta yang hangat langsung menyergap masuk, kontras dengan dinginnya musim dingin Belanda yang masih menempel di kulit mereka.Radja bangkit lebih dulu, meraih mantel tipisnya. Ia menoleh ke belakang, menatap Djiwa yang masih melepaskan seatbelt yang melingkari pinggangnya.“Ayo,” ucapnya pelan. “Kita sudah sampai.”Djiwa berdiri, menata rambutnya yang sedikit kusut karena tidur selama perjalanan panjang.Ia mengikuti Radja menuju pintu keluar, dan ketika menjejak lantai tangga pesawat, aroma khas kota Indonesia langsung menyambutnya.Hangat, lembap, dan rumah.Begitu keduanya menuruni tangga, seorang supir keluarga Reinard sudah menunggu di bawah dengan membungkuk hormat.“Selamat datang kembali, Tuan Radja,” sambutnya.Radja mengangguk, kemudian menoleh pada Djiwa. “Kita pul
| Inggrit Mas, Anggita mau ngomong sama kamu. Jawab teleponnya. | Inggrit Kalau udah gak sibuk, telepon balik ya, Mas? Radja menatap pesan itu datar tanpa ekspresi, sama sekali tidak tertarik untuk membalas apalagi balik menghubungi Inggrit. Entahlah, dia merasa kalau wanita itu hanya menggunakan nama anaknya agar bisa menghubunginya. Dan selama hasil tes DNA yang Radja minta pada Arga belum keluar, dia tidak bisa tenang dan bersikap seperti biasa pada Anggita. Ia mendengus kasar, lalu memasukkan ponselnya ke dalam long coat miliknya. Kakinya kembali melangkah bersama wanita di sisi kirinya. “Kayaknya, kalau bukan lagi musim dingin—kita bisa jalan-jalan ke pantai ya, Mas?” Djiwa kembali kembali membuka suara saat keduanya terdiam cukup lama setelah Djiwa menyebut nama Inggrit. Ia sungguh tidak menyangka Radja akan semarah itu hanya karena dia menyebut nama istrinya. Padahal dia memang benar-benar bertanya. Jika iya, beruntung sekali Inggrit bisa mendapatkan pria seperti Radj
Tangan Radja menahan pergelangan kaki Djiwa agar tetap terbuka. Sementara pinggulnya menghantam masuk lagi dan lagi, cepat, dalam, tanpa ampun. “Ahh ... Mas ... pelan-pelan dulu ....” desah Djiwa yang nyaris terdengar seperti tangisan anak kecil. Tapi bukannya melambat, Radja justru menunduk, menggigit bahunya dan semakin menghentakkan pinggulnya keluar masuk lebih keras lagi. Radja tidak menyangka dirinya bisa terpikat pada Djiwa—bukan hanya pada wajah atau sikapnya, tetapi pada keberadaannya meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang. Ada sesuatu yang berbeda sejak pertama kali dia menyentuh Djiwa. Seperti rasa yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Bukan sekadar ketertarikan, tapi efek yang menempel lama di kepalanya—seolah tubuhnya mengingat setiap sentuhan yang pernah terjadi. Dalam diam, Radja menyadari satu hal, dia mencicipi sesuatu yang tidak pernah jadi miliknya, namun justru membuatnya ingin memiliki sepenuhnya. Ada ego yang terusik. Ada naluri yang bangkit. Ada ras
“Mas udah, ini kebanyakan,” keluh Djiwa sambil menahan tangan Radja yang lagi-lagi meraih pakaian lain yang tergantung rapi di deretan butik mewah. Mereka sudah berpindah dari Markthal ke sebuah mall besar di Rotterdam setelah makan siang, dan Radja seolah benar-benar tidak punya rem. Long coat baru? Diambil. Tas kulit branded? Masuk ke keranjang. Heels berbagai warna? Radja menunjuk dan langsung memanggil pramuniaga. “Kebanyakan?” Radja menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya. “Kamu ke sini cuma bawa satu koper kecil. Mana mungkin saya biarkan kamu jalan-jalan pakai itu-itu terus?” “Mas, tapi … ini semua mahal,” gumam Djiwa, pipinya memanas saat melihat tumpukan barang yang jelas bukan levelnya. “Saya yang bayar.” Radja kembali meraih satu set long coat warna krem yang langsung ia tempelkan ke tubuh Djiwa. “Ini cocok.” Tapi tak hanya satu warna, warna-warna lain juga dia ambil. Djiwa mundur setengah langkah. “Mas, serius, jangan semua dibeli.” Radja mendekat, menurunkan suar
| +31 Hari ini saya mengikuti suami Anda untuk bertemu kolega bisnisnya. Inggrit membaca pesan dari mata-mata yang dia perkerjakan untuk mengikuti Radja dan Djiwa ke Belanda pagi itu, saat dia bangun pukul tujuh pagi. Berarti di sana pukul sebelas siang. Tapi sekarang Inggrit tidak begitu tertarik lagi. Dia sudah mempercayakan semuanya pada Djiwa, lebih tepatnya pada Sekar. Ibu mertuanya mengkonfirmasi menurut info yang didapatkan dari Djiwa kalau Radja tidak memiliki wanita lain, melainkan hanya diam-diam menggunakan obat terlarang. “Tapi Mas Radja nggak kelihatan kayak orang yang make narkoba, sih,” celetuk Inggrit bingung. “Badannya juga masih keker, nggak kayak pengguna biasanya. Suka jaga diri, rapi, dan ya, gak ada vibe orang yang pakai barang aneh. Tapi ... ah sudahlah,” ia mendesah berat. “Asalkan Mas Radja gak terpantau punya ani-ani aja. Kalau sampe punya,” tangannya mengepal erat di atas pangkuan, matanya menyala penuh amarah. “Aku bakal labrak dia.” “Mama ....” ser
Djiwa tak bisa menahan suara desahan yang keluar dari mulutnya ketika bibir Radja mencium belahan dadanya. Pelan, namun mampu membuat seluruh tubuhnya panas. Tangannya mencengkram karpet dibawahnya, tubuhnya menegang saat bibir Radja mulai bergerak—turun, menyapu kulit dadanya dengan sentuhan lembut tapi membakar. Dan ketika akhirnya lidah Radja menyentuh puncak payudaranya yang menegang, tubuh Djiwa tersentak halus. Menggeliat sambil mengangkat kepalanya gelisah. “Mashhh ....” napasnya tercekat di tenggorokan. Radja tak menanggapi, tapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Saat pinggulnya menghentak dengan gerakan keras di bawah sana, lidahnya menyapu puting payudara Djiwa yang mengeras. Lidahnya membuat puncak itu basah dengan gerakan memutar, lalu mulutnya menyatu di sana dalam kuluman—mengisap, menggigit dan meninggalkan jejak melingkar di sana. “A—ahh ... Mas,” tubuh Djiwa bergetar. Radja terus bermain, sampai suara decakannya terdengar. Kadang menggigit ringan, kadang mengisap







