“Makan apa, Bii?” tanya Langit saat mereka masih di atas motor. Biru berpikir sejenak. Ia sebenarnya ingin mengajak Langit ke tempat makan yang mahal sekalian. Tapi gadis itu tahu sebenarnya tidak berguna untuk membuat pemuda itu merasa malas atau risih dengannya. Toh tanpa kerja pun, uang jajannya masih berada di dua digit angka. Biru ingat Gita pernah sedikit menyinggung kalau mereka memang selalu kekurangan kasih sayang, tapi tidak dengan uang.“Pecel lele tempat biasa aja. Gua pengen makan ayam goreng.” Biru agak mengeraskan suaranya dan sedikit memajukan tubuhnya agar terdengar Langit. Pemuda itu merespon dengan sebuah anggukan. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang tidak terlalu ramai ini.Seperti dugaan Biru, sesampainya mereka di tempat makan itu, pusat perhatian otomatis tertuju pada mereka. Bahkan Biru dengan sengaja menempel Langit dan merangkul lengannya. Beruntung dirinya memakai masker meskipun masker itulah yang menjadi daya tarik perhat
Mencintai seseorang itu terkadang tanpa alasan, tapi terkadang juga beralasan. Bagi Langit, mencintai seseorang tanpa alasan memanglah hal yang indah, bahkan terkesan sangat indah. Akan tetapi, Langit juga percaya bahwa sebenarnya setiap manusia tertarik pada lawan jenisnya pasti memiliki alasan permulaan. Entah karena kehadiran sosok itu terlalu bersinar, karena senyumannya begitu menawan, atau karena sebatas karya yang dihasilkannya dapat mempertahankan keinginan untuk hidup lebih lama. Karena itulah banyaknya industri entertainment yang memakai pendekatan ini untuk menarik fansnya. Entah dengan membagikan kisah pilu yang bisa dirasakan oleh banyak orang, atau yang terburuk mengarang agar cerita itu terkesan benar-benar terjadi. Lalu dari sana, diberikan berbagai potongan-potongan kata penyemangat yang membuat siapa pun targetnya merasa kalau mereka tidak sendiri dan terus disemangati dari jauh.Itulah yang setidaknya terjadi pada Langit. Pemuda yang baru saja kehilangan beberapa al
“Tapi lo yakin kalo penantian lo ini nggak sia-sia? Gua kenal Biru lumayan lama, jadi gua tahu banget gimana sifat dia. Gua tahu kalo sebenernya dia bener-bener serius waktu bilang mau punya seseorang yang jauh lebih tua dari dia. Karena, selain buat alasannya melarikan diri kalau-kalau dicecar pertanyaan kapan menikah, dia juga berharap kalau dapet laki-laki yang lebih dewasa darinya itu bisa benar-benar bertanggung jawab. Bahkan sebenernya dia itu ngerasa skeptis sama laki-laki dan hubungan pernikahan, apalagi ketambahan si brengsek Alfa itu. Gua makin nggak yakin gimana dia menyikapi sosok laki-laki di hidupnya.”Langit tak langsung menjawab. Tangannya menggenggam tangan Biru yang dibalut kasa untuk menahan infus dengan lembut. Sialnya, dia tidak yakin apakah bisa menyerah pada gadis yang masih menutup matanya ini,“Gua sadar kok, Kak. Tapi gimana, ya? Kalau Biru emang udah punya seseorang, mungkin gua bisa menyerah sama dia. Tapi kalo masalahnya adalah karena usia yang ada sangkut
Karena dipaksa oleh Gita dan juga Biru, siang itu Langit akhirnya keluar untuk mencari makan, ditemani oleh Dika yang juga menjenguk Biru. Mereka berdua sudah cukup akur sebagai calon ipar. Mungkin karena keduanya sudah saling mengenal sejak lama, bahkan sebelum kakaknya bertunangan dengan Dika.“Bang, kalo kondisinya saat ini dituker, apa yang bakal lo rasain?” tanya Langit secara random saat mereka sedang menunggu makanan datang. Dika juga kebetulan belum makan, jadi sekalian dirinya makan siang. Kalau Gita sendiri, dia memilih menitip lontong pecel pada mereka berdua.“Dituker gimana maksudnya? Gua jadi lo, gitu? Atau gua jadi Biru? Kalo ngomong yang jelas ngapa.”Langit memutar bola matanya. “Yee, ya nggak gitu, Bang Dika. Maksudnya kalo lo jadi gua dan Kak Gita yang lagi di posisi Biru. Lo bakal ngerasain apa?”“Ih, mit amit jabang bayi. Wah adik durhaka ini malah doain kakaknya yang nggak-nggak. Gua laporin Gita loh nanti.” Dika mengatakannya dengan wajah serius.“Nggak gitu mak
Sebelum bertemu dengan Gita dan Langit, masa di mana harus dirawat di rumah sakit adalah salah satu hal yang paling Biru tidak sukai. Karena saat itu, Biru benar-benar merasa ia sendirian di dunia yang luas ini. Bahkan sekalipun majikannya saat ia masih menjadi ART sesekali menjenguknya, Biru masih merasa kesepian. Ingar-bingar dari keadaan sekitar, dari keluarga pasien yang saling berbincang, suara-suara alat yang ada di sekelilingnya, brangkar yang didorong oleh perawat, tangisan anak-anak yang tantrum karena merasa bosan atau ingin jajan, bahkan suara tangisan orang yang baru saja kehilangan orang tersayang makin menyudutkannya dalam ruang kosong tak terlihat, disudutkan dalam kesendirian, dan berakhir membawanya pada sebuah keinginan untuk menghilang. Keinginan untuk mengakhiri hidup sudah sering menghampirinya dan sering pula ia tergoda untuk melakukannya, tapi selalu dicegah akal sehatnya. Berkali-kali kegagalan dalam hidup juga membawanya semakin terupuruk sampai ia merasa nyar
“Kamu tahu ada sesuatu antara Biru sama Alfa, nggak?”“Eh, bentar. Yang kontrak itu kan, Kak?”Gita mendesah. Ia bingung harus bertanya dari mana. Tapi firasatnya mengatakan kalau Via pasti tahu sesuatu.“Kalo itu mah udah jelas kamu tau. Hal lain yang baru. Alasan kenapa sampe laki-laki kampret itu ke sini. Soalnya kondisinya Biru sekarang lagi nggak bagus banget ini.”Bukannya menjawab, Via malah bertanya balik dengan nada terkejut.“Hah, laki-laki itu ke sana? Ngapain? Nggak, bentar! Apa alasan ini adalah alasan yang kuat buat dia datengin Kak Biru?”“Alasan apa?” todong Gita yang sudah tidak sabar.“Kakak buka tweeter aja. Punya, kan? Jadi fans nya Kak Biru ada yang sadar pas baca buku barunya laki-laki itu. Karena Kak Biru ini kalo nulis kan punya ciri khasnya tersendiri. Apalagi fans setianya Kak Biru pada tahu kalo Kak Biru mau nerbitin novel baru. Genre romansa komedi, genre yang jauh banget dari yang biasa dibawa sama Kak Biru. Makanya fansnya pada nungguin itu, Kak. Nah, Kak
“Kamu nggak lanjutin sekolah aja? Apa nggak sayang? Kamu masih muda, loh. Jalanmu masih panjang banget,” ucap seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang duduk di depan Biru.“Nggak, Bu. Buat apa lanjut. Saya udah merasa beruntung banget bisa sampe SMA. Jadi buat apa lanjut sampai ke perguruan tinggi? Mending saya kerja, cari duit.” Gadis itu menjawab dengan percaya diri. Hari ini adalah hari wawancara kerja pertamanya sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah besar. Yayasan tempatnya tinggal juga menyediakan jasa penyalur pekerja, jadi Biru secara langsung dicarikan pekerjaan oleh yayasannya. Bisa dibilang ini terakhir kalinya Biru berhubungan dengan yayasan yang mengurusinya. Ia tidak memiliki kenangan baik dengan yayasan tersebut.“Memang kamu nggak punya mimpi yang pengen kamu capai?” tanya wanita itu lagi.Biru menggeleng. “Mimpi saya nggak muluk-muluk, Bu. Saya cuma mau hidup mandiri, menghasilkan uang sendiri. Habis itu mungkin kalau ketemu jodoh ya menikah, kalau ngga
Pak Abdi memperhatikan Biru dan Arakata yang asyik berbincang. Sesekali Biru menanggapi dengan serius Arakata yang antusias bercerita. Bahkan gadis itu ikut tertawa saat dirasa apa yang diceritakan Arakata adalah hal yang lucu.Saat keduanya sudah lelah bercerita, terutama Arakata, Pak Abdi berdiri dan mendekati putrinya itu.“Kamu laper nggak, Nak? Kalo laper beliin Ayah pecel di depan, tolong. Ayah laper ini. Tadi soalnya ayah lihat di depan ada yang jualan pecel kok jadi pengen. Sekalian kamu juga beli makan kalo laper.” Pak Abdi menyerahkan selembar uang berwarna merah. Gadis itu menerima uangnya dengan senyum semringah.“Adek beli jajan juga ya, Yah? Ada banyak makanan di depan,” sahut gadis itu antusias.“Iya, beli aja sesuka adek. Asalkan dihabisin makanannya.”“Horeee!” soraknya bahagia. Ia menoleh ke Biru yang tersenyum melihat tingkah polah adiknya itu. “Kak Biru mau mesen, nggak?” tanyanya kemudian.Biru menggeleng. “Nggak, Dek. Kak Biru belom boleh makan sembarangan soalny