Mereka berempat sudah berkumpul di ruang tamu dengan nasi goreng yang telah tersaji di depan mereka. Biru dengan santai langsung duduk di lantai dengan nasi goreng yang ada di atas meja, Langit mengikuti Biru. Sementara dua sejoli yang baru selesai mengibarkan bendera putih dan menandantangi perjanjian perdamaian perang itu kini sedang suap-suapan, seolah badai kemarin tidak pernah terjadi.“Bii, tomat sama timunnya nggak dimakan?” tanya Langit saat melihat Biru yang selalu mengecualikan dua komponen itu saat menyuapkan nasi gorengnya.“Nggak suka. Lo mau?” tanya Biru sembari menggeser piringnya ke arah Langit.“Mau. Buat aku, ya?”“Ambil aja. Toh nanti juga gua buang karena nggak kemakan,” ucap Biru santai. Langit segera menyendokkan dua potong timun dan sepotong tomat ke piringnya. Sebagai gantinya, ia memberikan telur goreng miliknya ke piring Biru.“Eh, buat apa?” tanya Biru bingung.“Buat kamu makan, lah. Buat apa lagi.”Biru menunjuk sebuah telur goreng miliknya yang sudah terp
“Omongan orang itu kadang pedesnya nggak kira-kira, ya? Bahkan level terpedes seblak ini aja nggak ngalahin pedesnya omongan orang,” celetuk Biru tiba-tiba. Seolah tak peduli dengan apa yang baru dibicarakan, gadis itu kembali menyeruput kuah seblak yang kental dan merah itu. Ia mengiris sebuah bakso dan melahapnya bersamaan dengan kerupuk yang telah lembek di kuah.“Merah banget, Kak. Level berapa itu?” tanya Via penasaran.“Level delapan. Yang paling pedes pokoknya.” Biru santai.“Bahkan sesukanya aku sama pedes, level pedesku di seblak ini mentok di level enam loh, Kak. Kakak yakin lambung bakal kuat?” tanya Via khawatir. Biru menaikkan bahunya tak peduli.“Dibilangin pedesan mulut orang, kok.”“Seenggaknya kalo mulut orang yang pedes, paling cuma ati doang yang nyut-nyutan. Telinga ditutup juga nggak kedengeran omongannya, Kak. La kalo udah lambung yang kemusuhan sama pedes? Bisa-bisa auto opname nanti.” Gadis itu khawatir. Biru menepuk pundak Via.“Insyaa allah aman. Semoga aja.
Kata siapa menjadi dewasa itu menyenangkan? Semakin dewasa, semakin banyak tanggung jawab yang harus dipikul. Semakin banyak pula keinginan-keinginan yang harus dikorbankan demi sebuah kebutuhan. Langit menyadari hal ini dengan pasti. Kalau saat dulu ia masih bisa merengek setiap menginginkan sesuatu, kini ia hanya bisa memendam semuanya dan mengusahakan sendiri. Sebenarnya, ia bisa kembali ke rumah, kembali pada kemewahan yang dimiliki orang tuanya. Tapi, Langit menyadari kalau ia melakukan semuanya, berarti ia kalah dari orang tuanya.Memang tidak ada perlombaan di sini. Hanya ada sebuah ajang pembuktian diri yang ingin ditunjukkan Langit pada orang tua yang mengabaikannya selama ini. Meskipun secara lahir ia dan Gita berkecukupan, secara batin ia kosong. Karenanya Langit ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi seorang dewasa yang mandiri tanpa bantuan orang tuanya, kemudian melakukan semua yang ia suka, termasuk mencari pasangan. Sebab, orang tuanya seolah tidak belajar dari pengal
Tiga minggu adalah waktu yang lumayan mepet untuk mereka mengurusi segala macam persiapan menikah. Mereka berdua sepakat untuk mengadakan intimate wedding, sehingga yang dipersiapkan juga tidaklah banyak. Mereka hanya mengundang orang terdekat, beberapa kolega dan rekan kerja. Sebenarnya undangan juga diberikan untuk keluarga besar Gita. Tapi, mereka tidak berharap banyak kalau keluarga sang pengantin wanita akan datang. Sementara dari pihak pengantin pria sendiri, hanya tersisa neneknya yang kini menjadi satu-satunya orang yang duduk di kursi orang tua atau wali sang pengantin. Di hadapan penghulu, Dika dan Gita sudah duduk bersebelahan. Gita terlihat anggun dengan balutan kebaya putih dan bawahan batik berwarna coklat. Rambutnya disanggul dengan untaian melati yang terpasang di sanggulnya dan menjuntai ke samping. Dika juga terlihat gagah dengan jas dan bawahan berwarna abu-abu yang membalut kemeja putih yang dipermanis dengan dasi kupu-kupu. Di atas kepala keduanya, sebuah kain ve
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus
Gerimis datang dengan ringan. Cuaca juga sendu, cuaca yang sangat cocok untuk menikmati semangkuk mi instan rasa soto dengan potongan cabai rawit dan telur di dalamnya. Rasanya, menyeruput kuahnya yang segar dan hangat menjadi impian para budak korporat yang masih bergelung dengan pekerjaan mereka yang menggunung.“Biarkan aku bergelung di selimut …” desah Biru dengan nada lelah. Gita yang sedang menikmati coklat panasnya melirik kawan baik sekaligus rekan kerjanya itu dengan tatapan malas.“Makanya, kalau dikasih deadline jauh tuh langsung kerjain!! Udah tahu masih punya tanggungan tiga bab, malah Netflix-an, bacain manhwa, nontonin anime. Kan kaya gini lo yang keteteran,” omel Gita dengan nada menggebu-gebu. Biru tak menjawab. Ia hanya mendesah sembari menelungkupkan kepalanya di atas meja. Layar Microsoft word di hadapannya menampilkan jejeran kata penuh. Ia baru menyelesaikan satu setengah bab dari tiga bab yang harus ia setorkan hari ini.“Git, minta, dong.” Biru mengangkat
Apa kamu tahu cuaca paling enak untuk bermain-main di laut? Yaitu saat mendung tersebar rata, tapi hujan tidak turun. Setidaknya, bagi Biru, itulah yang paling indah. Laut biru. Saking sukanya dengan laut, Biru menggunakan unsur laut untuk menjadi nama penanya. Oceana Biroe. Lucu, ya? Tapi Biru menyukainya. Biru menatap hamparan laut di hadapannya. Biru berkilauan, dengan angin laut yang menerbangkan anak rambut yang tak bisa dikucir. Karena rambutnya yang pendek sebahu, dengan model potongan mulet, Biru tidak bisa memastikan semua helainya disatukan dalam karet rambut.Hari ini ia sedang berjalan-jalan di Pulau Pahawang, salah satu destinasi yang berada di provinsi Lampung. Biru memasukkan kakinya ke dalam air dengan duduk di dermaga sembari menikmati semilir angin. Otaknya merangkai berbagai kemungkinan untuk alur novel selanjutnya. Sesekali ia menghela napas kalau dirasa alur di kepalanya terlalu aneh. Lalu kemudian, kembali menyusun alur gambaran kasar di imajinasinya.Suara r
Gita menatap Langit dengan tajam. Seolah ia meminta Langit untuk menjelaskan padanya tentang apa yang terjadi. Biru menatap keduanya bingung.“Kalian saling kenal?” tanya Biru heran.“Dia adek gua. Yang gua ceritain adek nggak punya akhlak itu.”Biru ganti menatap Langit.“Kok lu nggak bilang kalo lu adeknya Gita?”“Kakak nggak nanya.”“Gantian gua yang nanya. Kok kalian kenal?” Gita juga ikut bertanya karena merasa tidak tahu apa-apa.“Kita ketemu di Pahawang kemarin. Waktu gua sama temen-temen lagi jalan-jalan buat foto-foto wisuda.”Gita menarik napasnya, lalu mengembuskan perlahan. “Kok lu tadi nggak bilang kalau lu udah pernah ketemu Biru?”“Kan Kakak nggak nanya. Lagian, biar surprise aja.”Refleks, Gita menjitak adiknya karena merasa dipermainkan. Dia tahu Langit sudah lama menyukai Biru, bahkan sebelum keduanya bertemu hanya karena tanpa sengaja melihat dari foto. Tapi, Gita juga memahami Biru tidak menyukai Langit karena usia mereka. Selain itu, Gita sudah sedikit