Suasana ruang internet di kampusku cukup ramai. Banyak mahasiswa yang sedang mencari bahan kuliah, karena saat ini memang pertengahan semester. Aku termasuk diantaranya. Namun hanya sedikit literatur yang kudapat. Kuputuskan untuk berhenti mencari lalu membuka email. Saat itulah aku tahu bahwa Santi mendapat info tentang pertunanganku.
Entah dari mana dia mendapat informasi tersebut karena bahkan semua teman kuliahku tidak ada yang kuberi tahu. Tapi setelah kupikir situasi ini lebih baik bagiku. Setidaknya aku tidak memiliki beban moril saat berjumpa dengannya.
Aku tidak membalas email Santi. Dan kurasa dia juga tidak mengharap balasan, hanya sekedar informasi bahwa dia tahu. Kami sudah mengerti satu sama lain tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata, termasuk tulisan. Jadi aku tetap tidak mengundangnya ke acara pertunanganku.
Aku segera pamit untuk pergi ke toko perhiasan. Seperti saran mama, sebaiknya aku tidak menunda kepergianku. Setelah menjual kalung itu dan merasa dana yang kumiliki cukup, aku langsung menghubungi pesantren di Geger Kalong. Kebetulan Ahmad Mustofa sudah memiliki passport sewaktu ada kunjungan ke negara tetangga. Tapi untuk ke Australia aku membutuhkan visa dan agar pengurusannya mudah maka aku butuh rekomendasi. Kebetulan pesantren punya cabang di sana dan memang ke sanalah tujuanku, ke tempat di mana Hana mengabdikan hidupnya.Pihak pesantren berjanji mengirimkannya besok pagi melalui email. Aku lalu pergi ke ruang komputer untuk mengisi form kunjungan untuk esok. Seolah semua jalanku dimudahkan Allah, pagi hari aku mendapat surat rekomendasi pesantren dan siangnya aku sudah membayar biaya pembuatan visa. Dua hari kemudian permohonan kunjunganku disetujui lalu aku pergi ke travel agent. Karena aku tak ma
Kuperhatikan tempat makan pria dan wanita terpisah, sehingga aku tidak mungkin berbicara dengannya sambil menyantap makanan. Satu-satunya cara adalah saat mengambil minuman. Aku menunggunya sebentar, lalu bergerak cepat menghampirinya saat dia menuju meja tempat minuman dihidangkan."Halo Hana, masih ingat denganku?"Dia terkejut saat aku menyapanya dan hampir saja menjatuhkan minumannya saat melihatku."Kamu.... bagaimana kamu bisa berada di sini?" Hana bertanya dengan gugup seolah melihat hantu."Sebenarnya aku ingin jalan kaki ke sini, tapi karena jauh dan harus menyeberangi samudera akhirnya aku memilih naik pesawat." Aku menjawab sambil bercanda untuk mencairkan suasana.Usahaku berhasil. Hana tersenyum, lalu melanjutkan
Cuaca siang hari di kampus Grogol terasa sangat panas. Berbeda dengan kampus Depok, di sini sudah banyak gedung bertingkat sehingga jarang ada pepohonan. Ditambah lalu lintas sekitar yang ramai dengan kendaraan, membuat suasana jadi bising.Aku melangkah cepat-cepat untuk memasuki gedung. Selain karena cuaca panas, aku juga tidak mau Sisca melihatku. Tapi sepertinya dia tadi melihat ke arahku, entahlah apakah dia mengenaliku atau tidak.Les bahasa arab dilaksanakan di gedung kelas ber-AC. Pesertanya tidak terlalu banyak sehingga ruang yang disediakan tidak besar. Karena materi yang disampaikan juga sedikit, aku bisa menyelesaikannya saat adzan ashar.Aku meninggalkan kampus Sisca setelah shalat. Kuperhatikan sekilas mobil yang diparkir, aku tidak melihat mobilnya. Mungkin dia parkir di tempat lain atau bahkan sudah
Hari sudah menjelang sore. Semua dokumen yang perlu ditandatangani sudah habis. Aku tidak tahu lagi pekerjaan apa yang bisa kulakukan. Jadi untuk mengisi kekosongan aku mulai mengerjakan tugas kuliahku. Tepat pukul lima sore baru aku kembali ke rumah. Saat itu suasana kantor masih ramai karena masih banyak karyawan yang belum pulang.Malam harinya, setelah makan malam dan shalat, praktis aku tidak memiliki kegiatan apapun. Tugas kuliah sudah kuselesaikan tadi di kantor. Akhirnya aku putuskan untuk membuka laptop, apalagi di kluster ini juga tersedia wifi. Aku terpikir untuk mendaftar ke facebook, sesuatu yang sudah lama aku inginkan tapi belum kulakukan karena keterbatasan akses. Aku tertarik memilikinya setelah temanku bercerita, dia bisa terhubung lagi dengan teman lamanya melalui facebook. Siapa tahu aku bisa terhubung lagi dengan teman-teman sekolahku.Aku
Suasana kantor yang tadinya gaduh sudah tenang. Petugas keamanan sudah membawa si pembuat onar. Karena belum waktu pulang kantor, karyawan yang lain kemudian melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.Aku tertegun mendengar penjelasan sekretarisku. Ternyata aku sendiri yang memecat karyawan tersebut, tanpa diberikan uang pesangon. Aku berpikir sejenak untuk memperbaiki kesalahanku dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jadi aku meminta sekretarisku mengundang karyawan tadi untuk datang besok siang serta membuat jadwal meeting dengan seluruh manajer sore harinya.Malam harinya aku mengirim pesan kepada Santi. Dia kuliah di kampus ternama, pasti banyak mengenal orang yang berpengalaman di bidang yang kuperlukan. Sayangnya dia sedang tidak online dan pesanku tidak dibalas. Aku putuskan untuk menuliskan nomor HP ku dan memintanya menelep
Suasana rapat langsung ramai. Ada yang berbicara perlahan dengan rekan sebelahnya, ada juga yang hanya semacam menggerutu tidak jelas. Aku biarkan situasi itu beberapa saat, sambil menunggu apakah akan ada yang berani memprotes. Tapi sampai suasana tenang kembali, tidak ada yang berani berbicara.“Baik, itu saja. Ada yang mau didiskusikan?” Aku bertanya setelah beberapa saat tidak ada suara di ruang rapat. Kutunggu beberapa saat, tapi memang tidak ada yang merasa perlu membantahku. Toh memang permintaanku wajar seperti halnya perintah pimpinan pada umumnya.“Baik. Jika tidak ada yang mau didiskusikan, kita bisa tutup agenda rapat kali ini. Saya harapkan kerjasama dari Bapak/Ibu agar perusahaan ini bisa semakin baik. Saya tak ingin mengecewakan papa dan Om Sukoco.” Aku sengaja menyebut nama mereka berdua di akhir perkataanku, untuk menega
Suasana kantor masih sepi saat aku tiba. Sebagian besar karyawan masih belum kembali ke meja kerjanya. Wajar saja, karena memang jam istirahat siang belum selesai. Aku tiba lebih awal dari biasanya. Kelas terakhir lebih cepat selesai karena dosenku ada urusan keluarga. Baru kali ini aku shalat dzuhur di masjid dekat kantor. Aku langsung ke meja sekretaris untuk mengambil makan siang. Aku sudah menghubunginya agar menyiapkan makan lebih cepat, tapi tidak perlu menunggu aku datang jika ingin istirahat. Kuambil makan siangku lalu masuk ke ruang kerja. Saat mau duduk, aku melihat sesuatu yang asing di meja kerjaku. Bentuknya hanya secarik kertas terlipat, tapi seharusnya tidak ada apa-apa di situ kecuali ada orang yang sengaja meletakkannya untuk meninggalkan pesan. Benar saja, itu pesan peringatan. "Sebaiknya Anda berhati-hati. Anda masih sangat muda."
Mobil di depanku sudah kembali berjalan karena lampu sudah hijau. Putri Kang Asep cukup jauh dari mobilku, jadi kuputuskan untuk tidak menghampirinya. Nanti saja dari Geger Kalong aku mampir ke rumahnya, pikirku. Setiba di Geger Kalong aku katakan pada papa bahwa aku tidak ikut kajian sore karena akan mengunjungi teman. Sudah beberapa kali ini papa ikut kajian sore tanpa kuminta. Aku rasa papa akan tetap pergi ke sini meski aku tidak ikut bersamanya. Aku pergi ke rumah Kang Asep menggunakan ojek. Jalanan Bandung di sore hari cukup ramai, dan aku ingin kembali lagi ke sini sebelum malam. Benar saja perkiraanku, motorku melewati jejeran mobil-mobil yang sedang menuju kota. Dengan demikian aku telah menghemat waktu berjam-jam. Bapak tukang ojek hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk mengantarku ke rumah Kang Asep. K