Share

BAB 6. Penjaga Toko Buku

Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.

Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata.

"Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."

Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya.

"Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"

"Ini tidak hanya tentangku, tapi melibatkan orang yang telah mempercayaiku. Jika barang yang hilang bisa diganti, suasana kantor akan kembali seperti semula. Jika tidak, namanya akan terus tercemar. Saya melakukan ini atas permintaannya sebagai bentuk tanggung jawabku."

Aku dipandangi lekat-lekat, sekilas seperti pandangan kagum. Tapi bagaimana mungkin seorang kepala unit pesantren besar mengagumi gelandangan sepertiku.

"Jadi inilah yang dilihat stafku, sehingga dia mau memperjuangkan permintaanmu. Ya, sifat itu sudah bisa terlihat ketika pencurian itu terjadi. Jika mau pergi, kamu bisa melakukannya saat itu juga. Tidak perlu repot-repot mengajukan pinjaman terlebih dahulu. Namanya amanah, salah satu sifat nabi."

Aku tak bisa menahan tawa mendengarnya. Tapi kulihat dia serius dengan perkataannya jadi aku hanya mengucapkan terima kasih. Kemudian dia melanjutkan.

"Saat kedua stafku berargumen tentangmu, saya jadi teringat kisah dua malaikat yang berdebat tentang status pembunuh yang ingin bertobat. Makanya saya sangat ingin berbicara langsung denganmu. Saya mau menilai statusmu. Dan sekarang saya sudah puas. Pengajuan pinjamanmu disetujui, jadi sekarang terserah padamu akan melanjutkan proses ini atau tidak."

"Demi nama baik Kang Asep, saya rela dipenjara di pesantren ini," jawabku.

Pak Kepala mengambil selembar kertas di mejanya. Sambil menulis dia melanjutkan penjelasannya.

"Dengan nilai pinjamanmu, kamu harus bekerja di sini selama 3 tahun. Kami menyediakan asrama dan makan 3 kali sehari dan beberapa baju seragam, tapi kamu tidak akan digaji. Seluruh gajimu akan digunakan sebagai cicilan pembayaran pinjaman, apakah kamu setuju?"

Aku mengangguk. Tawaran itu sama sekali tidak buruk. Tempat tinggal dan makan gratis. Boleh jadi lebih baik dari menjadi pengamen jalanan. Memang tidak ada karir di sini. Sementara tidak apa, aku akan memikirkannya 3 tahun lagi.

"Satu hal lagi, kami tidak memaksa santri untuk beribadah karena agama melarangnya. Yang ada hanya kegiatan untuk pembinaan, yang wajib diikuti. Yang bisa kami lakukan hanya mengkondisikan fisik, tapi tidak dengan hati. Itu dibawah kuasa ilahi."

Selesai berbicara Pak Kepala memberikan kertas yang telah ditulisnya. Ternyata itu adalah memo untuk kepala asrama yang memintanya menyediakan satu kamar untukku. Aku berterima kasih dan menjabat tangannya, sepertinya hal itu sudah menjadi tradisi di pesantren ini.

Aku melangkah ke luar ruangan lalu menutupnya. Saat melewati ruang tempat formulir, staf yang melayaniku menyapa dan bertanya.

"Gimana kang, disetujui?"

Aku tidak menjawab, hanya menunjukkan memo yang kubawa. Dia tersenyum dan berkata lagi.

"Selamat bergabung, semoga betah ya."

Kuucapkan terima kasih atas kepercayaannya padaku. Lalu aku bertanya jalan menuju asrama. Ternyata asrama terletak agak jauh dari masjid, di luar kawasan pesantren. Butuh waktu sekitar 10 menit untuk berjalan kaki ke sana. Tiba di sana aku menemui kepala asrama dan menyerahkan memo yang kubawa. Dia membaca sebentar, kemudian memanggil anak buahnya. Aku lalu diminta mengikuti orang itu menuju kamarku.

"Gedung asrama memiliki 2 bangunan, masing-masing bangunan terdiri dari 3 lantai. Bangunan pertama disewakan untuk umum. Bangunan kedua untuk santri yang bekerja di pesantren. Penghuninya relatif lebih lama bahkan ada yang sampai bertahun-tahun." Pengurus asrama menjelaskan sambil mengantarku.

Sambil berjalan aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sinilah aku akan tinggal selama 3 tahun ke depan. Tempatnya cukup nyaman, bersih dan ada pohon-pohon rindang di area yang tidak dibangun. Udara Geger Kalong memang sejuk. Aku harus mulai terbiasa dengan udara dingin di malam hari.

"Lantai 1 digunakan untuk asrama wanita, pria ditempatkan di lantai 3. Untuk lantai 2 bisa digunakan untuk pria atau wanita, tergantung keperluan." Penjaga itu melanjutkan penjelasannya. Setelah kami sampai di depan tangga dia menyerahkan kunci kepadaku dan mempersilahkan aku untuk ke sana. Nomor kamar digantung pada kunci jadi aku tak akan masuk ke kamar yang salah.

Setelah tiba di kamar aku langsung merebahkan diri di atas ranjang. Isi kamar itu hanya dua, ranjang dan lemari pakaian. Tapi bagiku, yang sudah lama menggelandang, memiliki ranjang dan lemari merupakan kemewahan tersendiri. Kumasukkan semua baju pemberian Kang Asep ke dalam lemari kemudian kuletakkan tas ranselku di atasnya. Lalu akupun pergi mandi dan beristirahat sebentar.

Suasana asrama sangat sepi nyaris tak terdengar suara apa-apa. Wajar saja, ini adalah asrama pekerja di siang hari bukan di akhir pekan. Barulah saat adzan berkumandang ada aktifitas terdengar. Ada suara pintu terbuka, derap langkah serta obrolan ringan. Aku penasaran apakah ada yang akan menjemput ke kamarku. Kutunggu sampai hampir satu jam ternyata tidak ada siapapun yang datang. Ternyata benar, tidak ada paksaan dalam agama.

Tepat pukul satu ada orang yang mengetuk kamarku. Aku bertanya dalam hati, mungkinkah ini petugas patroli yang akan memberikan sanksi kepada santri yang tidak datang ke masjid. Kubuka pintu kamarku, ternyata yang datang adalah penjaga asrama yang tadi mengantarku.

"Maaf kang, tadi saya lupa menjelaskan lokasi tempat makan. Takutnya akang tidak tahu. Ayo saya antar, saya juga mau makan nih."

Petugas asrama itu menungguku mengunci pintu baru setelah itu berjalan mendahului. Aku mengikutinya dengan agak malu, karena hanya keluar untuk makan tapi tidak untuk shalat. Tempat makan sepi pada siang hari karena ternyata ada pilihan apakah ingin makan di asrama atau diantar ke tempat kerja.

Selesai makan aku kembali ke kamarku. Aku sudah mulai bosan saat adzan kembali berkumandang. Akhirnya aku putuskan untuk pergi ke masjid untuk mengusir rasa jenuh. Saat kembali, baru saja aku mau naik ke lantai 3, penjaga asrama datang menghampiriku. Kepala asrama mencariku, katanya.

Aku menuju ke ruang Kepala Asrama. Ternyata dokumenku sudah siap. Aku tandatangani surat perjanjian peminjaman dana yang disodorkan. Aku ditempatkan sebagai penjaga toko buku. Kunci toko diberikan padaku dan aku diminta mulai bekerja esok pagi. Praktis aku akan menganggur kembali sampai besok pagi, jadi kuputuskan untuk pergi ke masjid setiap waktu shalat. Meski tidak ada paksaan dari siapapun, aku perlu kegiatan untuk mengurangi rasa bosan.

Keesokan paginya aku sudah tiba di pintu toko pada pukul 7. Jam kerja yang ditentukan adalah dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Tapi setelah sarapan dan mandi, tidak ada aktifitas yang ku kerjakan sehingga kuputuskan untuk langsung bekerja. Namun setelah dua jam berada di toko, aku mulai merasa bosan. Belum ada yang datang untuk membeli, bahkan sekedar untuk melihat-lihat. Kegiatanku sama saja seperti di asrama, cuma beda tempat. Dan aku harus menjalani ini selama 3 tahun.

Semua buku yang dijual temanya tentang agama. Sebagian buku karangan Pak Kyai pendiri pesantren ini. Aku tergerak untuk membacanya. Kurasa perlu juga untuk mengerti pemikiran bos besarku itu. Ku mulai membuka buku yang kecil, seukuran saku. Isinya sangat ringan, mudah dimengerti oleh orang awam. Mengajarkan para pembaca untuk berbagi terutama pada kaum yang lemah. Pantas saja ada program pemberian pinjaman yang ku ajukan. Ternyata pemikiran Pak Kyai tidak hanya teori, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Saat adzan berkumandang, aku ragu apakah boleh meninggalkan toko karena saat itu belum waktu istirahat. Ternyata saat aku melihat sekeliling, semua toko ditutup dan penjaganya pergi ke masjid. Langsung saja ku kunci pintu toko dan pergi shalat. Setelah itu aku kembali ke asrama untuk makan siang. Saat mengobrol dengan penjaga asrama barulah aku tahu bahwa Pak Kyai sendiri yang menganjurkan untuk meninggalkan pekerjaan pada waktu shalat.

Begitulah kegiatanku sehari-hari di pesantren ini. Semua buku karya Pak Kyai yang dijual di toko sudah habis kubaca. Akupun mulai suka mendengar ceramahnya. Perlahan kurasakan ada perubahan dalam diriku. Bahkan pernah aku menangis saat mendengar ceramahnya. Mungkin karena aku melihat Pak Kyai adalah orang yang tulus. Apa yang disampaikan dari hati akan masuk ke hati, katanya.

Aku mulai menikmati bekerja di sini, sama seperti saat mengobrol dengan Santi bahkan mungkin lebih. Kurasakan denyut kebaikan di pesantren ini yang bisa menggerakkan semua orang di sekitarnya untuk berbuat baik. Akhlakul karimah bukan hanya teori di sini, tapi langsung dipraktekkan. Itulah yang membuatku tergerak untuk membantu orang lain saat ada kesempatan. Salah satunya ketika kulihat seorang gadis sedang berteduh di depan toko. Saat itu hujan deras dan karena angin cukup kencang, air hujan terbawa juga membasahi gadis itu.

"Masuk saja teh, tunggu di dalam biar tidak basah." Kataku sambil membuka pintu toko. Dia ragu sejenak, namun akhirnya masuk sambil membawa keranjangnya.

Ternyata isinya lontong, masih lumayan banyak untuk ukuran makanan yang dijual sejak pagi.

"Aa mau beli lontong?" Dia akhirnya membuka percakapan setelah beberapa waktu kami hanya terdiam.

"Maaf teh, saya tidak punya uang." Jawabku sejujurnya. Kuperhatikan ada pandangan tak percaya di matanya. Aku tersenyum lalu berkata.

"Teteh pasti tak percaya ya? Saya juga tak percaya teteh menjual lontong untuk mencari nafkah. Coba saya tebak, mahasiswa sebelah kan? Pasti lagi meneliti tentang pedagang asongan."

Dia tersenyum mendengarnya, lalu berkata.

"Yang benar cuma separuh. Saya tidak meneliti, saya ikut program pelatihan kewirausahaan yang diadakan pesantren ini. Kami diminta untuk terjun langsung ke lapangan agar merasakan kesulitannya." Dia menjelaskan tanpa kuminta. Setelah beberapa lama terdiam dia akhirnya bertanya.

"Gantian Aa yang cerita, masa buat beli lontong aja ga mampu. Pasti ada ceritanya."

"Ceritanya cukup panjang, tapi intinya saya di sini karena memerlukan pinjaman dana. Pesantren mau meminjamkan dengan syarat saya bekerja di sini. Semua gaji saya disetorkan sebagai cicilan." Aku tidak menceritakan seluruh kisahku karena merasa belum perlu. Untuk menghindari kemungkinan ditanya lebih dalam aku langsung berkata lagi.

"Kenapa teteh memilih menjual lontong? Pasti bukan karena pintar bikin lontong kan."

Senyumnya semakin lebar, senyum manis yang mencerahkan suasana sore yang suram ini. Dia menjelaskan sambil masih tersenyum.

"Memang kelihatan ya saya ga bisa masak? Saya memang menjual lontong buatan warga sini, cuma ambil untung dari selisihnya. Alasannya sederhana, jika tidak laku lontongnya bisa dimakan sendiri dan bisa dibagikan ke yang membutuhkan."

Sekali lagi aku menyaksikan denyut kebaikan di sini. Rasa ingin berbagi, tidak ada perhitungan untung rugi.

"Tapi sepertinya saya akan gagal di program ini. Sudah satu bulan tidak dapat untung, modal juga sudah hampir habis." Dia melanjutkan ceritanya tanpa diminta.

"Jika boleh usul, teteh jualan buku saja. Karya Pak Kyai banyak dicari pengunjung yang datang ke sini. Apalagi jika bukunya ada tanda tangan penulisnya, pasti laku terjual."

Gadis itu berpikir sejenak dengan raut muka berbinar, sepertinya sangat semangat mendengar usulku. Tapi akhirnya berkata perlahan.

"Saya tidak punya modal untuk membeli buku, apalagi Pak Kyai sangat sibuk susah meminta tanda tangannya."

"Kalo itu tidak masalah. Untuk buku teteh bisa mengambilnya dari toko ini tanpa perlu membayar terlebih dahulu. Untuk tanda tangan nanti saya usahakan lewat manajemen."

Dia memandangiku sejenak sebelum berkata.

"Aa percaya pada saya? Kita kan baru bertemu. Jika saya pergi dan tidak membayar buku-buku itu Aa pasti mendapat kesulitan."

"Teteh tidak perlu khawatir, saya rasa santri di sini tidak akan melakukan kecurangan. Lagipula saya pernah mengalami kesulitan yang jauh lebih berat, tapi justru itu yang membawa saya ke sini. Boleh jadi apa yang kamu benci itu baik untukmu." Aku meyakinkannya dan akhirnya dia pun mengangguk setuju.

Dan begitulah kerjasama kami dimulai. Manajemen setuju untuk meminta Pak Kyai menandatangani beberapa bukunya yang akan dijual. Dan ternyata bisnis ini cukup berhasil. Buku yang memiliki tanda tangan Pak Kyai sangat diminati pengunjung. Dalam waktu satu bulan kami sudah menghasilkan omset jutaan rupiah. Dan aku akhirnya bisa memiliki uang karena sebagian keuntungan penjualan diberikan padaku.

Lucunya, kami tidak pernah berkenalan secara resmi. Aku mengetahui namanya dari laporan list buku yang terjual. Dan dia mengetahui namaku karena aku menuliskannya di memo buku yang dibawa. Namanya Hana, tapi aku tidak pernah memanggil nama itu karena panggilan Aa dan Teteh tetap kami pakai.

Ternyata Hana tinggal di dekat asrama. Beberapa kali aku ke kosnya karena buku yang dibawa cukup berat sehingga aku tak tega membiarkan dia membawanya sendiri. Pernah juga aku mengantarnya karena dia berjualan sampai larut malam. Waktu itu ada pengajian malam dan banyak pengunjung dari luar datang untuk menghadirinya. Lumayan untuk menaikkan omset, katanya.

Tanpa terasa waktu berlalu. Program kewirausahaan telah selesai, dan Hana terpilih sebagai santri terbaik. Ini juga bertepatan dengan libur panjang di kampusnya. Sebelum pulang ke rumahnya, Hana datang ke toko. Dia tidak banyak berkata, hanya mengucapkan terima kasih. Dia mengucapkan dengan nada berat, sekilas kulihat kegundahan di wajahnya. Entahlah, sepertinya selama dua bulan kebersamaan kami ada rasa yang muncul mengiringi hubungan kerjasama kami. Rasa itu memberikan kedamaian di hati. Tetapi rasa itu pula yang membuatku harus pergi meninggalkan tempat ini.

Aku masih ingat sekali urutan kejadiannya. Setelah selesai shalat ashar, saat ingin membuka toko kembali, aku dipanggil oleh manajemen. Aku harus datang secepatnya, kata santri yang diminta memanggilku. Aku bergegas mengikutinya dengan perasaan was-was. Perasaanku tidak enak karena ada kegelisahan di wajah santri itu.

"Ada masalah apa kang? Sambil berjalan aku mencoba mengorek informasi.

"Ada bapak tua datang ke kantor sambil marah-marah. Dia datang mencarimu." katanya sambil terengah-engah.

Aku mencoba menebak siapa orangnya. Tidak banyak orang yang kukenal di kota ini, dan masalah dengan travel sudah selesai. Belum lagi berhasil menerka, aku telah sampai di kantor. Aku melihat bapak itu tapi tidak bisa mengingat siapa dia. Bahkan aku merasa belum pernah berjumpa dengannya.

Pak Kepala SDM memperkenalkan aku padanya. Bapak itu memandangku dengan tatapan marah sambil berkata.

"Jadi ini yang bernama Boi." Setelah itu dia berpaling dariku dan berkata kepada Pak Kepala.

"Aku ingin kalian memecatnya. Dia telah menghamili anakku. Baj*ngan seperti dia tidak pantas bekerja di pesantren ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status