Matahari sudah mulai tinggi. Hampir semua pegawai pool telah datang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Beberapa sopir juga telah tiba. Mereka terkejut ketika mengetahui apa yang terjadi semalam.
Tentu saja yang pertama tiba adalah pak satpam. Dia sangat kaget saat kuceritakan kejadian semalam. Mukanya langsung pucat pasi, untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. Setelah tenang dia langsung masuk kantor dan menelpon pemilik travel. Orang kedua yang dia telpon adalah Kang Asep. Sudah semalaman aku menyusun alasan apa yang akan kuberikan padanya. Namun saat dia datang aku hanya bisa berkata, "Maaf kang, saya telah membuat akang kecewa."
Dan saat ini aku melihat Kang Asep sedang berbicara dengan pemilik travel. Sebelumnya salah seorang pegawai kantor memberikan secarik kertas pada bos. Sepertinya semua barang telah selesai diperiksa. Mungkin kini mereka sedang membicarakan hukuman apa yang akan diberikan padaku.
Aku melihat Kang Asep datang menghampiriku. Mukanya tampak kusut seperti sedang menghadapi masalah yang pelik. Masalah yang kuhadirkan padanya karena kecerobohanku.
"Bos ingin lapor polisi, tapi saya membujuknya agar tidak melibatkan polisi dahulu. Dia setuju asal semua barang yang hilang diganti."
"Berapa nilainya kang?" tanyaku. Kang Asep menyebutkan sejumlah nilai. Jantungku langsung berdegup kencang, dengan penghasilanku saat ini butuh waktu belasan tahun untuk menutupi kerugian itu.
"Sebaiknya lapor polisi saja kang, biar akang gak repot." Kataku akhirnya.
"Tidak, saya tidak mengajakmu ke sini untuk masuk ke penjara. Saya juga tidak bisa membantumu mengganti barang yang hilang. Tapi ada satu cara lain. Di Geger Kalong ada pesantren yang mau meminjamkan orang yang terlilit hutang dan menggantinya dengan bekerja di sana. Saya ada jadwal mengemudi, jadi kamu harus pergi sendiri. Bos memberi waktu 3 hari padamu."
"Baik kang, terima kasih. Saya akan ke sana sekarang. Do'akan ya kang."
Aku bertanya ke penjaga warung depan rute angkot menuju Geger Kalong. Aku memilih tidak naik ojek untuk berhemat karena entah kapan aku bisa menghasilkan uang lagi. Setelah apa yang terjadi, tidak mungkin rasanya aku bermalam di pool lagi. Dan karena gitar itu ditinggalkan di pool, tak mungkin pula aku membawanya.
Dari pool travel aku cukup naik angkot dua kali menuju Geger Kalong. Setelah naik angkot yang kedua, sopir bertanya dimana aku turun. Aku lupa bertanya pada Kang Asep nama pesantren yang harus kudatangi. Dengan ragu aku bilang ke sopir akan turun di pasantren. Sopir itu tidak bertanya lagi. Sepertinya pesantren tersebut cukup terkenal.
Setelah sekitar setengah jam melalui jalan kota Bandung angkot tiba-tiba berhenti. Sopir menjelaskan bahwa aku sudah sampai di jalan masuk menuju pesantren, sambil menunjuk plang yang terpampang jelas. Sepertinya aku ingat nama pesantren ini, memang pesantren yang terkenal bahkan sampai Jakarta.
Aku membayar angkot kemudian turun. Kususuri jalan sesuai petunjuk arah plang tersebut. Tak beberapa lama aku mulai memasuki kawasan pesantren, namun aku bingung mau ke bagian apa. Petunjuk dari Kang Asep memang agak samar. Akhirnya aku bertanya ke petugas berseragam terdekat.
"Punten 'A mau tanya, kalo mau pinjam uang ke pesantren harus ke bagian apa ya?"
Dia kelihatan bingung. Setelah berdiskusi dengan temannya akhirnya dia menyuruhku bertanya ke bagian ZISWAF. Gedungnya terletak persis di sebelah masjid.
Aku segera melangkahkan kaki ke sana. Gedung tersebut terdiri dari 3 lantai. Aku lalu masuk ke gedung itu dan langsung menuju resepsionis. Kutanyakan hal yang sama, dan kembali kulihat wajah yang bingung. Sepertinya program ini tidak banyak yang tahu, mungkin agar tidak sembarang orang mengajukan pinjaman.
Resepsionis itu kemudian menelepon seseorang, setelah itu baru aku diminta ke bagian wakaf di lantai 3. Langsung kususuri tangga menuju ke sana. Di lantai 3 tidak ada resepsionis jadi aku bertanya pada orang pertama yang kutemui. Dia lalu masuk ke suatu ruangan kemudian kembali membawa formulir. Aku diminta mengisinya.
Isian formulir itu langsung membuat kepalaku pening. Mulai dari KTP yang tidak kumiliki sampai pada pertanyaan yang tidak berhubungan seperti apakah aku terbiasa shalat sunnah, jumlah halaman Qur'an yang kubaca per harinya sampai surah terpanjang yang sudah kuhapal. Akhirnya banyak kolom yang tidak kuisi. Kutanda tangani formulir tersebut lalu masuk ke ruangan tempat formulir itu diambil.
Kuketuk pintu perlahan sebelum masuk. Di ruang itu hanya ada dua orang staf, keduanya lelaki. Aku putuskan untuk menghampiri meja terdekat. Saat kudatangi, lelaki itu tersenyum dan menyuruhku duduk. Kuserahkan formulir yang telah kuisi kepadanya. Dia menerima formulir itu, membacanya dan berfikir sejenak baru kemudian menoleh kepadaku.
"Coba ceritakan bagaimana kamu bisa sampai di sini." Pertanyaan yang mirip dengan Kang Asep, jadi kuceritakan hal yang sama ditambah apa yang kualami di Bandung.
"Cerita yang menarik. Baik, datanglah minggu depan untuk mengetahui hasilnya." katanya.
"Maaf kang, jika dalam 3 hari saya tidak bisa mengganti barang yang hilang, saya akan dilaporkan ke polisi." Aku menjelaskan tanpa nada memelas, hanya sekedar informasi.
"Baik, datanglah kembali besok pagi." Dia menyalamiku sambil tersenyum. Cara yang sopan untuk mengusir tamu. Aku menyalaminya dan mengucapkan terima kasih lalu beranjak ke pintu. Namun belum sampai luar ruangan, aku berbalik dan bertanya apakah di sekitar sini ada tempat menginap gratis karena aku tak mampu menyewa penginapan. Dia menyarankan untuk tidur di masjid.
Aku keluar dari gedung itu dan langsung menuju masjid. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, aku kembali bertanya ke petugas berseragam terdekat. Kali ini dia tidak terlihat bingung seperti sebelumnya. Sepertinya banyak orang yang berkunjung ke sini namun tidak mampu menyewa penginapan. Aku diarahkan menuju lantai 2. Benar saja, di sana sudah ada beberapa orang yang membawa tas ransel bahkan koper kecil. Aku langsung mencari tempat kosong dan meletakkan ransel dan merebahkan tubuh. Sejak kejadian semalam aku baru tidur beberapa jam. Setelah semua urusanku selesai baru ku merasa lelah dan mengantuk. Aku tertidur dan baru terbangun saat adzan berkumandang.
Semua orang meninggalkan tempatnya menuju tempat shalat. Aku ragu sejenak apakah akan pergi atau tetap di tempat. Akhirnya aku mengikuti orang terakhir yang turun. Aku sudah cukup punya banyak masalah. Jika ada barang yang hilang pasti mereka curiga padaku.
Setelah shalat aku keluar untuk mencari makan. Hampir seluruh tempat makan penuh. Wajar saja karena ini jam makan malam dan ternyata daerah sini dekat dengan kampus. Akhirnya kuputuskan untuk membeli roti, karena sekilas aku sempat melihat ada tempat air minum gratis di masjid. Lumayan untuk menghemat pengeluaran. Karena tidak ada tempat yang kutuju, kuputuskan kembali ke masjid tapi tidak langsung ke lantai 2 karena mungkin tidak ada orang di sana. Aku baru ke sana lagi setelah selesai shalat dan langsung tidur.
Aku kembali terbangun saat adzan shubuh. Seingatku belum pernah aku bangun sepagi ini. Namun karena semua orang juga terbangun maka akupun ikut shalat bersama mereka. Ini adalah shalat shubuh pertamaku. Setelah shalat aku langsung pergi ke kamar mandi. Penghuni masjid ini cukup banyak, aku tak mau terjebak dalam antrian. Lebih cepat lebih baik, pikirku. Ternyata aku salah. Semua orang memiliki pikiran yang sama. Masing-masing pintu kamar mandi sudah ada yang mengantri. Dan aku baru selesai mandi setelah matahari cukup tinggi.
Karena hari sudah cukup siang, aku keluar masjid untuk mencari sarapan dengan membawa ranselku. Ini adalah sarapan pertamaku yang kubeli sejak aku tiba di kota ini. Setelah sarapan aku berjalan-jalan di sekitar kawasan pesantren sambil menunggu jam masuk kerja.
Tepat pukul 8 aku memasuki gedung ZISWAF. Aku meminta ijin untuk ke lantai 3. Tiba di sana aku langsung menuju ruang tempat aku mengembalikan formulir. Kedua staf itu telah ada. Staf yang kemarin melayaniku tersenyum dan berkata.
"Akang ditunggu pak kepala, dia mau tanya-tanya sedikit. Ruangnya di sudut sebelah kiri."
Aku langsung menuju ke sana. Setelah mengetuk pintu, terdengar suara yang mempersilahkan aku masuk. Dia tersenyum sambil menyodorkan tangannya. Kamipun bersalaman. Setelah itu dia berkata.
"Kamu pasti yang bernama Boi. Saya sudah menunggu kedatanganmu. Untunglah kamu datang pagi sehingga tidak perlu mengantri."
"Terima kasih kang," ucapku. "Saya memang menumpang di masjid sebelah, dan saya tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan urusan ini."
"Ya, saya mengerti. Staf saya sudah bercerita tentangmu. Tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan, tapi ada tuntutan untuk mengganti barang yang hilang akibat kelalaian. Benar seperti itu?" Pak Kepala bertanya sambil memandangku lekat-lekat.
"Ya, singkatnya seperti itu." Jawabku.
"Baik. Sebelumnya saya mohon maaf jika pertanyaan di formulir cukup rinci. Program ini menggunakan dana wakaf, jadi kami harus memastikan dananya tidak hilang. Kami hanya memberikan pinjaman bukan hanya kepada orang yang membutuhkan, tetapi orang yang juga mau mengembalikan."
"Saya mengerti," jawabku. "Meski saya tidak mengerti apa hubungan ritual agama dengan keinginan untuk mengembalikan pinjaman."
"Sangat berhubungan." Pak kepala mencoba meyakinkanku. "Kita bisa mempercayai orang yang baik agamanya. Baik dalam arti di dalamnya, bukan hanya yang terlihat. Tapi apa yang terlihat biasanya mencerminkan apa yang ada di dalamnya, meski tidak selalu. Sayangnya kamu lemah di kriteria ini. Banyak isian di formulir yang tidak diisi. Sedikit pertanyaan saja, apakah kamu biasa shalat 5 waktu? Bisa mengaji?"
"Saya bisa mengaji, guru sekolah yang mengajarkan. Tapi untuk shalat, yang rutin hanya shalat jum'at. Bahkan saya baru sekali mengerjakan shalat shubuh. Tadi pagi." Aku menjelaskan tanpa merasa perlu menyembunyikan apa-apa.
Pak Kepala tersenyum, lalu dia melanjutkan.
"Dua staf saya berbeda pendapat tentangmu. Ini jarang terjadi. Yang satu ingin menolak permintaanmu. Kamu tidak punya tempat tinggal dan kerabat di sini, mudah saja bagimu untuk pergi setelah mendapat pinjaman. Dan biasanya kami memberikan pinjaman kepada santri atau paling tidak jamaah masjid. Kami belum pernah memberi pinjaman kepada orang dengan masa lalu sepertimu."
"Apakah agama kita menilai seseorang dengan melihat masa lalunya?" aku berkata dengan nada tinggi, sedikit kesal karena merasa dipermainkan.
"Tidak, tidak. Islam tidak menilai seseorang dari masa lalunya. Makanya ada pendapat kedua, yang merasa kamu pantas menerima pinjaman. Dia melihat sesuatu dalam dirimu. Karenanya saya ingin bertemu denganmu secara langsung. Tapi saya perlu satu hal lagi sebagai bahan pertimbangan. Saya ingin kamu sendiri yang menjelaskan, kenapa kamu pantas mendapatkan pinjaman."
Permintaannya tidaklah sulit, tapi aku masih bingung ingin menjawab apa karena sebenarnya aku tidak ingin tinggal lama di sini. Tapi pilihan lainnya adalah penjara. Dan jawabanku akan menentukan nasibku selanjutnya, apakah akan menjadi santri atau napi.
Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya."Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.
Suasana kampus di waktu pagi terasa sunyi. Suara yang terdengar hanya kicauan burung-burung yang hinggap di dahan pohon. Wajar saja karena hari ini sudah memasuki libur semester. Hampir semua penghuni asrama sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal hanyalah mahasiswa yang ingin mengejar ketertinggalan, atau yang tidak punya rumah sepertiku.Tapi hari ini aku punya rencana untuk bepergian. Sudah satu semester aku menabung untuk mencicil hutangku pada pesantren. Sengaja aku pilih berkunjung ke sana pada kamis pagi, karena selain ingin membayar hutang aku juga merindukan suasana pengajian di sana. Jika perjalananku lancar, aku akan tiba saat siang hari sehingga bisa mengikuti pengajian kamis sore, kamis malam dan jum'at pagi.Entah mengapa ada perasaan bahagia menyelimuti diriku. Aku akan kembali ke Geger Kalong, seolah aku akan pulang kampung. Padahal
Aku mengucapkan terima kasih lalu pamit untuk pergi ke kantor SDM. Aku berjalan cepat karena didorong rasa ingin tahu. Namun aku belum juga bisa menebaknya. Sesampainya di kantor aku menyapa karyawan yang kukenal sambil berjalan menuju ruang kepala."Ya, silahkan masuk." Pak kepala berkata saat mendengar aku mengetuk pintu. Sepertinya dia sudah tahu kedatanganku. Setelah aku duduk baru dia memulai penjelasannya."Pak Kepala ZISWAF barusan menghubungiku, dia menceritakan perihal keperluanmu. Aku juga sepakat dengannya. Tapi karena ini rahasia, kau juga tidak boleh menceritakan pada orang lain, setuju?"Aku hanya mengangguk. Pak kepala diam sejenak sebelum akhirnya berkata."Yang melunasi pinjamanmu adalah ayahnya Hana."
Suasana kampus di Depok memang sangat asri. Masih banyak pohon besar yang dibiarkan tidak ditebang. Ditambah lagi arsitektur masjid kampus ini memakai konsep terbuka, sehingga tiupan angin terasa cukup kencang."Jika tidak mendengar suaramu, aku pasti belum yakin bahwa kau bukanlah Ahmad Mustofa."Aku mendengar suara di belakangku. Seketika aku berbalik dan melihat si pemilik suara. Perasaanku berdebar saat mengenali wajah itu. Aku seperti dibawa kembali ke masa lalu di lapangan upacara. Saat itu dia berpidato di depan setelah menjuarai lomba. Ya, dia adalah Santi, kekasihku di masa lalu.Ada yang berbeda dengan Santi, dia sekarang memakai hijab. Tapi suaranya tidak berubah, suara yang memiliki pesona. Setelah aku berhasil mengatasi rasa kaget, aku membalas ledekannya."