Dua minggu telah berlalu sejak hari di mana Niels keluar dari rumah sakit karena pemeriksaan racun pada tubuhnya berlangsung lebih cepat dari perkiraan. Kondisi terakhir Niels baik-baik saja, tidak ada satu pun yang kurang.Beruntung, tak ada efek fatal sama sekali pada tubuh Niels setelah terkena racun tersebut. Yang menusuk jari Niels itu ternyata hanyalah taring biasa yang tak lagi memiliki racun di dalamnya.Niels benar-benar beruntung. Jika racun tersebut tersisa banyak di taring sekecil itu, nyawanya akan terancam dan justru Niels lah yang akan menjadi korban menggantikan Alyssa.Pemuda itu kembali mengatupkan tangan dan mulai berdoa untuk keselamatan jiwa sang gadis. Kematian yang menyakitkan, semoga tidak menyisakan dendam. "Amen." Niels menghela napas dan menerawang jauh. Meski dia tak mengenal Alyssa secara langsung, tetapi Niels paham perasaan kehilangan itu.Karena dia sudah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan. Niels pun merantau demi mengirimkan uang kepada adi
Niels masih bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan oleh seniornya sore hari nanti? Dia tak tahu apa itu, tetapi Niels adalah pemuda yang percaya dengan insting dan perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres pada kasus ini."Niels, kau dipanggil Kapten Smith ke kantornya." Rebecca datang menghampiri Niels dan menyampaikan sesuatu yang membuat Niels terkejut. Jantungnya berdetak cepat, apa yang harus dia lakukan sekarang?"Thanks, Rebecca." Niels membalas sambil tersenyum tipis kepada wanita dengan payudara besar itu. Niels bukannya tidak sopan, dia hanya berbicara apa adanya dan karena Rebecca memiliki bentuk tubuh dan dada yang indah, sebab itulah Niels berani mengomentarinya dalam hati."Sama-sama," ucap Rebecca seraya berlalu meninggalkan Niels yang memandangi bagaimana Rebecca berjalan dengan bentuk tubuhnya yang indah.Sambil menarik napas perlahan dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut, Niels berusaha menjaga sikap sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah pergi k
"Tunggu, George!"Anak laki-laki bernama lengkap George Owens yang dipanggil itu pun menoleh, kepada guru yang memanggil namanya ketika ia berjalan santai melewati ruang guru."Ya, Bu?"Guru perempuan dengan riasan wajah yang tipis namun bergaya modis itu tiba-tiba saja menarik George masuk ke dalam bilik ruangannya. "Ibu ada perlu denganmu!""Langsung saja," sang guru menyerahkan flashdisk berwarna hitam metalik kepada George, "tolong kauperiksa semua data dari teman-teman seangkatanmu. Buat keterangan tambahan di lembar berkas baru, dan simpan lagi di dalam flashdisk ini."Meskipun George sudah kelas tiga, dan sedang sibuk-sibuknya, tapi Ibu tetap mempercayakanmu hal ini. Anak baik seperti George tentu mudah saja melakukannya, bukan?"George tersenyum, "Tentu, Bu Rebecca. Percayakan saja kepada saya. Lagipula, jadwal saya hari ini sedang kosong. Saya akan mengurusnya di lab komputer sepulang dari ruang musik nanti.""Bagus, terima kasih, George." Bu Rebecca menepuk pundak George, ba
"Anak kami mati dengan cara yang tidak adil! Di mana letak keadilan di negara ini?!"Niels masih mengingat dengan jelas kalimat yang dilontarkan oleh orang tua dari Alyssa, gadis tak beruntung yang meninggal karena digigit laba-laba beracun beberapa bulan yang lalu.Kasus gadis tak beruntung itu memang telah ia selidiki selama tiga bulan lebih bersama Smith, rekan kerjanya. Seluruh pikiran dan tenaga mereka kerahkan demi menguak pelaku dan mencari bukti-bukti lainnya. Namun sejauh mereka mencari kebenaran, nyatanya hanya kesia-siaan saja yang mereka berdua peroleh.Bahkan Smith, yang terang-terangan berkata tidak akan menyerah begitu saja terhadap kasus ini, mengatakan dengan jelas bahwa kasus ini ditutup. Artinya mereka tidak akan menyelidiki kasus ini lagi kedepannya."Saya tak mau tahu! Kalian semua harus mengusut tuntas kasus ini hingga kalian menemukan sang pelaku!"Namun berkat ancaman dan tangisan pilu dari orang tua yang kehilangan anaknya dengan cara yang tragis, membuat Niel
George mempunyai cara unik tersendiri untuk menikmati akhir pekannya, yaitu dengan cara merawat kebun bunga mawar di pekarangan belakang rumahnya. Bagi George, aroma mawar adalah aroma kesukaannya yang kedua.Selesai membersihkan diri, George menghadap sang ibu yang beberapa saat yang lalu memanggilnya ke ruang baca."Anakku, apa kau sudah menentukan sekolah mana yang ingin kaumasuki selepas lulus ini, Sayang?"Belum lagi George menarik kursi untuk duduk, ia sudah disuguhi pertanyaan oleh wanita yang pernah melahirkannya itu. George tersenyum lebar, "Sudah, Ma.""Sekolah apa itu?""Benjamin Art High School. Sekolah khusus seni lukis, pahat dan musik, Ma." Jawab George dengan bangga. Namun senyumnya luntur seketika manakala ia melihat ekspresi tidak suka hadir di wajah ibunya."Mengapa kau memilih sekolah terbelakang seperti itu!" Joly mengebrak meja, membuat George menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak berani bertemu mata dengan sang ibu.Melihat anaknya yang ketakutan, Joly langsu
"Kita sudah sampai!"Mobil berwarna kuning milik George sekeluarga berhenti tepat di depan sebuah lumbung sekaligus peternakan tua milik keluarga mereka yang telah ada sejak beberapa generasi. Warna kuning mobil keluarga Owens itu begitu menyilaukan setiap mata yang memandang ke arahnya.Setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan, akhirnya mereka bertiga sukses melewati medan terjal yang sempat menyambut mereka sewaktu di awal tanjakan tadi, dan sampai dengan selamat di rumah nenek George yang berada di dataran yang cukup tinggi.George membanting pintu mobil keluaran terakhir dari Dodge, Challenger SRT Demon yang dibeli oleh ayahnya dua tahun yang lalu dengan keras. Selain diberi mesin yang hebat, mobil itu juga disertai dengan otot bodi yang khas, Challenger SRT Demon terlihat sangat cocok apabila dibawa off-road di jalanan yang sulit.Namun sangat tidak cocok untuk dibawa pulang ke kampung halaman! Itulah yang membuat George kesal setengah mati.Salahkan ibunya yang tega menabra
George tak dapat berkomentar, ia tengah sibuk memperhatikan 'cara' yang disebutkan oleh pamannya beberapa saat yang lalu agar menghasilkan daging ternak yang banyak, empuk dan enak.Ia tak pernah menduga bahwa tujuan paman Sam membawa sebuah tongkat bisbol ke kandang adalah cara yang dimaksudkan olehnya sebelumnya."George, perhatikan ini!"Sam mengayunkan pemukul yang terbuat dari besi itu ke salah satu babi berukuran besar yang telah diikat keempat kakinya, menimbulkan bunyi buk yang berasal dari tubuh babi yang dipukul kuat menggunakan tongkal bisbol berwarna hitam tersebut.Melihat sang paman yang terus memukul babi malang itu menggunakan tongkat miliknya, membuat aliran darah George ke dada mengalir dengan cepat. Membuat jantungnya berpacu penuh semangat.Deru napas George menderu, seiring dengan rintihan babi yang telah sekarat di tangan paman Sam-nya.Adrenalin George terus naik, memicu euforia bagi remaja berusia limabelas tahun itu.Rasa gembira yang dirasakan oleh George sek
George menyikat dinding kayu peternakan yang terkena cipratan darah dengan telaten. Suara berisik sikat lantai yang ia gunakan membuat para hewan terbangun. Beberapa ekor sapi melenguh dengan kerasnya."DIAM!" gertak George kesal.Berbicara kepada hewan adalah sesuatu yang salah. Hewan-hewan itu justru semakin gaduh, mengeluarkan suara-suara yang mengganggu dan memekikkan telinga. Berpura-pura seakan tak mendengarnya, George mengusap keringat yang mengalir turun di belakang telinganya dengan perlahan.Melakukan pekerjaan seperti ini sangat melelahkan, tapi sang antagonis haruslah bisa membereskan hal kecil semacam ini."Fuh, akhirnya selesai juga," gumamnya kepada diri sendiri.George menaruh ember besi yang biasa digunakan untuk menampung hasil memerah susu sapi di dekat pintu. Sebelumnya, ia memakai ember tersebut untuk mengambil air di sungai, guna menyiram genangan darah yang mengusik mata. Jelas ia tak ingin ada yang mengetahui perbuatannya, apalagi mengetahui jika George melakuk