5 orang Siswa asal Jakarta yang mengisi kekosongan untuk mendaki ke Rinjani tanpa pengetahuan apapun , sehingga bukan senang yang di dapat , malah malapetaka
Lihat lebih banyakPagi itu seperti senin-senin lainnya di SMA Negeri 15 Jakarta. Jam menunjukkan pukul 07:30 WIB ketika bel istirahat pertama berbunyi, memecah keheningan kelas yang dipenuhi aroma spidol dan debu kapur. Firman langsung bangkit dari kursinya, meregangkan tubuh yang kaku setelah dua jam pelajaran matematika.
"Gila, Bu Sari kayak robot hari ini. Ngasih soal terus tanpa henti," gerutu Firman sambil merapikan buku-bukunya. "Udah lah, Man. Mending kita ke kantin sekarang sebelum antriannya panjang," sahut Deri dari bangku belakang. Cowok berambut keriting itu sudah berdiri sambil menenteng tas selempangnya yang penuh dengan patch band metal. Mereka berdua keluar kelas, berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa lain. Suara langkah kaki dan obrolan remaja bercampur menjadi satu. Kantin sekolah sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Aroma mie ayam dan bakso bercampur dengan suara penjual yang menawarkan dagangannya. Firman dan Deri langsung menuju meja sudut yang sudah menjadi tempat berkumpul rutin mereka. "Eh, Ucok sama cewek-cewek belum datang ya?" tanya Firman sambil meletakkan tas di kursi. Tak lama kemudian, Ucok datang dengan langkah tergesa-gesa. "Gue baru selesai piket kelas, tadi disuruh Bu Ratna bersihin papan tulis," jelasnya sambil menarik kursi. "Makanya jangan suka corat-coret di papan tulis," ledek Deri sambil tertawa. Margareta dan Diana muncul dari arah kantin bagian dalam, masing-masing membawa nampan berisi makanan. Margareta dengan gaya rambut bob-nya yang rapi terlihat tenang dan terkendali. Sementara Diana dengan kuncir kuda tingginya tampak lebih ceria. "Kalian udah pesen belum? Tadi gue lihat mie ayam Pak Budi kayaknya enak banget," kata Diana sambil duduk di sebelah Margareta. Firman menggeleng sambil mengeluarkan bekal dari tasnya. "Gue bawa bekal dari rumah. Mama masak nasi goreng kemarin." Mereka mulai makan sambil ngobrol tentang hal-hal remaja pada umumnya. Tugas matematika yang susah, guru fisika yang galak, dan rencana nonton bioskop akhir pekan. "Ngomong-ngomong, liburan semester tinggal sebulan lagi," kata Firman tiba-tiba. "Kalian udah ada rencana belum?" Ucok langsung bersemangat. "Wah, iya juga ya! Gue sih pengennya liburan yang seru. Kemarin bokap bilang bisa kasih uang jajan lebih buat liburan." "Biasanya sih gue cuma di rumah doang, bantuin mama jualan di warung," jawab Diana. "Tapi tahun ini pengen nyoba sesuatu yang beda." Margareta menyeka mulutnya dengan tissue. "Gue sih bebas aja. Orang tua gue bilang terserah mau liburan kemana, yang penting jangan kemana-mana sendirian." Mata Firman berbinar ketika mendengar respons teman-temannya. "Kalian mau denger ide gue?" "Apa?" tanya semua teman-temannya hampir bersamaan. Firman menarik napas dalam-dalam, kemudian tersenyum lebar. "Gimana kalau kita naik Gunung Rinjani di Lombok? Yang jalur extreme, bukan yang biasa-biasa." Keheningan sejenak menyelimuti meja mereka. Diana hampir tersedak air minumnya, sementara Margareta menatap Firman dengan ekspresi tidak percaya. "Gunung Rinjani? Serius lo, Man?" tanya Ucok dengan mata membulat. "Itu kan gunung yang tingginya ribuan meter." Firman mengangguk yakin. "Iya, serius banget. Gue udah riset di internet, pemandangannya gila-gilaan. Ada danau di puncaknya, terus ada gunung kecil di tengah danau itu." Diana menggeleng-geleng kepala dengan wajah pucat. "Gue takut naik gunung, Man. Gimana kalau nanti kita nyasar? Atau ada binatang buas?" "Tenang, Di. Kita kan nggak sendirian, pasti ada guide-nya," hibur Firman. "Lagian, ini kesempatan bagus buat kita ngerasain petualangan beneran sebelum lulus SMA." Margareta masih terlihat skeptis. "Firman, lo tau nggak sih naik gunung itu nggak main-main? Persiapannya banyak banget, fisiknya harus kuat, peralatannya mahal. Belum lagi biaya transportasi ke Lombok, penginapan, sama guide-nya." "Betul kata Margareta," tambah Diana. "Mama gue pasti nggak izin kalau tau gue mau naik gunung." Deri yang dari tadi diam sambil makan, tiba-tiba angkat bicara. "Sebenernya ide lo menarik juga, Man. Gue sih setuju-setuju aja, asal ada yang bayarin." Semua teman-temannya langsung tertawa mendengar jawaban khas Deri. "Lah, lo pikir gue sultan?" protes Firman sambil ikut tertawa. Ucok tiba-tiba bersemangat lagi. "Eh, tapi seriously nih, gue tertarik. Kayaknya seru banget naik gunung bareng-bareng. Kita bisa camping, masak di alam terbuka, liat bintang di malam hari." "Lo terlalu banyak nonton film adventure, Cok," kata Diana sambil menggeleng. "Realitanya nggak segampang itu. Dingin, capek, kotor, terus kalau hujan gimana?" Firman semakin bersemangat. "Makanya namanya petualangan, Di. Kalau gampang namanya juga bukan petualangan. Lagian, kita masih muda, fisik kita masih kuat." "Fisik lo mungkin kuat, fisik gue yang kayak lidi gini gimana?" tanya Diana sambil melihat tangannya. Margareta menghela napas panjang. "Firman, gue nggak bilang ide lo jelek. Tapi lo harus realistis juga. Kita bukan atlet, kita cuma anak SMA biasa yang paling jauh jalan kaki cuma dari gerbang sekolah ke kelas." "Iya, dan pengalaman hiking gue cuma waktu study tour ke Puncak tahun lalu," tambah Ucok. "Itupun cuma jalan santai." Firman melihat satu per satu wajah teman-temannya. Ada keraguan, ada ketakutan, tapi dia juga melihat secercah ketertarikan. "Gue tau ini kedengarannya gila, tapi percayalah, kalau kita nggak coba sekarang, kapan lagi?" "Emang kenapa harus sekarang?" tanya Diana. "Karena setelah lulus, kita semua bakal sibuk sama urusan masing-masing. Kuliah, kerja, pacaran serius," jawab Firman dengan nada serius. "Ini mungkin kesempatan terakhir kita buat melakukan sesuatu yang gila-gilaan bareng-bareng." Suasana di meja mereka berubah menjadi lebih serius. Kata-kata Firman mengingatkan mereka bahwa masa SMA akan segera berakhir. Persahabatan yang sudah terbangun bertahun-tahun mungkin akan berubah. Bel masuk berbunyi, menandakan istirahat sudah berakhir. Mereka semua bersiap-siap untuk kembali ke kelas masing-masing. "Pikirin dulu deh, guys," kata Firman sambil mengemasi sisa bekalnya. "Gue kasih waktu seminggu buat kalian memutuskan. Kalau setuju, kita mulai planning serius." Diana masih terlihat ragu-ragu. "Gue harus diskusi sama orang tua dulu." "Gue juga harus hitung-hitung budget," tambah Deri sambil menggendong tasnya. Margareta berjalan paling belakang, masih terlihat memikirkan usulan Firman dengan serius. "Lo yakin banget nih, Man? Ini bukan keputusan yang bisa diambil sembarangan." Firman menoleh sambil tersenyum penuh keyakinan. "Gue yakin banget, Gre. Ini bakal jadi pengalaman yang nggak akan kita lupain seumur hidup." Mereka berpisah di persimpangan koridor, masing-masing menuju kelas yang berbeda. Tapi pikiran mereka semua masih terjebak pada usulan gila Firman tentang pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu. Di kelasnya, Firman duduk di bangkunya sambil melamun. Mata guru yang sedang menjelaskan pelajaran biologi tidak mampu mengalihkan pikirannya. Dia sudah membayangkan dirinya berdiri di puncak Rinjani, memandang pemandangan yang spektakuler sambil merasakan angin gunung yang sejuk. Sementara itu, di kelas sebelah, Diana masih terlihat gelisah. Dia terus membayangkan skenario-skenario menakutkan yang bisa terjadi di gunung. Margareta di kelasnya yang lain, justru sudah mulai membuat catatan tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan kalau mereka benar-benar jadi pergi. Sifat terorganisirnya mulai bekerja, meski dia masih ragu. Ucok dan Deri yang sekelas, sesekali saling bertukar pandang sambil tersenyum. Mereka berdua sepertinya adalah yang paling antusias dengan ide Firman. Hari itu berakhir dengan lima remaja yang pikirannya dipenuhi oleh satu hal yang sama: Gunung Rinjani dan petualangan ekstrem yang mungkin akan mengubah hidup mereka forever.Bunyi peluit pelatih memecah keheningan lapangan basket SMA Negeri 15 yang sudah mulai sepi. Ucok masih berlari sprint di ujung lapangan, keringat membasahi seragam merah tim basketnya. Sore itu latihan lebih intensif dari biasanya karena persiapan untuk turnamen antar sekolah bulan depan."Ucok! Udahan dulu, kamu udah lari sepuluh putaran lebih!" teriak Pelatih Bayu dari pinggir lapangan. "Jangan dipaksa, nanti malah kelelahan berlebihan." Tapi Ucok tetap melanjutkan larinya dengan tempo konsisten, napasnya masih teratur.Satu putaran terakhir, Ucok finish dengan sprint penuh sebelum akhirnya berhenti di depan pelatih. Tinggi badannya 185 cm dengan postur atletis yang ideal untuk posisi penyerang depan, membuatnya jadi andalan tim basket sekolah sejak kelas sepuluh. "Pelatih, saya masih bisa lagi nih. Badan saya masih kuat banget."Pelatih Bayu menggeleng sambil memberikan handuk. "Kamu itu kadang terlalu keras sama diri sendiri, Cok. Atlet bagus itu tahu kapan harus menekan dan kapa
Deri turun dari angkot di depan gang sempit Perumahan Bumi Bekasi Baru. Sore itu jalanan masih ramai dengan kendaraan yang pulang kerja, asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dia berjalan melewati warung-warung kecil yang sudah mulai menyalakan lampu.Rumah type 36 yang ditempati keluarganya terlihat sederhana tapi terawat. Cat tembok yang sudah agak kusam, pagar besi yang mulai berkarat, tapi halaman kecil yang selalu bersih. Deri membuka pintu dengan kunci yang sudah aus, langsung disambut aroma masakan sederhana dari dapur."Deri udah pulang?" teriak mama dari dapur. Suara wajan yang sedang menumis bercampur dengan suara televisi. "Mama lagi masak tempe orek sama sayur sop. Papa belum pulang, macet katanya.""Iya, Ma!" sahut Deri sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rumah mereka memang tidak besar, ruang tamu, ruang makan, dan dapur jadi satu.Deri menghampiri mama yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu masih mengen
Diana duduk di bangku barisan kedua dari depan, sesekali melirik ke arah Firman yang duduk tiga kursi di belakangnya. Suara Bu Indah yang sedang menjelaskan materi Bahasa Indonesia seperti menjadi background noise baginya. Pikirannya masih terjebak pada percakapan kemarin di kantin tentang rencana pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.Jantung Diana berdebar setiap kali Firman tertawa dengan teman sebangkunya. Cowok itu memang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Diana sudah menyimpan perasaan ini sejak kelas sepuluh, tapi tidak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak persahabatan mereka."Diana, kamu bisa jawab pertanyaan nomor tiga?" suara Bu Indah tiba-tiba memecah lamunannya. Diana tersentak kaget, mukanya langsung memerah. "Maaf Bu, bisa diulang pertanyaannya?"Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Firman ikut menoleh ke arahnya dengan senyum jahil, membuat Diana semakin gugup. Bu Indah menggeleng sambil tersenyum maklum, kemudian men
Sore itu jam menunjukkan pukul empat ketika Firman turun dari mobil Alphard hitam yang mengantarnya pulang dari sekolah. Pak Joko, sopir keluarganya, tersenyum ramah sambil membuka pintu. Rumah mewah bergaya minimalis modern di kawasan PIK menyambut kedatangannya dengan sejuknya pendingin ruangan."Terima kasih, Pak Joko. Besok jemput jam setengah tujuh ya," kata Firman sambil melambaikan tangan. Dia melangkah masuk melalui pintu utama yang otomatis terbuka. Aroma masakan mama sudah tercium dari dapur."Firman udah pulang?" teriak mama dari arah dapur. Suara blender bercampur dengan televisi di ruang keluarga yang menayangkan berita sore."Iya, Ma!" sahut Firman sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Dia langsung menuju dapur dimana mamanya sedang sibuk menyiapkan jus buah segar. Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu mengenakan apron cantik sambil tersenyum."Mama lagi bikin jus alpukat keju, kesukaan Firman," kata mamanya sambil menuang jus ke dala
Pagi itu seperti senin-senin lainnya di SMA Negeri 15 Jakarta. Jam menunjukkan pukul 07:30 WIB ketika bel istirahat pertama berbunyi, memecah keheningan kelas yang dipenuhi aroma spidol dan debu kapur. Firman langsung bangkit dari kursinya, meregangkan tubuh yang kaku setelah dua jam pelajaran matematika."Gila, Bu Sari kayak robot hari ini. Ngasih soal terus tanpa henti," gerutu Firman sambil merapikan buku-bukunya."Udah lah, Man. Mending kita ke kantin sekarang sebelum antriannya panjang," sahut Deri dari bangku belakang. Cowok berambut keriting itu sudah berdiri sambil menenteng tas selempangnya yang penuh dengan patch band metal.Mereka berdua keluar kelas, berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa lain. Suara langkah kaki dan obrolan remaja bercampur menjadi satu.Kantin sekolah sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Aroma mie ayam dan bakso bercampur dengan suara penjual yang menawarkan dagangannya. Firman dan Deri langsung menuju meja sudut yang sudah menjadi tem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen