แชร์

BAB 4: MENUJU ISTANA

ผู้เขียน: Arjuna Wiraguna
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-03 13:00:01

Setelah kejadian di hutan, Dyah Sulastri memimpin rombongan menuju istana Kerajaan Gilingwesi. Raka berjalan di belakangnya, diapit oleh dua prajurit yang tetap waspada meskipun ia telah diselamatkan oleh sang putri. Meski begitu, Raka merasa sedikit lega karena tidak lagi dalam ancaman langsung. Namun, rasa penasaran dan ketidakpastian tentang nasibnya terus menghantui pikirannya.

Selama perjalanan, Raka mulai memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan lebih saksama. Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan membuka jalan menuju dataran luas yang subur, dikelilingi oleh sawah-sawah hijau dan sungai kecil yang mengalir tenang. Di tepi sungai, beberapa penduduk desa tampak melakukan ritual kecil—menyusun sesaji dari bunga dan daun di atas tikar anyaman, lalu meletakkannya di pinggir air. Mereka menyanyikan doa-doa lembut yang mengiringi aktivitas harian mereka, menciptakan atmosfer spiritual yang kuat.

"Apakah itu istanamu?" tanya Raka kepada Dyah Sulastri, mencoba memecah keheningan saat melihat siluet sebuah istana megah yang menjulang di atas bukit.

Dyah Sulastri menoleh sejenak, matanya menyapu horizon ke arah istana. "Ya," jawabnya singkat, suaranya datar namun penuh otoritas. "Kerajaan Gilingwesi adalah salah satu kerajaan tertua di tanah Jawa. Kami hidup dalam harmoni dengan alam, tetapi juga selalu waspada terhadap ancaman dari luar."

Raka mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-katanya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dalam nada bicara Dyah Sulastri—seolah-olah ia sedang menguji Raka atau mencoba memahami siapa dia sebenarnya.

"Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Raka akhirnya, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Aku bisa saja benar-benar mata-mata, seperti yang dikatakan para prajurit."

Dyah Sulastri tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Aku punya alasan sendiri," katanya ambigu. "Dan aku yakin Resi Agung Darmaja akan menemukan jawaban yang kita butuhkan."

Raka merasa tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia tahu bahwa bertanya lebih lanjut hanya akan membuatnya semakin dicurigai. Sebagai gantinya, ia mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih umum.

"Apa yang dimaksud dengan 'Gerbang Kala'?" tanyanya, mengingat gumaman Dyah Sulastri sebelumnya. "Kau menyebutnya setelah aku bercerita tentang cermin perunggu."

Ekspresi Dyah Sulastri berubah seketika. Matanya menyipit, seolah ia tidak mengharapkan pertanyaan itu. Ia melangkah lebih dekat ke Raka, suaranya turun menjadi bisikan agar tidak didengar oleh prajurit-prajurit lain.

"Gerbang Kala adalah legenda kuno," katanya pelan. "Konon, itu adalah portal yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia roh. Artefak-artefak tertentu—seperti cermin perunggu yang kau sebutkan—dikatakan sebagai kunci untuk membuka gerbang itu. Namun, membukanya berarti membangunkan kekuatan yang tidak semua orang bisa kendalikan."

Raka terdiam, pikirannya dipenuhi oleh gambaran tentang cahaya menyilaukan dan energi magis yang ia rasakan saat menyentuh cermin itu. Apakah ia benar-benar telah membuka Gerbang Kala? Dan jika iya, apa artinya bagi dunia ini?

Tiba-tiba, tubuh Raka merasakan denyut aneh, seolah energi magis dari cermin masih memengaruhi dirinya. Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, tetapi denyut itu semakin kuat. Dyah Sulastri memperhatikannya dengan ekspresi waspada, seolah menyadari sesuatu.

"Apakah kau merasakannya juga?" tanyanya pelan, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Energi itu... apakah itu masih bersamamu?"

Raka mengangkat kepala, wajahnya pucat. "Aku... aku tidak tahu," jawabnya ragu-ragu. "Tapi aku merasakan sesuatu... seperti getaran di dalam tubuhku."

Dyah Sulastri bergumam pelan, nyaris tak terdengar, "Apakah ini pertanda kehancuran kerajaan?" Lalu, ia menatap Raka dengan tatapan penuh rahasia. "Resi Agung Darmaja harus mendengar ceritamu."

Saat mereka mendekati istana, Raka mulai melihat lebih banyak tanda-tanda kehidupan masyarakat lokal. Ada desa-desa kecil di sepanjang jalan, dengan rumah-rumah tradisional yang terbuat dari bambu dan atap jerami. Penduduk desa tampak sibuk dengan aktivitas sehari-hari—beberapa sedang menumbuk padi, yang lain menenun kain, dan anak-anak bermain di tepi sungai. Semua orang tampak hidup dalam harmoni dengan alam, tetapi ada juga nuansa spiritual yang kuat. Di setiap rumah, ada altar kecil dengan patung dewa-dewi, dan beberapa orang tampak sedang berdoa atau memberikan sesaji.

"Kehidupan di sini sangat berbeda dari dunia yang aku kenal," gumam Raka pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dyah Sulastri.

"Memang," jawab Dyah Sulastri, yang ternyata mendengar komentar itu. "Kami hidup dalam keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib. Setiap tindakan kami dipandu oleh ajaran leluhur dan kebijaksanaan para resi."

Raka mengangguk pelan, mencoba memahami budaya ini. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya terseret ke masa lalu secara fisik, tetapi juga harus memahami cara pandang dunia yang sama sekali berbeda.

**

Akhirnya, rombongan tiba di pintu masuk istana. Gerbang utama terbuat dari kayu besar yang diukir dengan simbol-simbol mistis, dan dijaga oleh dua patung raksasa yang tampak seperti penjaga gaib. Prajurit-prajurit yang berjaga di gerbang membungkuk hormat saat Dyah Sulastri melewati mereka. Raka merasa tegang saat melangkah masuk ke halaman istana. Udara di sini terasa lebih berat, seolah dipenuhi oleh energi spiritual yang kuat.

Istana itu sendiri adalah perpaduan sempurna antara kemegahan dan misteri. Di halaman utama, ada kolam besar dengan air jernih yang memantulkan bayangan istana. Di tengah kolam, ada patung dewi cantik dengan wajah yang mirip dengan Dyah Sulastri. Patung itu tampak seperti perlambang kekuatan feminin yang melindungi kerajaan.

Saat rombongan melewati halaman, salah satu pelayan istana berbisik kepada rekannya dengan nada khawatir, "Lihat pria asing itu... apakah dia utusan dewa-dewi atau kutukan bagi kerajaan?"

Raka mendengar bisikan itu, dan ia merasa semakin cemas. Ia tahu bahwa kedatangannya di sini tidak hanya membawa misteri, tetapi juga potensi konflik yang lebih besar.

"Selamat datang di Istana Gilingwesi," kata Dyah Sulastri, suaranya penuh kebanggaan. "Di sini, kau akan bertemu dengan ayahku, Rakai Wisesa, dan Resi Agung Darmaja. Mereka akan memutuskan nasibmu."

Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh ketidakpastian. Ia tahu bahwa petualangannya di dunia ini baru saja dimulai, dan ia harus bersiap menghadapi tantangan yang lebih besar.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 5: ISTANA GILINGWESI

    Raka melangkah masuk ke dalam istana dengan hati-hati, diiringi oleh Dyah Sulastri dan para prajurit yang tetap waspada. Udara di dalam istana terasa lebih dingin dibandingkan dengan panas matahari di luar, namun ada sesuatu yang lain—sebuah aura berat yang sulit dijelaskan. Aroma dupa dan rempah-rempah menyelimuti ruangan, menciptakan atmosfer spiritual yang kental. Dinding-dinding istana dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan dewa-dewi, pahlawan legendaris, dan adegan-adegan spiritual yang tampak hidup seolah mereka bercerita tentang masa lalu kerajaan ini. Cahaya dari lampu minyak memantul di permukaan logam dan perunggu, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di dinding.Mereka memasuki ruang utama istana, sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran naga dan burung garuda. Di ujung ruangan, duduk seorang pria paruh baya dengan postur tegak dan wajah yang tegas namun bijaksana. Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah marun dengan bordir emas yan

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-03
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 6: RITUAL SUCI

    Angin pagi yang dingin menyapu halaman istana Gilingwesi, membawa aroma dupa yang menusuk hidung. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua, sebuah altar besar terbuat dari batu hitam mengkilap telah didirikan. Para pendeta berjubah putih berbaris rapi di sekitar altar, memegang genta kecil dan sulur-sulur asap wewangian yang mengepul dari mangkuk-mangkuk tembaga di tangan mereka. Matahari baru saja muncul di balik pegunungan, menyelimuti seluruh pemandangan dengan cahaya emas lembut.Raka berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah naungan salah satu pohon beringin. Ia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena pakaiannya yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan adat setempat, tetapi juga karena atmosfer mistis yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Bau dupa yang kental membuat kepalanya sedikit pusing, dan suara mantra-mantra para pendeta bergema seperti datang dari dimensi lain—terdengar jelas, namun juga samar-samar, seolah-olah ada jarak tak terlihat a

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-03
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 7: RAMALAN KUNO

    Matahari sore mulai meredup, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya oranye yang hangat namun suram. Raka berjalan menyusuri koridor batu yang dingin, langkahnya terdengar bergema di sepanjang dinding yang dipenuhi ukiran kuno. Ia masih memikirkan ritual suci yang ia saksikan pagi tadi—roh Banaspati, tatapan mereka yang menusuk, dan getaran aneh yang dirasakannya di dalam tubuhnya. Segalanya begitu asing, tetapi juga menarik. Ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Saat ia melewati salah satu halaman dalam istana, seorang pendeta tua dengan jubah putih panjang mendekatinya. Wajahnya tertutup kerudung tipis, hanya meninggalkan sepasang mata yang tajam seperti mata elang. Pendeta itu adalah Resi Agung Darmaja, sosok misterius yang selalu tampak mengamati dari kejauhan. Raka pernah melihatnya di ritual pagi tadi, tetapi tidak sempat berbicara dengannya."Kau tampak gelisah, anak muda," kata Resi Agung Darmaja dengan suara rendah dan berat, sepert

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-03
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 8: MAKHLUK GAIB

    Pagi itu, udara di istana Gilingwesi terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman-halaman dalam, menciptakan suasana yang hening dan misterius. Raka berjalan menyusuri jalan setapak menuju candi kecil di tepi hutan, tempat Dyah Sulastri mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan salah satu makhluk gaib penjaga kerajaan—Buto Ijo.“Kau yakin ini aman?” tanya Raka, memandang Dyah dengan ekspresi ragu. Ia masih ingat betapa menyeramkannya Banaspati yang ia lihat selama ritual suci beberapa hari lalu. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang dunia baru ini, tetapi ia juga merasa ada sesuatu yang penting yang harus ia pahami.Dyah tersenyum tipis, matanya yang gelap penuh ketenangan. “Aku sudah memberikan perintah padanya untuk tidak menyakitimu,” katanya sambil melangkah maju. “Selama kau tidak berniat buruk, Buto Ijo tidak akan menyerang.”Raka mengangguk pelan, meskipun rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang. Ia memperhatikan sekelilingnya—pohon-pohon ting

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-04
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 9: HUBUNGAN DENGAN DYAH SULASTRI

    Malam itu, istana Gilingwesi terasa lebih tenang dari biasanya. Lampu minyak yang menyala di sepanjang koridor memberikan cahaya temaram, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding batu. Raka duduk di tepi ranjang kayunya, memandangi cermin perunggu kuno yang ia simpan di sudut ruangan. Cermin itu tampak begitu sederhana, tetapi bagi Raka, ia adalah satu-satunya penghubungnya dengan dunia asalnya—dunia yang kini terasa semakin jauh.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Dyah Sulastri masuk dengan langkah ringan, mengenakan selendang sutra tipis yang melingkar anggun di tubuhnya. Ia membawa sebuah gulungan naskah tua dan duduk di kursi kecil di dekat meja kayu Raka. Angin malam masuk melalui celah jendela, membawa aroma bunga melati dari taman istana."Kau belum tidur?" tanyanya lembut, suaranya seperti bisikan angin malam.Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangan mendadaknya. "Aku... hanya memikirkan banyak hal," jawabnya, mencoba tersenyum. "Sulit untuk tidur."Dyah men

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 10: ANCAMAN DARI LUAR

    Matahari pagi mulai naik tinggi di atas istana Gilingwesi, menyelimuti halaman dalam dengan cahaya emas yang lembut. Namun, suasana di balik dinding-dinding batu istana tidak sesegar udara pagi itu. Di ruang perang, Arya Kertajaya berdiri tegak di depan Rakai Wisesa, raja kerajaan Gilingwesi, dengan ekspresi serius yang jarang terlihat di wajahnya."Paduka," kata Arya Kertajaya dengan suara tegas namun penuh hormat, "aku harus melaporkan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan."Rakai Wisesa menatap panglima perangnya dengan mata tajam. Raja yang bijaksana namun keras ini selalu mendengarkan laporan dari para pembantunya dengan penuh perhatian, tetapi kali ini ada sesuatu dalam nada suara Arya yang membuatnya sedikit waspada."Apa yang mengkhawatirkanmu?" tanya Rakai Wisesa, tangannya yang kokoh bertumpu pada gagang pedangnya.Arya Kertajaya mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Orang asing itu—Raka. Aku percaya dia bukan sekadar orang biasa seperti yang ia klaim. Ada sesuatu

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 11: NAGA NISKALA

    Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menciptakan siluet lembut di atas sungai suci yang mengalir tenang di tepi hutan. Airnya jernih dan berkilauan seperti permata biru di bawah sisa-sisa sinar matahari. Raka berdiri di tepi sungai bersama Dyah Sulastri, merasakan aura mistis yang kuat memenuhi udara. Ini adalah tempat yang disebut-sebut sebagai kediaman Naga Niskala, makhluk gaib penjaga aliran kehidupan kerajaan Gilingwesi."Apakah benar ada naga di sini?" tanya Raka, suaranya terdengar ragu namun penuh rasa ingin tahu. Ia menatap air sungai yang tampak begitu tenang, tetapi entah bagaimana ia merasakan bahwa ada sesuatu yang besar—sesuatu yang tidak terlihat—mengamati mereka dari kedalaman.Dyah tersenyum tipis, matanya memancarkan ketenangan yang hanya dimiliki oleh mereka yang akrab dengan dunia gaib. "Naga Niskala bukanlah makhluk yang bisa dilihat oleh semua orang," katanya pelan. "Hanya mereka yang memiliki hubungan khusus dengan dunia ini yang bisa merasakan kehadirannya."

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 12: RAHASIA DYAH SULASTRI

    Malam itu, bulan purnama bersinar terang di langit, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya perak yang lembut. Namun, di balik keindahan malam itu, ada ketegangan yang menggelayuti udara. Raka duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi kegelapan hutan yang membentang luas di luar tembok istana. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Naga Niskala beberapa hari lalu. Makhluk gaib itu telah memberikan banyak jawaban, tetapi juga meninggalkan lebih banyak pertanyaan. Salah satunya adalah tentang Dyah Sulastri—putri kerajaan yang tampaknya menyimpan rahasia besar.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Dyah masuk dengan langkah ringan, wajahnya tampak lebih murung daripada biasanya. Ia mengenakan selendang sutra tipis yang melingkar anggun di tubuhnya, namun matanya yang biasanya penuh ketenangan kini dipenuhi oleh bayangan kekhawatiran."Kau belum tidur?" tanyanya pelan, suaranya seperti bisikan angin malam.Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangannya. "Aku... hany

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-06

บทล่าสุด

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status