Share

BAB 4: MENUJU ISTANA

last update Last Updated: 2025-02-03 13:00:01

Setelah kejadian di hutan, Dyah Sulastri memimpin rombongan menuju istana Kerajaan Gilingwesi. Raka berjalan di belakangnya, diapit oleh dua prajurit yang tetap waspada meskipun ia telah diselamatkan oleh sang putri. Meski begitu, Raka merasa sedikit lega karena tidak lagi dalam ancaman langsung. Namun, rasa penasaran dan ketidakpastian tentang nasibnya terus menghantui pikirannya.

Selama perjalanan, Raka mulai memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan lebih saksama. Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan membuka jalan menuju dataran luas yang subur, dikelilingi oleh sawah-sawah hijau dan sungai kecil yang mengalir tenang. Di tepi sungai, beberapa penduduk desa tampak melakukan ritual kecil—menyusun sesaji dari bunga dan daun di atas tikar anyaman, lalu meletakkannya di pinggir air. Mereka menyanyikan doa-doa lembut yang mengiringi aktivitas harian mereka, menciptakan atmosfer spiritual yang kuat.

"Apakah itu istanamu?" tanya Raka kepada Dyah Sulastri, mencoba memecah keheningan saat melihat siluet sebuah istana megah yang menjulang di atas bukit.

Dyah Sulastri menoleh sejenak, matanya menyapu horizon ke arah istana. "Ya," jawabnya singkat, suaranya datar namun penuh otoritas. "Kerajaan Gilingwesi adalah salah satu kerajaan tertua di tanah Jawa. Kami hidup dalam harmoni dengan alam, tetapi juga selalu waspada terhadap ancaman dari luar."

Raka mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-katanya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dalam nada bicara Dyah Sulastri—seolah-olah ia sedang menguji Raka atau mencoba memahami siapa dia sebenarnya.

"Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Raka akhirnya, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Aku bisa saja benar-benar mata-mata, seperti yang dikatakan para prajurit."

Dyah Sulastri tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Aku punya alasan sendiri," katanya ambigu. "Dan aku yakin Resi Agung Darmaja akan menemukan jawaban yang kita butuhkan."

Raka merasa tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia tahu bahwa bertanya lebih lanjut hanya akan membuatnya semakin dicurigai. Sebagai gantinya, ia mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih umum.

"Apa yang dimaksud dengan 'Gerbang Kala'?" tanyanya, mengingat gumaman Dyah Sulastri sebelumnya. "Kau menyebutnya setelah aku bercerita tentang cermin perunggu."

Ekspresi Dyah Sulastri berubah seketika. Matanya menyipit, seolah ia tidak mengharapkan pertanyaan itu. Ia melangkah lebih dekat ke Raka, suaranya turun menjadi bisikan agar tidak didengar oleh prajurit-prajurit lain.

"Gerbang Kala adalah legenda kuno," katanya pelan. "Konon, itu adalah portal yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia roh. Artefak-artefak tertentu—seperti cermin perunggu yang kau sebutkan—dikatakan sebagai kunci untuk membuka gerbang itu. Namun, membukanya berarti membangunkan kekuatan yang tidak semua orang bisa kendalikan."

Raka terdiam, pikirannya dipenuhi oleh gambaran tentang cahaya menyilaukan dan energi magis yang ia rasakan saat menyentuh cermin itu. Apakah ia benar-benar telah membuka Gerbang Kala? Dan jika iya, apa artinya bagi dunia ini?

Tiba-tiba, tubuh Raka merasakan denyut aneh, seolah energi magis dari cermin masih memengaruhi dirinya. Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, tetapi denyut itu semakin kuat. Dyah Sulastri memperhatikannya dengan ekspresi waspada, seolah menyadari sesuatu.

"Apakah kau merasakannya juga?" tanyanya pelan, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Energi itu... apakah itu masih bersamamu?"

Raka mengangkat kepala, wajahnya pucat. "Aku... aku tidak tahu," jawabnya ragu-ragu. "Tapi aku merasakan sesuatu... seperti getaran di dalam tubuhku."

Dyah Sulastri bergumam pelan, nyaris tak terdengar, "Apakah ini pertanda kehancuran kerajaan?" Lalu, ia menatap Raka dengan tatapan penuh rahasia. "Resi Agung Darmaja harus mendengar ceritamu."

Saat mereka mendekati istana, Raka mulai melihat lebih banyak tanda-tanda kehidupan masyarakat lokal. Ada desa-desa kecil di sepanjang jalan, dengan rumah-rumah tradisional yang terbuat dari bambu dan atap jerami. Penduduk desa tampak sibuk dengan aktivitas sehari-hari—beberapa sedang menumbuk padi, yang lain menenun kain, dan anak-anak bermain di tepi sungai. Semua orang tampak hidup dalam harmoni dengan alam, tetapi ada juga nuansa spiritual yang kuat. Di setiap rumah, ada altar kecil dengan patung dewa-dewi, dan beberapa orang tampak sedang berdoa atau memberikan sesaji.

"Kehidupan di sini sangat berbeda dari dunia yang aku kenal," gumam Raka pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dyah Sulastri.

"Memang," jawab Dyah Sulastri, yang ternyata mendengar komentar itu. "Kami hidup dalam keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib. Setiap tindakan kami dipandu oleh ajaran leluhur dan kebijaksanaan para resi."

Raka mengangguk pelan, mencoba memahami budaya ini. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya terseret ke masa lalu secara fisik, tetapi juga harus memahami cara pandang dunia yang sama sekali berbeda.

**

Akhirnya, rombongan tiba di pintu masuk istana. Gerbang utama terbuat dari kayu besar yang diukir dengan simbol-simbol mistis, dan dijaga oleh dua patung raksasa yang tampak seperti penjaga gaib. Prajurit-prajurit yang berjaga di gerbang membungkuk hormat saat Dyah Sulastri melewati mereka. Raka merasa tegang saat melangkah masuk ke halaman istana. Udara di sini terasa lebih berat, seolah dipenuhi oleh energi spiritual yang kuat.

Istana itu sendiri adalah perpaduan sempurna antara kemegahan dan misteri. Di halaman utama, ada kolam besar dengan air jernih yang memantulkan bayangan istana. Di tengah kolam, ada patung dewi cantik dengan wajah yang mirip dengan Dyah Sulastri. Patung itu tampak seperti perlambang kekuatan feminin yang melindungi kerajaan.

Saat rombongan melewati halaman, salah satu pelayan istana berbisik kepada rekannya dengan nada khawatir, "Lihat pria asing itu... apakah dia utusan dewa-dewi atau kutukan bagi kerajaan?"

Raka mendengar bisikan itu, dan ia merasa semakin cemas. Ia tahu bahwa kedatangannya di sini tidak hanya membawa misteri, tetapi juga potensi konflik yang lebih besar.

"Selamat datang di Istana Gilingwesi," kata Dyah Sulastri, suaranya penuh kebanggaan. "Di sini, kau akan bertemu dengan ayahku, Rakai Wisesa, dan Resi Agung Darmaja. Mereka akan memutuskan nasibmu."

Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh ketidakpastian. Ia tahu bahwa petualangannya di dunia ini baru saja dimulai, dan ia harus bersiap menghadapi tantangan yang lebih besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status