แชร์

BAB 5: ISTANA GILINGWESI

ผู้เขียน: Arjuna Wiraguna
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-03 16:00:34

Raka melangkah masuk ke dalam istana dengan hati-hati, diiringi oleh Dyah Sulastri dan para prajurit yang tetap waspada. Udara di dalam istana terasa lebih dingin dibandingkan dengan panas matahari di luar, namun ada sesuatu yang lain—sebuah aura berat yang sulit dijelaskan. Aroma dupa dan rempah-rempah menyelimuti ruangan, menciptakan atmosfer spiritual yang kental. Dinding-dinding istana dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan dewa-dewi, pahlawan legendaris, dan adegan-adegan spiritual yang tampak hidup seolah mereka bercerita tentang masa lalu kerajaan ini. Cahaya dari lampu minyak memantul di permukaan logam dan perunggu, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di dinding.

Mereka memasuki ruang utama istana, sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran naga dan burung garuda. Di ujung ruangan, duduk seorang pria paruh baya dengan postur tegak dan wajah yang tegas namun bijaksana. Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah marun dengan bordir emas yang rumit, serta mahkota sederhana namun elegan di kepalanya. Itu adalah Rakai Wisesa , raja Kerajaan Gilingwesi. Di sampingnya, seorang lelaki tua dengan jenggot panjang dan sorban putih duduk dengan tenang. Matanya tertutup, seolah ia sedang tenggelam dalam meditasi mendalam. Namun, saat Raka memasuki ruangan, matanya terbuka perlahan, menatap Raka dengan tatapan tajam yang seolah bisa membaca jiwanya. Ia adalah Resi Agung Darmaja , penasihat spiritual kerajaan.

"Selamat datang di Istana Gilingwesi," kata Rakai Wisesa dengan suara yang tegas namun tidak kasar. "Kau adalah orang asing yang disebutkan oleh anakku, Dyah Sulastri."

Raka membungkuk hormat, meskipun ia tidak yakin apakah itu etika yang benar di dunia ini. "Namaku Raka," katanya pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku... aku tersesat. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini."

Rakai Wisesa mengangkat alisnya, matanya menyipit seolah mencoba memahami siapa Raka sebenarnya. "Tersesat?" ulangnya, nada suaranya skeptis. "Dari mana kau berasal? Dan bagaimana kau bisa melewati hutan kami tanpa diketahui?"

Sebelum Raka bisa menjawab, Resi Agung Darmaja angkat bicara. Suaranya rendah dan berat, seperti gema dari masa lalu. "Anak muda, ceritakan padaku tentang artefak yang membawamu ke sini." Matanya menatap Raka dengan intensitas yang membuatnya merasa tak nyaman.

Raka terkejut. Bagaimana Resi Agung Darmaja tahu tentang artefak itu? Apakah Dyah Sulastri sudah memberitahunya? Ataukah ada kekuatan lain yang bekerja di sini?

"Aku... aku menemukan sebuah cermin perunggu di sebuah gua," jawab Raka akhirnya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu apa itu. Saat aku menyentuhnya, cahaya menyilaukan menyelimuti tubuhku, dan aku... tersadar di sini."

Resi Agung Darmaja mengangguk pelan, seolah kata-kata Raka membenarkan sesuatu yang sudah ia duga. "Cermin Perunggu Kala," gumamnya pelan. "Gerbang antara dunia manusia dan dunia roh telah terbuka lagi."

Rakai Wisesa menoleh ke arah resi dengan ekspresi khawatir. "Apakah ini pertanda buruk bagi kerajaan kita?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan.

Resi Agung Darmaja tidak langsung menjawab. Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Raka. Setiap langkahnya terdengar berat, seolah-olah seluruh ruangan dipenuhi oleh energi spiritualnya. Ia berhenti tepat di depan Raka, matanya menatap dalam-dalam ke mata pemuda itu.

"Kau membawa energi yang kuat," kata resi itu pelan. "Energi yang bisa membawa berkah atau kutukan bagi kerajaan ini. Tapi sebelum kita memutuskan nasibmu, aku harus memastikan satu hal."

Resi Agung Darmaja mengangkat tangannya, telapaknya menghadap ke arah Raka. Tiba-tiba, udara di ruangan itu berubah. Lampu-lampu minyak mulai berkedip-kedip, dan bayangan-bayangan di dinding bergerak liar seolah memiliki kehidupan sendiri. Raka merasakan denyut aneh di tubuhnya—energi yang sama yang ia rasakan saat menyentuh cermin perunggu. Denyut itu semakin kuat, hingga ia merasa seolah-olah seluruh tubuhnya dipenuhi oleh kekuatan magis. Ia bahkan melihat kilatan cahaya samar di sekitar dirinya, seolah-olah energi itu keluar dari tubuhnya.

"Gerbang Kala telah memilihmu," kata Resi Agung Darmaja akhirnya, suaranya bergema di seluruh ruangan. "Kau bukan sekadar pelancong biasa. Kau adalah pembawa pesan dari dunia roh."

Raka terdiam, pikirannya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Apa artinya semua ini? Apakah ia benar-benar dipilih oleh kekuatan gaib untuk melakukan sesuatu? Ia tidak tahu, tetapi ia merasa bahwa petualangannya di dunia ini baru saja dimulai.

Rakai Wisesa tampak ragu-ragu. "Jika dia adalah pembawa pesan dari dunia roh, maka kita harus mendengarkannya," katanya akhirnya, suaranya penuh otoritas. "Namun, jika dia membawa kutukan, maka kita harus bertindak cepat untuk melindungi kerajaan."

Di sudut ruangan, salah satu prajurit berbisik kepada rekannya dengan nada khawatir, "Pria asing itu... apakah dia benar-benar utusan dewa-dewi, atau justru pembawa malapetaka bagi kerajaan?"

Dyah Sulastri maju selangkah, matanya penuh tekad. "Ayah, biarkan aku mengawasinya. Jika dia membawa bahaya, aku akan menjadi yang pertama tahu."

Rakai Wisesa menatap putrinya dengan ekspresi campuran antara kebanggaan dan kekhawatiran. "Baiklah," katanya akhirnya. "Namun, ingat, keselamatan kerajaan adalah prioritas utama."

Resi Agung Darmaja mengangguk pelan, seolah setuju dengan keputusan itu. "Kita akan mengamati perkembanganmu, anak muda," katanya kepada Raka. "Dan kita akan menemukan jawaban atas misteri ini."

Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh ketidakpastian. Ia tahu bahwa ia tidak hanya terseret ke dunia baru ini secara fisik, tetapi juga terlibat dalam konflik yang lebih besar—konflik antara dunia manusia dan dunia roh.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status