Share

BAB 5: ISTANA GILINGWESI

last update Last Updated: 2025-02-03 16:00:34

Raka melangkah masuk ke dalam istana dengan hati-hati, diiringi oleh Dyah Sulastri dan para prajurit yang tetap waspada. Udara di dalam istana terasa lebih dingin dibandingkan dengan panas matahari di luar, namun ada sesuatu yang lain—sebuah aura berat yang sulit dijelaskan. Aroma dupa dan rempah-rempah menyelimuti ruangan, menciptakan atmosfer spiritual yang kental. Dinding-dinding istana dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan dewa-dewi, pahlawan legendaris, dan adegan-adegan spiritual yang tampak hidup seolah mereka bercerita tentang masa lalu kerajaan ini. Cahaya dari lampu minyak memantul di permukaan logam dan perunggu, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di dinding.

Mereka memasuki ruang utama istana, sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran naga dan burung garuda. Di ujung ruangan, duduk seorang pria paruh baya dengan postur tegak dan wajah yang tegas namun bijaksana. Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah marun dengan bordir emas yang rumit, serta mahkota sederhana namun elegan di kepalanya. Itu adalah Rakai Wisesa , raja Kerajaan Gilingwesi. Di sampingnya, seorang lelaki tua dengan jenggot panjang dan sorban putih duduk dengan tenang. Matanya tertutup, seolah ia sedang tenggelam dalam meditasi mendalam. Namun, saat Raka memasuki ruangan, matanya terbuka perlahan, menatap Raka dengan tatapan tajam yang seolah bisa membaca jiwanya. Ia adalah Resi Agung Darmaja , penasihat spiritual kerajaan.

"Selamat datang di Istana Gilingwesi," kata Rakai Wisesa dengan suara yang tegas namun tidak kasar. "Kau adalah orang asing yang disebutkan oleh anakku, Dyah Sulastri."

Raka membungkuk hormat, meskipun ia tidak yakin apakah itu etika yang benar di dunia ini. "Namaku Raka," katanya pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku... aku tersesat. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini."

Rakai Wisesa mengangkat alisnya, matanya menyipit seolah mencoba memahami siapa Raka sebenarnya. "Tersesat?" ulangnya, nada suaranya skeptis. "Dari mana kau berasal? Dan bagaimana kau bisa melewati hutan kami tanpa diketahui?"

Sebelum Raka bisa menjawab, Resi Agung Darmaja angkat bicara. Suaranya rendah dan berat, seperti gema dari masa lalu. "Anak muda, ceritakan padaku tentang artefak yang membawamu ke sini." Matanya menatap Raka dengan intensitas yang membuatnya merasa tak nyaman.

Raka terkejut. Bagaimana Resi Agung Darmaja tahu tentang artefak itu? Apakah Dyah Sulastri sudah memberitahunya? Ataukah ada kekuatan lain yang bekerja di sini?

"Aku... aku menemukan sebuah cermin perunggu di sebuah gua," jawab Raka akhirnya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu apa itu. Saat aku menyentuhnya, cahaya menyilaukan menyelimuti tubuhku, dan aku... tersadar di sini."

Resi Agung Darmaja mengangguk pelan, seolah kata-kata Raka membenarkan sesuatu yang sudah ia duga. "Cermin Perunggu Kala," gumamnya pelan. "Gerbang antara dunia manusia dan dunia roh telah terbuka lagi."

Rakai Wisesa menoleh ke arah resi dengan ekspresi khawatir. "Apakah ini pertanda buruk bagi kerajaan kita?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan.

Resi Agung Darmaja tidak langsung menjawab. Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Raka. Setiap langkahnya terdengar berat, seolah-olah seluruh ruangan dipenuhi oleh energi spiritualnya. Ia berhenti tepat di depan Raka, matanya menatap dalam-dalam ke mata pemuda itu.

"Kau membawa energi yang kuat," kata resi itu pelan. "Energi yang bisa membawa berkah atau kutukan bagi kerajaan ini. Tapi sebelum kita memutuskan nasibmu, aku harus memastikan satu hal."

Resi Agung Darmaja mengangkat tangannya, telapaknya menghadap ke arah Raka. Tiba-tiba, udara di ruangan itu berubah. Lampu-lampu minyak mulai berkedip-kedip, dan bayangan-bayangan di dinding bergerak liar seolah memiliki kehidupan sendiri. Raka merasakan denyut aneh di tubuhnya—energi yang sama yang ia rasakan saat menyentuh cermin perunggu. Denyut itu semakin kuat, hingga ia merasa seolah-olah seluruh tubuhnya dipenuhi oleh kekuatan magis. Ia bahkan melihat kilatan cahaya samar di sekitar dirinya, seolah-olah energi itu keluar dari tubuhnya.

"Gerbang Kala telah memilihmu," kata Resi Agung Darmaja akhirnya, suaranya bergema di seluruh ruangan. "Kau bukan sekadar pelancong biasa. Kau adalah pembawa pesan dari dunia roh."

Raka terdiam, pikirannya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Apa artinya semua ini? Apakah ia benar-benar dipilih oleh kekuatan gaib untuk melakukan sesuatu? Ia tidak tahu, tetapi ia merasa bahwa petualangannya di dunia ini baru saja dimulai.

Rakai Wisesa tampak ragu-ragu. "Jika dia adalah pembawa pesan dari dunia roh, maka kita harus mendengarkannya," katanya akhirnya, suaranya penuh otoritas. "Namun, jika dia membawa kutukan, maka kita harus bertindak cepat untuk melindungi kerajaan."

Di sudut ruangan, salah satu prajurit berbisik kepada rekannya dengan nada khawatir, "Pria asing itu... apakah dia benar-benar utusan dewa-dewi, atau justru pembawa malapetaka bagi kerajaan?"

Dyah Sulastri maju selangkah, matanya penuh tekad. "Ayah, biarkan aku mengawasinya. Jika dia membawa bahaya, aku akan menjadi yang pertama tahu."

Rakai Wisesa menatap putrinya dengan ekspresi campuran antara kebanggaan dan kekhawatiran. "Baiklah," katanya akhirnya. "Namun, ingat, keselamatan kerajaan adalah prioritas utama."

Resi Agung Darmaja mengangguk pelan, seolah setuju dengan keputusan itu. "Kita akan mengamati perkembanganmu, anak muda," katanya kepada Raka. "Dan kita akan menemukan jawaban atas misteri ini."

Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh ketidakpastian. Ia tahu bahwa ia tidak hanya terseret ke dunia baru ini secara fisik, tetapi juga terlibat dalam konflik yang lebih besar—konflik antara dunia manusia dan dunia roh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 6: RITUAL SUCI

    Angin pagi yang dingin menyapu halaman istana Gilingwesi, membawa aroma dupa yang menusuk hidung. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua, sebuah altar besar terbuat dari batu hitam mengkilap telah didirikan. Para pendeta berjubah putih berbaris rapi di sekitar altar, memegang genta kecil dan sulur-sulur asap wewangian yang mengepul dari mangkuk-mangkuk tembaga di tangan mereka. Matahari baru saja muncul di balik pegunungan, menyelimuti seluruh pemandangan dengan cahaya emas lembut.Raka berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah naungan salah satu pohon beringin. Ia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena pakaiannya yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan adat setempat, tetapi juga karena atmosfer mistis yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Bau dupa yang kental membuat kepalanya sedikit pusing, dan suara mantra-mantra para pendeta bergema seperti datang dari dimensi lain—terdengar jelas, namun juga samar-samar, seolah-olah ada jarak tak terlihat a

    Last Updated : 2025-02-03
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 7: RAMALAN KUNO

    Matahari sore mulai meredup, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya oranye yang hangat namun suram. Raka berjalan menyusuri koridor batu yang dingin, langkahnya terdengar bergema di sepanjang dinding yang dipenuhi ukiran kuno. Ia masih memikirkan ritual suci yang ia saksikan pagi tadi—roh Banaspati, tatapan mereka yang menusuk, dan getaran aneh yang dirasakannya di dalam tubuhnya. Segalanya begitu asing, tetapi juga menarik. Ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Saat ia melewati salah satu halaman dalam istana, seorang pendeta tua dengan jubah putih panjang mendekatinya. Wajahnya tertutup kerudung tipis, hanya meninggalkan sepasang mata yang tajam seperti mata elang. Pendeta itu adalah Resi Agung Darmaja, sosok misterius yang selalu tampak mengamati dari kejauhan. Raka pernah melihatnya di ritual pagi tadi, tetapi tidak sempat berbicara dengannya."Kau tampak gelisah, anak muda," kata Resi Agung Darmaja dengan suara rendah dan berat, sepert

    Last Updated : 2025-02-03
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 8: MAKHLUK GAIB

    Pagi itu, udara di istana Gilingwesi terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman-halaman dalam, menciptakan suasana yang hening dan misterius. Raka berjalan menyusuri jalan setapak menuju candi kecil di tepi hutan, tempat Dyah Sulastri mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan salah satu makhluk gaib penjaga kerajaan—Buto Ijo.“Kau yakin ini aman?” tanya Raka, memandang Dyah dengan ekspresi ragu. Ia masih ingat betapa menyeramkannya Banaspati yang ia lihat selama ritual suci beberapa hari lalu. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang dunia baru ini, tetapi ia juga merasa ada sesuatu yang penting yang harus ia pahami.Dyah tersenyum tipis, matanya yang gelap penuh ketenangan. “Aku sudah memberikan perintah padanya untuk tidak menyakitimu,” katanya sambil melangkah maju. “Selama kau tidak berniat buruk, Buto Ijo tidak akan menyerang.”Raka mengangguk pelan, meskipun rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang. Ia memperhatikan sekelilingnya—pohon-pohon ting

    Last Updated : 2025-02-04
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 9: HUBUNGAN DENGAN DYAH SULASTRI

    Malam itu, istana Gilingwesi terasa lebih tenang dari biasanya. Lampu minyak yang menyala di sepanjang koridor memberikan cahaya temaram, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding batu. Raka duduk di tepi ranjang kayunya, memandangi cermin perunggu kuno yang ia simpan di sudut ruangan. Cermin itu tampak begitu sederhana, tetapi bagi Raka, ia adalah satu-satunya penghubungnya dengan dunia asalnya—dunia yang kini terasa semakin jauh.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Dyah Sulastri masuk dengan langkah ringan, mengenakan selendang sutra tipis yang melingkar anggun di tubuhnya. Ia membawa sebuah gulungan naskah tua dan duduk di kursi kecil di dekat meja kayu Raka. Angin malam masuk melalui celah jendela, membawa aroma bunga melati dari taman istana."Kau belum tidur?" tanyanya lembut, suaranya seperti bisikan angin malam.Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangan mendadaknya. "Aku... hanya memikirkan banyak hal," jawabnya, mencoba tersenyum. "Sulit untuk tidur."Dyah men

    Last Updated : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 10: ANCAMAN DARI LUAR

    Matahari pagi mulai naik tinggi di atas istana Gilingwesi, menyelimuti halaman dalam dengan cahaya emas yang lembut. Namun, suasana di balik dinding-dinding batu istana tidak sesegar udara pagi itu. Di ruang perang, Arya Kertajaya berdiri tegak di depan Rakai Wisesa, raja kerajaan Gilingwesi, dengan ekspresi serius yang jarang terlihat di wajahnya."Paduka," kata Arya Kertajaya dengan suara tegas namun penuh hormat, "aku harus melaporkan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan."Rakai Wisesa menatap panglima perangnya dengan mata tajam. Raja yang bijaksana namun keras ini selalu mendengarkan laporan dari para pembantunya dengan penuh perhatian, tetapi kali ini ada sesuatu dalam nada suara Arya yang membuatnya sedikit waspada."Apa yang mengkhawatirkanmu?" tanya Rakai Wisesa, tangannya yang kokoh bertumpu pada gagang pedangnya.Arya Kertajaya mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Orang asing itu—Raka. Aku percaya dia bukan sekadar orang biasa seperti yang ia klaim. Ada sesuatu

    Last Updated : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 11: NAGA NISKALA

    Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menciptakan siluet lembut di atas sungai suci yang mengalir tenang di tepi hutan. Airnya jernih dan berkilauan seperti permata biru di bawah sisa-sisa sinar matahari. Raka berdiri di tepi sungai bersama Dyah Sulastri, merasakan aura mistis yang kuat memenuhi udara. Ini adalah tempat yang disebut-sebut sebagai kediaman Naga Niskala, makhluk gaib penjaga aliran kehidupan kerajaan Gilingwesi."Apakah benar ada naga di sini?" tanya Raka, suaranya terdengar ragu namun penuh rasa ingin tahu. Ia menatap air sungai yang tampak begitu tenang, tetapi entah bagaimana ia merasakan bahwa ada sesuatu yang besar—sesuatu yang tidak terlihat—mengamati mereka dari kedalaman.Dyah tersenyum tipis, matanya memancarkan ketenangan yang hanya dimiliki oleh mereka yang akrab dengan dunia gaib. "Naga Niskala bukanlah makhluk yang bisa dilihat oleh semua orang," katanya pelan. "Hanya mereka yang memiliki hubungan khusus dengan dunia ini yang bisa merasakan kehadirannya."

    Last Updated : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 12: RAHASIA DYAH SULASTRI

    Malam itu, bulan purnama bersinar terang di langit, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya perak yang lembut. Namun, di balik keindahan malam itu, ada ketegangan yang menggelayuti udara. Raka duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi kegelapan hutan yang membentang luas di luar tembok istana. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Naga Niskala beberapa hari lalu. Makhluk gaib itu telah memberikan banyak jawaban, tetapi juga meninggalkan lebih banyak pertanyaan. Salah satunya adalah tentang Dyah Sulastri—putri kerajaan yang tampaknya menyimpan rahasia besar.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Dyah masuk dengan langkah ringan, wajahnya tampak lebih murung daripada biasanya. Ia mengenakan selendang sutra tipis yang melingkar anggun di tubuhnya, namun matanya yang biasanya penuh ketenangan kini dipenuhi oleh bayangan kekhawatiran."Kau belum tidur?" tanyanya pelan, suaranya seperti bisikan angin malam.Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangannya. "Aku... hany

    Last Updated : 2025-02-06
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 13: INTRIK POLITIK

    Matahari pagi mulai naik tinggi di atas istana Gilingwesi, menyelimuti halaman dalam dengan cahaya emas yang lembut. Namun, suasana di balik dinding-dinding batu istana tidak sesegar udara pagi itu. Di ruang perpustakaan kuno, Ki Jagabaya duduk di depan meja kayu besar yang penuh dengan gulungan naskah tua dan artefak-artefak kuno. Matanya yang tajam memindai setiap simbol dan aksara pada dokumen-dokumen tersebut, mencari petunjuk apa pun tentang Raka—Orang dari Kala Lain.Arya Kertajaya berdiri di sisi lain ruangan, lengan terlipat di dada, wajahnya serius namun penuh keteguhan. Ia menatap Ki Jagabaya dengan ekspresi sabar, meskipun ada rasa tidak puas yang samar-samar terlihat di matanya."Apakah kau sudah menemukan sesuatu?" tanya Arya akhirnya, suaranya rendah namun penuh urgensi.Ki Jagabaya mengangkat kepala, matanya menyipit saat ia menatap Arya. "Ada banyak hal yang tidak masuk akal tentang pemuda itu," katanya pelan. "Kedatangannya di hutan kita bukanlah kebetulan. Ia memilik

    Last Updated : 2025-02-06

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status