Home / Fantasi / Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir / BAB 3: PENYELAMATAN OLEH DYAH SULASTRI

Share

BAB 3: PENYELAMATAN OLEH DYAH SULASTRI

last update Last Updated: 2025-02-03 10:00:05

Prajurit-prajurit itu semakin mengepung Raka, tombak mereka teracung ke arahnya dengan sikap defensif. Raka mencoba menjelaskan dirinya sekali lagi, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh protes dan bisikan prajurit yang semakin curiga. Cahaya samar dari kamera di tangan salah satu prajurit masih memancar, membuat suasana semakin mencekam.

"Kalian harus percaya padaku!" seru Raka putus asa, suaranya bergetar. "Aku bukan penyihir atau mata-mata! Aku hanya tersesat!"

Namun, kata-katanya tidak dihiraukan. Prajurit pemimpin kelompok itu mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada yang lain untuk segera menangkap Raka. "Cukup! Bawa dia ke istana. Resi Agung Darmaja akan memutuskan apakah dia layak hidup atau tidak."

Beberapa prajurit langsung maju, menahan lengan Raka dengan erat. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya masih lemah setelah perjalanan panjang di dunia asing ini. Saat ia merasa semua harapan hilang, sebuah suara tegas memecah ketegangan.

"Hentikan!" teriak seseorang dari balik pepohonan.

Semua kepala menoleh ke arah suara itu. Dari balik bayang-bayang pepohonan, muncul seorang wanita muda dengan pakaian elegan namun sederhana—gaun panjang berwarna biru keunguan dengan bordir emas yang rumit. Wajahnya anggun, matanya besar dan penuh rasa ingin tahu, serta sorotannya yang tajam seolah bisa membaca pikiran orang lain. Di pinggangnya tergantung pedang pendek yang tampak lebih sebagai simbol status daripada senjata biasa.

Dyah Sulastri melangkah mendekat dengan tenang, tetapi ada keraguan singkat di matanya saat ia melihat Raka. Seolah-olah ia sedang mempertimbangkan sesuatu yang penting sebelum akhirnya memutuskan untuk campur tangan.

"Dyah Sulastri!" seru salah satu prajurit, suaranya penuh hormat. Mereka segera menundukkan kepala, memberi penghormatan kepada sang putri.

Dyah Sulastri melangkah mendekat, matanya tertuju pada Raka. Ia memperhatikan pakaian anehnya, barang-barang modern yang tersebar di tanah, dan cahaya samar dari kamera yang masih memancar. Ekspresinya bercampur antara rasa penasaran dan waspada.

"Apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya, suaranya tegas namun tenang. Matanya menyapu para prajurit, kemudian kembali ke Raka.

"Putri," jawab pemimpin prajurit, membungkuk hormat. "Kami menemukan pria ini di hutan. Pakaian dan barang-barangnya aneh, dan ia membawa alat-alat yang tidak kami kenal. Kami yakin ia adalah mata-mata atau penyihir dari kerajaan musuh."

Dyah Sulastri mengangkat alisnya, lalu melangkah mendekat ke arah Raka. Ia memeriksa wajahnya dengan seksama, seolah mencoba membaca jiwanya. "Apakah kau benar-benar mata-mata?" tanyanya, suaranya lebih lembut namun tetap tajam.

"Tidak, Putri," jawab Raka cepat, mencoba menatap matanya dengan penuh keyakinan. "Aku... aku hanya seorang pelancong. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini. Aku tersesat."

Dyah Sulastri terdiam sejenak, matanya menyipit seolah mencerna kata-katanya. Lalu, ia menoleh ke arah prajurit-prajurit itu. "Lepaskan dia," katanya tegas. "Dia milik kerajaan sekarang."

Para prajurit saling bertukar pandang, wajah mereka penuh keraguan. Salah satu prajurit berbisik kepada rekannya, "Kenapa Putri begitu tertarik pada pria asing ini? Apakah dia membawa kutukan bagi kerajaan?"

"Cukup!" potong Dyah Sulastri, suaranya meninggi. "Aku yang memutuskan nasibnya. Jika dia membawa kutukan atau bahaya bagi kerajaan, maka itu adalah tanggung jawabku. Sekarang, lepaskan dia."

Prajurit-prajurit itu akhirnya menurut, meskipun dengan enggan. Mereka melepaskan Raka, tetapi tetap mengawasinya dengan waspada. Raka menghela napas lega, tetapi ia tahu bahwa situasinya belum sepenuhnya aman.

"Terima kasih, Putri," kata Raka pelan, suaranya penuh rasa syukur. "Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu."

Dyah Sulastri menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mencoba memahami siapa Raka sebenarnya. "Jangan berterima kasih dulu," katanya dingin. "Kau belum bebas. Kau akan ikut denganku ke istana. Di sana, kita akan memutuskan apa yang harus dilakukan denganmu."

Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh ketidakpastian. Dyah Sulastri melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada prajurit untuk melanjutkan perjalanan. Ia sendiri berjalan di depan, diikuti oleh Raka dan para prajurit.

Selama perjalanan, Dyah Sulastri sesekali menoleh ke arah Raka, matanya penuh rasa ingin tahu. "Kau bicara dengan aksen aneh," katanya akhirnya, memecah keheningan. "Dan pakaianmu... tidak seperti apa pun yang pernah kulihat. Dari mana kau berasal?"

Raka ragu sejenak, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Aku berasal dari tempat yang sangat jauh," jawabnya pelan. "Sebuah tempat yang mungkin tidak akan kau pahami."

Dyah Sulastri tersenyum tipis, seolah menangkap maksud perkataannya. "Mungkin kau benar. Tapi aku penasaran. Apa nama tempatmu? Dan bagaimana kau bisa sampai di sini?"

Raka menghela napas panjang. "Namanya... sulit dijelaskan. Aku sendiri tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini. Yang aku tahu, aku menemukan sebuah artefak aneh—sebuah cermin perunggu. Setelah menyentuhnya, aku... tersadar di sini."

Dyah Sulastri terdiam sejenak, matanya melebar karena terkejut. Ia bergumam pelan, nyaris tak terdengar, "Gerbang Kala... telah terbuka lagi..."

"Gerbang Kala?" tanya Raka, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Apa itu?"

Dyah Sulastri tidak langsung menjawab. Ia menatap Raka dengan tatapan penuh rahasia, seolah menyadari sesuatu yang penting. "Kau akan menjelaskan semuanya di istana," katanya akhirnya, suaranya dingin namun penuh otoritas. "Resi Agung Darmaja pasti ingin mendengar ceritamu."

Raka mengangguk pelan, meskipun ia merasa cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ia juga merasa lega karena Dyah Sulastri telah menyelamatkannya—setidaknya untuk saat ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status