Siap, kita lanjut ke:
--- Bab 6: Penjaga Gerbang Waktu Reyhan terdiam, tubuhnya bergetar. Matanya berkedip cepat seolah sedang melawan sesuatu dari dalam. Arsita menggenggam bahu rey dengan erat, membisikkan namanya berulang - ulang kali. “Rey… kamu masih di sini, kan?” Reyhan tiba-tiba menjerit — suara yang keluar bukan hanya satu, tapi dua. Satu suaranya sendiri, satu lagi… suara yang sama persis, hanya terdengar lebih dingin dan sinis. > “Aku bukan dia. Tapi aku dari dia. Dan jika waktunya tiba, hanya salah satu dari kami yang boleh hidup.” jawab rey yang terdengar tidak biasa. --- Risa menyeringai. “Itu tanda jiwa ganda. Lahir saat gerhana total berarti dia memiliki dua roh dalam satu wadah: satu dari dunia ini, satu lagi dari dunia pantulan.” Arsita menatap Reyhan dengan ngeri. “Dan kalau dua-duanya aktif?” Risa mengangkat bahu dan menjawab dengan santai. “Salah satunya harus mati. Atau keduanya akan membelah dunia jadi dua.” --- Mereka kembali ke masa kini lewat cermin waktu, tapi tidak sendirian. Reyhan kini mulai menunjukkan gejala yang makin mengkhawatirkan: sering pingsan, matanya berubah warna saat malam, dan muncul bekas luka membentuk simbol di punggungnya tanpa alasan. Arsita mulai mencari informasi dari Codex Reflekta. Dalam bab tersembunyi yang hanya muncul di bawah cahaya lilin merah, ia menemukan keterangan: > “Penjaga Gerbang Waktu hanya bisa dikendalikan oleh ‘Segel Ruh’ — mantra kuno yang harus dibacakan oleh penyeberang jiwa.” Masalahnya: tidak ada lagi yang tahu siapa penyeberang jiwa… kecuali satu orang: wanita bernama Ni Luh Gendis, yang tinggal di desa terpencil di Bali. --- Perjalanan ke Bali Desa Tenganan Pegringsingan menjadi tujuan mereka. Desa tua yang masih menjaga adat dan rahasia leluhur. Mereka bertemu Ni Luh Gendis, seorang perempuan berusia hampir 80 tahun, tapi matanya jernih dan tajam. Sungguh sesuatu yang diluar dugaan Arsita. “Aku tahu kalian akan datang. Dunia sudah retak. Dan penjaga waktu telah bangun.” seru Ni Luh Gendis. Gendis mengaku bahwa ia adalah keturunan terakhir dari garis pelindung “Watu Karna”, segel yang menjaga pintu dimensi. Ia menjelaskan: > “Gerhana yang melahirkan Reyhan bukan kebetulan. Ia dipilih. Tapi ada dua takdir untuknya: jadi Penjaga... atau jadi Kunci Kehancuran.” Penjelasan dari Ni Luh Gendis membuat Arsita terpaku ditempat. --- Ritual Segel Ruh Gendis mempersiapkan ritual di tengah hutan, dengan tiga lilin merah, sebuah pisau perak, dan cermin kecil dari abad ke-13. Reyhan duduk di tengah lingkaran garam, matanya sudah mulai berkabut. Gendis memberi peringatan: > “Jika jiwa dari dimensi lain lebih kuat… Reyhan yang kalian kenal tidak akan kembali.” Arsita menatap Reyhan, air matanya hampir jatuh. “Kalau harus memilih… gue rela kehilangan dia, asal dunia gak hancur.” Risa, yang entah dari mana muncul, berkata pelan, “Pilihan yang indah. Tapi sayangnya, rasa sayangmu yang akan menghancurkan semuanya…” Dan tiba-tiba — REYHAN BANGKIT. --- Matanya hitam sepenuhnya. Suaranya dalam dan memantul seperti gema. > “Aku bukan Reyhan. Aku Ráven. Dari dimensi keempat. Dan aku sudah menunggu ribuan tahun untuk hidup di dunia ini.” Ia mengangkat tangannya. Garis-garis cahaya muncul di langit, membentuk pola gerhana penuh. Tanah bergetar. Udara menegang. Risa menatap Arsita dan tersenyum puas. “Satu gerbang lagi terbuka. Dan setelah itu, hanya satu dunia yang akan bertahan…” --- To Be Continued… ---Siap, kita lanjut ke:---Bab 10: Dunia Tanpa ArsitaDua bulan setelah Gerbang Ketujuh tertutup, dunia perlahan-lahan kembali seperti semula.Jakarta tak lagi dipenuhi kabut gelap seperti sebelumnya. Orang-orang kembali bekerja, sekolah, berkumpul — seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.Tapi bagi Reyhan, dunia tak pernah benar-benar kembali normal.Ia duduk sendiri di taman Menteng, memandangi cermin kecil yang selalu ia bawa ke mana pun: cermin yang dulunya milik Arsita, namun sekarang ada pada dirinya.Cermin itu kini buram. Tapi sesekali, di sudutnya, muncul bayangan samar — seperti senyum seseorang yang sangat ia kenal.> “Lo janji buat balik… Tapi gue tahu lo gak bisa.” gumam Reyhan dengan perasaan yang kacau.---Perubahan dalam diri ReyhanReyhan bukan lagi pria biasa. Setelah tersentuh oleh Dimensi Kelima dan nyaris diserap oleh Kaelis, ia membawa sesuatu yang aneh dalam dirinya:memori dari semua versi dirinya di dunia paralel.Ia bermimpi tentang kehidupannya sebagai te
Siap, kita lanjut ke:---Bab 9: Dimensi Ketujuh — Dunia Tanpa AturanArsita membuka mata. Tapi ia tidak merasakan apa pun — tidak gravitasi, tidak suara, bahkan tidak detak jantungnya sendiri.Sekelilingnya gelap, tapi bukan kegelapan biasa. Ini adalah kegelapan yang hidup, yang berdenyut seperti sedang bernapas.> “Selamat datang di Dimensi Ketujuh,” suara tak dikenal bergaung di dalam pikirannya. “Di sini, waktu adalah ilusi. Diri adalah pilihan. Dan ingatan… bisa dibeli.”---Ruangan Tanpa ArahIa melayang di ruang kosong, lalu tiba-tiba tanah muncul di bawah kakinya — terbuat dari pasir yang terasa seperti air.Bangunan mulai terbentuk di sekelilingnya, bukan karena ada konstruksi, tapi karena Arsita mengingatnya.Kelas SMA-nya. Lorong rumah sakit. Kamar Reyhan.Setiap memori menciptakan realitas.> “Kamu bisa tinggal di sini selamanya, kalau mau,” suara itu lagi. “Jadi versi dirimu yang paling bahagia. Tanpa luka. Tanpa kehilangan.”Tapi Arsita tahu… itu jebakan.---Pertemuan d
Siap, kita masuk ke:---Bab 8: Peperangan yang TerselubungSaat Arsita kembali dari dimensi kelima, dunia yang ia kenal sudah mulai berubah.Langit Jakarta berwarna kelabu permanen. Orang-orang berjalan cepat dengan tatapan kosong, seolah sedang dikendalikan oleh pola pikir yang sama. Di layar-layar raksasa kota, tayangan propaganda mulai muncul:> "Keseimbangan telah datang. Berterima kasihlah pada pantulanmu."Arsita terhuyung saat menjejakkan kaki di realitasnya sendiri. Tapi dia tidak sendirian. Dari balik bayangan, Ni Luh Gendis muncul, dibantu seorang pria asing dengan jas hitam dan kalung logam: Jonathan Blackwell, mantan anggota Kaleidos cabang London yang membelot.> “Kamu bawa sesuatu dari sana?” tanya Jonathan tanpa basa-basi.Arsita mengangguk pelan. Dari dalam kantong bajunya, ia mengeluarkan kepingan kristal reflektum, kunci yang bisa menyegel atau membuka permanen Gerbang Antar Dimensi.---Ráven/“Reyhan” kini sudah jadi figur pemujaan di kalangan para pengikut Kaleido
Oke, kita lanjut ke:---Bab 7: Pantulan yang HidupLangit berubah menjadi merah tua. Matahari seolah menghilang, digantikan oleh lingkaran cahaya gelap — gerhana total yang tidak seharusnya terjadi hari itu.Burung-burung menghilang. Jam-jam berhenti berdetak.Waktu… membeku.Reyhan — atau Ráven, seperti ia menyebut dirinya — berdiri tegak di tengah ritual yang gagal dihentikan. Dari tubuhnya keluar gelombang energi hitam, membuat pohon-pohon sekitar membusuk dalam sekejap.> “Gerbang Ketiga telah dibuka,” gumamnya, “dan dimensi kelima… sudah mengirim panggilannya.”Ni Luh Gendis jatuh bersimpuh, tubuhnya melemah. “Dia terlalu kuat… waktu kita hampir habis…”---Arsita menggigit bibirnya. Ia tahu, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Reyhan adalah menyeberang sendiri ke dimensi kelima. Tapi belum ada yang pernah kembali dari sana utuh.Risa berdiri di pinggir lingkaran ritual dan berkata, seolah tahu isi hati Arsita:> “Kamu bisa pergi ke sana, Sita. Tapi jangan kaget kalau kamu ma
Siap, kita lanjut ke:---Bab 6: Penjaga Gerbang WaktuReyhan terdiam, tubuhnya bergetar. Matanya berkedip cepat seolah sedang melawan sesuatu dari dalam. Arsita menggenggam bahu rey dengan erat, membisikkan namanya berulang - ulang kali.“Rey… kamu masih di sini, kan?”Reyhan tiba-tiba menjerit — suara yang keluar bukan hanya satu, tapi dua. Satu suaranya sendiri, satu lagi… suara yang sama persis, hanya terdengar lebih dingin dan sinis.> “Aku bukan dia. Tapi aku dari dia. Dan jika waktunya tiba, hanya salah satu dari kami yang boleh hidup.” jawab rey yang terdengar tidak biasa. ---Risa menyeringai. “Itu tanda jiwa ganda. Lahir saat gerhana total berarti dia memiliki dua roh dalam satu wadah: satu dari dunia ini, satu lagi dari dunia pantulan.”Arsita menatap Reyhan dengan ngeri. “Dan kalau dua-duanya aktif?”Risa mengangkat bahu dan menjawab dengan santai. “Salah satunya harus mati. Atau keduanya akan membelah dunia jadi dua.”---Mereka kembali ke masa kini lewat cermin waktu, t
--- Bab 5: Jakarta, 1967 Cahaya cermin itu menyilaukan. Rasanya seperti ditarik oleh pusaran angin dingin yang menembus tulang. Saat Arsita membuka matanya, ia tergeletak di atas trotoar basah. Suara klakson mobil tua dan aroma knalpot menyengat menandakan satu hal: ini bukan Jakarta sekarang. Di seberangnya, terlihat spanduk besar bertuliskan: “Selamat Datang Mahasiswa Baru – Universitas Nusantara, 1967” Arsita bangkit, lalu melihat sekeliling. Reyhan muncul tak lama kemudian, wajahnya linglung. “Kita… beneran balik ke masa lalu?” Risa berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan pakaian seperti mahasiswi era 60-an, rambut disanggul rapi. Ia tersenyum penuh kemenangan. > “Selamat datang di titik awal. Di sinilah kultus Kaleidos lahir. Dan di sinilah semua kebenaran dikubur.” --- Mereka menyusuri halaman kampus lama yang masih berdiri megah. Gedung tua yang di masa depan sudah jadi bangunan rusak, kini terlihat bersih dan sibuk. Mahasiswa-mahasiswi berlalu lalang. Tapi ada aura
--- Arsita terbangun di sebuah ruangan asing. Dindingnya terbuat dari batu gelap yang mengkilap seperti obsidian, dan udara di sekeliling terasa… berat, seperti menyerap suara. Reyhan tergeletak tak jauh darinya, wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Ia mendekat, mengguncang tubuh Reyhan perlahan. “Rey, bangun… kita masih di sini. Kita belum kembali.” Suara langkah menggema dari balik lorong gelap. Arsita refleks berdiri, mengambil pecahan kaca dari lantai sebagai senjata. Dari kegelapan, muncul empat sosok berjubah merah tua dengan wajah ditutupi topeng perak. Salah satu dari mereka berbicara, suaranya seperti gema dari dua dunia: > “Kamu telah membuka batas pertama, Penjaga Ketiga. Tapi belum semuanya. Masih ada dua kunci lagi.”Arsita menatap mereka dengan dingin. “Apa yang kalian mau?” Sosok berjubah mengangkat tangan dan menunjuk Reyhan. “Darah penghubung. Dia lahir di momen gerhana. Jiwanya bisa membuka Lapisan Keempat. Tapi kamu…” Ia mendekat, dan topengnya memantulkan wa
---Hujan mengguyur kota Jakarta seperti ada yang ingin disapu bersih dari permukaannya. Arsita duduk membeku di kursi ruang tamu, matanya terpaku pada cermin berdarah yang muncul kembali entah dari mana. Suara itu masih terngiang:> “Selamat datang di Kaleidos…”Tangannya gemetar saat mencoba memotret cermin itu. Tapi saat ia cek galeri, yang muncul bukan cermin—melainkan foto dirinya tertawa di lorong gelap dengan latar belakang menara jam yang tak pernah ia kunjungi. Di bagian bawah foto, tertulis:> “Reuni akan segera dimulai.”---Keesokan harinya, kampus lebih sunyi dari biasanya. Arsita berjalan cepat melewati lorong utama menuju basement tua, mengikuti firasat aneh yang seakan memandunya. Setiap langkah terasa seperti ditarik, bukan berjalan.Di ruang bawah tanah itu, di balik rak tua dan peralatan lapuk, ia menemukan pintu besi berkarat yang sebelumnya tak pernah ia lihat. Di atasnya, tertulis dalam bahasa Latin:> “Speculum Tertius.”(Cermin Ketiga)Tepat ketika ia menyentuh
--- “Kadang, pantulan bukanlah bayanganmu. Tapi sesuatu yang ingin menggantikanmu.” Hujan masih membasahi jendela apartemen ketika Arsita terbangun dengan napas tersengal. Jam dinding menunjukkan pukul 03:17 dini hari. Cahaya kilat dari luar sesekali menembus tirai dan membuat bayangan cermin besar di sudut ruangan tampak hidup. Dia menatap ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada versi gelap dirinya. Tidak ada suara. Tidak ada listrik. Tapi… cermin itu retak sedikit di bagian kiri atas. Padahal sebelumnya mulus. Arsita berdiri pelan, mendekatinya. Retakannya berbentuk seperti mata yang mengintip dari balik tirai. “Gila,” bisiknya, mencoba menenangkan diri. “Mungkin gue halu. Kurang tidur. Overwork. Atau…” Kilatan kilat menyambar lagi. Di pantulan cermin, lampu apartemen menyala. Tapi kenyataannya masih mati total. Dan di pantulan itu, terlihat sosok lelaki berdiri di dapur. “Siapa lo?” gumam Arsita, berbalik. Tapi dapurnya kosong. Dia tatap lagi cermin itu —