Seorang wanita dewasa bernama Arsita Damar, seorang arkeolog dan dosen di Jakarta, menemukan sebuah cermin tua dari abad ke-17 di ruang bawah tanah universitas. Tanpa sadar, cermin itu adalah portal menuju dunia paralel — dunia yang terlihat sama, tapi diatur oleh kultus rahasia bernama Kaleidos, yang menyembah entitas kuno bernama “Yang Terpantul”. Semakin jauh ia masuk ke dunia itu, semakin ia menemukan kenyataan bahwa: Versi dirinya di dunia paralel adalah pemimpin kultus. Orang-orang di sekelilingnya punya versi lain yang jahat, atau sebaliknya. Semua dunia itu saling terhubung oleh cermin-cermin tertentu yang tersebar di berbagai belahan dunia — termasuk Jepang, Islandia, dan Indonesia Timur. Dan rahasia terbesarnya: > Dunia paralel bukan hanya dua. Ada lebih dari tiga. Dan di salah satunya, waktu berjalan mundur.
View MorePagi itu langit Jakarta mendung, seolah ikut menyimpan rahasia besar yang belum waktunya terbongkar. Di dalam lorong yang sempit tepatnya di Fakultas Arkeologi Universitas Bahana Nusantara, langkah kaki seorang wanita terdengar mantap memecah keheningan lorong tersebut, meski pikiran wanita itu jauh lebih gaduh daripada suara sepatunya yang beradu dengan lantai.
Namanya Arsita Damar usia 34 tahun. Dosen muda yang dikenal galak di kelas tapi selalu punya magnet misterius di mata setiap mahasiswanya. Bukan karena gaya bicaranya yang cepat dan tajam. Tapi karena ia sering bicara tentang sejarah dengan cara yang membuat siapa pun jadi penasaran, seperti sedang mengupas kisah horor. Dan pagi ini, ia dipanggil oleh kepala departemen tempat dia mengajar untuk melihat sesuatu yang baru saja ditemukan dari gudang bawah tanah kampus. “Di bawah rak peta tua,” jelas Pak Gino, staf tertua di kampus yang sudah kerja dari era Orde Baru. “Ada sesuatu yang… agak aneh, Bu.” Mereka menuruni tangga tua menuju ruang bawah tanah kampus. Udara di sana berdebu dan lembap, bau jamur bercampur aroma kertas lama dan karat besi. Tapi bukan itu yang membuat Arsita merinding. Ada hawa lain—dingin tapi bukan dingin biasa. Lebih seperti… dingin yang memeluk dari dalam. Dan di tengah ruangan itu, berdiri sebuah cermin besar. Tingginya sekitar dua meter, bingkainya dari kayu hitam yang diukir rumit seperti akar pohon yang melingkar dan mencengkeram. Cermin itu tertutup debu tebal, tapi tetap memantulkan bayangan samar ruangan di sekitarnya. Cermin itu juga terlihat tidak seperti cermin pada umumnya dan memberikan kesan misteri mendalam yang meminta untuk di pelajari. Arsita menatapnya lama. “Ini dari mana pak?” bisiknya. Pak Gino geleng kepala. “Kami juga baru tahu bu. Tadi pagi pas bersih-bersih, rak tua roboh, terus ini kelihatan. Kayaknya udah puluhan tahun nggak tersentuh.” Arsita berjalan pelan ke depan cermin, dan saat ia berdiri tepat di depannya… bayangan dirinya tidak ikut bergerak. Ia berkedip. Bayangannya tidak. Ia angkat tangan kiri. Bayangannya mengangkat tangan kanan. Ia mundur satu langkah. Bayangannya tetap di tempat. Napasnya tercekat. “Pak Gino…” Pak Gino menoleh. “Iya, Bu?” Tapi saat Arsita melihat ke arahnya—Pak Gino tidak ada. Ruangan tiba-tiba kosong. Gelap. Dan hanya ada suara… seperti bisikan, tapi dari dalam kepala. > “Selamat datang kembali, Arsita…” Ia menoleh ke cermin. Bayangan itu sekarang tersenyum. Tapi wajahnya bukan seperti wajahnya sekarang. Rambut lebih panjang. Bibirnya merah menyala. Dan matanya… hitam total, tak ada putihnya sama sekali. Arsita mundur dengan cepat, hampir tersandung. Ia menoleh ke pintu—dan sekarang Pak Gino muncul lagi, berdiri di ambang pintu seperti tak terjadi apa-apa. “Bu? Ibu nggak apa-apa?” tanya pak gino kemudian Arsita diam beberapa detik, menelan ludah, lalu mengangguk. “Nggak. Cuma… pusing sedikit.” --- Malam itu, hujan turun dengan sangat deras. Arsita duduk di ruang tamunya, menatap cermin yang kini berdiri di sudut apartemennya. Ya, dia membawanya pulang. Mungkin itu keputusan yang bodoh. Tapi rasa penasarannya terlalu besar. Dan entah kenapa, ia merasa ada bagian dari dirinya yang harus melihat cermin itu lagi. Ia menyentuh permukaannya. Dingin. Tapi jernih. Kali ini, pantulan dirinya terlihat normal. Sampai ia berkedip. Karena saat itu—pantulannya tidak ikut berkedip. Dan kemudian cermin itu bergetar. Dari dalamnya, muncul suara. Bukan bisikan. Tapi suara seseorang. Suara perempuan. > “Kamu pikir kamu satu-satunya?” ucap perempuan dari dalam cermin itu. Listrik di apartemen arsita seketika padam, gelap total dan terasa mencekam. Arsita mengambil ponselnya, kemudian menyalakan senter. Tapi saat ia arahkan senter tersebut ke cermin—cerminnya kosong. Tak ada pantulan. Tak ada dirinya. Ia berbalik dan membeku di tempat melihat sesuatu yang berada tepat di belakangnya, ada seseorang yang berdiri Versi dirinya. Tapi bukan dirinya. Versi yang menyeramkan dengan Mata hitam, bibir robek, dan mengenakan jubah merah penuh simbol aneh. “Sudah waktunya, Arsita,” katanya. Lalu semuanya gelap.Siap, kita lanjut ke:---Bab 10: Dunia Tanpa ArsitaDua bulan setelah Gerbang Ketujuh tertutup, dunia perlahan-lahan kembali seperti semula.Jakarta tak lagi dipenuhi kabut gelap seperti sebelumnya. Orang-orang kembali bekerja, sekolah, berkumpul — seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.Tapi bagi Reyhan, dunia tak pernah benar-benar kembali normal.Ia duduk sendiri di taman Menteng, memandangi cermin kecil yang selalu ia bawa ke mana pun: cermin yang dulunya milik Arsita, namun sekarang ada pada dirinya.Cermin itu kini buram. Tapi sesekali, di sudutnya, muncul bayangan samar — seperti senyum seseorang yang sangat ia kenal.> “Lo janji buat balik… Tapi gue tahu lo gak bisa.” gumam Reyhan dengan perasaan yang kacau.---Perubahan dalam diri ReyhanReyhan bukan lagi pria biasa. Setelah tersentuh oleh Dimensi Kelima dan nyaris diserap oleh Kaelis, ia membawa sesuatu yang aneh dalam dirinya:memori dari semua versi dirinya di dunia paralel.Ia bermimpi tentang kehidupannya sebagai te
Siap, kita lanjut ke:---Bab 9: Dimensi Ketujuh — Dunia Tanpa AturanArsita membuka mata. Tapi ia tidak merasakan apa pun — tidak gravitasi, tidak suara, bahkan tidak detak jantungnya sendiri.Sekelilingnya gelap, tapi bukan kegelapan biasa. Ini adalah kegelapan yang hidup, yang berdenyut seperti sedang bernapas.> “Selamat datang di Dimensi Ketujuh,” suara tak dikenal bergaung di dalam pikirannya. “Di sini, waktu adalah ilusi. Diri adalah pilihan. Dan ingatan… bisa dibeli.”---Ruangan Tanpa ArahIa melayang di ruang kosong, lalu tiba-tiba tanah muncul di bawah kakinya — terbuat dari pasir yang terasa seperti air.Bangunan mulai terbentuk di sekelilingnya, bukan karena ada konstruksi, tapi karena Arsita mengingatnya.Kelas SMA-nya. Lorong rumah sakit. Kamar Reyhan.Setiap memori menciptakan realitas.> “Kamu bisa tinggal di sini selamanya, kalau mau,” suara itu lagi. “Jadi versi dirimu yang paling bahagia. Tanpa luka. Tanpa kehilangan.”Tapi Arsita tahu… itu jebakan.---Pertemuan d
Siap, kita masuk ke:---Bab 8: Peperangan yang TerselubungSaat Arsita kembali dari dimensi kelima, dunia yang ia kenal sudah mulai berubah.Langit Jakarta berwarna kelabu permanen. Orang-orang berjalan cepat dengan tatapan kosong, seolah sedang dikendalikan oleh pola pikir yang sama. Di layar-layar raksasa kota, tayangan propaganda mulai muncul:> "Keseimbangan telah datang. Berterima kasihlah pada pantulanmu."Arsita terhuyung saat menjejakkan kaki di realitasnya sendiri. Tapi dia tidak sendirian. Dari balik bayangan, Ni Luh Gendis muncul, dibantu seorang pria asing dengan jas hitam dan kalung logam: Jonathan Blackwell, mantan anggota Kaleidos cabang London yang membelot.> “Kamu bawa sesuatu dari sana?” tanya Jonathan tanpa basa-basi.Arsita mengangguk pelan. Dari dalam kantong bajunya, ia mengeluarkan kepingan kristal reflektum, kunci yang bisa menyegel atau membuka permanen Gerbang Antar Dimensi.---Ráven/“Reyhan” kini sudah jadi figur pemujaan di kalangan para pengikut Kaleido
Oke, kita lanjut ke:---Bab 7: Pantulan yang HidupLangit berubah menjadi merah tua. Matahari seolah menghilang, digantikan oleh lingkaran cahaya gelap — gerhana total yang tidak seharusnya terjadi hari itu.Burung-burung menghilang. Jam-jam berhenti berdetak.Waktu… membeku.Reyhan — atau Ráven, seperti ia menyebut dirinya — berdiri tegak di tengah ritual yang gagal dihentikan. Dari tubuhnya keluar gelombang energi hitam, membuat pohon-pohon sekitar membusuk dalam sekejap.> “Gerbang Ketiga telah dibuka,” gumamnya, “dan dimensi kelima… sudah mengirim panggilannya.”Ni Luh Gendis jatuh bersimpuh, tubuhnya melemah. “Dia terlalu kuat… waktu kita hampir habis…”---Arsita menggigit bibirnya. Ia tahu, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Reyhan adalah menyeberang sendiri ke dimensi kelima. Tapi belum ada yang pernah kembali dari sana utuh.Risa berdiri di pinggir lingkaran ritual dan berkata, seolah tahu isi hati Arsita:> “Kamu bisa pergi ke sana, Sita. Tapi jangan kaget kalau kamu ma
Siap, kita lanjut ke:---Bab 6: Penjaga Gerbang WaktuReyhan terdiam, tubuhnya bergetar. Matanya berkedip cepat seolah sedang melawan sesuatu dari dalam. Arsita menggenggam bahu rey dengan erat, membisikkan namanya berulang - ulang kali.“Rey… kamu masih di sini, kan?”Reyhan tiba-tiba menjerit — suara yang keluar bukan hanya satu, tapi dua. Satu suaranya sendiri, satu lagi… suara yang sama persis, hanya terdengar lebih dingin dan sinis.> “Aku bukan dia. Tapi aku dari dia. Dan jika waktunya tiba, hanya salah satu dari kami yang boleh hidup.” jawab rey yang terdengar tidak biasa. ---Risa menyeringai. “Itu tanda jiwa ganda. Lahir saat gerhana total berarti dia memiliki dua roh dalam satu wadah: satu dari dunia ini, satu lagi dari dunia pantulan.”Arsita menatap Reyhan dengan ngeri. “Dan kalau dua-duanya aktif?”Risa mengangkat bahu dan menjawab dengan santai. “Salah satunya harus mati. Atau keduanya akan membelah dunia jadi dua.”---Mereka kembali ke masa kini lewat cermin waktu, t
--- Bab 5: Jakarta, 1967 Cahaya cermin itu menyilaukan. Rasanya seperti ditarik oleh pusaran angin dingin yang menembus tulang. Saat Arsita membuka matanya, ia tergeletak di atas trotoar basah. Suara klakson mobil tua dan aroma knalpot menyengat menandakan satu hal: ini bukan Jakarta sekarang. Di seberangnya, terlihat spanduk besar bertuliskan: “Selamat Datang Mahasiswa Baru – Universitas Nusantara, 1967” Arsita bangkit, lalu melihat sekeliling. Reyhan muncul tak lama kemudian, wajahnya linglung. “Kita… beneran balik ke masa lalu?” Risa berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan pakaian seperti mahasiswi era 60-an, rambut disanggul rapi. Ia tersenyum penuh kemenangan. > “Selamat datang di titik awal. Di sinilah kultus Kaleidos lahir. Dan di sinilah semua kebenaran dikubur.” --- Mereka menyusuri halaman kampus lama yang masih berdiri megah. Gedung tua yang di masa depan sudah jadi bangunan rusak, kini terlihat bersih dan sibuk. Mahasiswa-mahasiswi berlalu lalang. Tapi ada aura
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments