Share

Bab 5

Author: Putkerr
last update Last Updated: 2022-01-18 09:41:24

Melihat Airin dan Raihan keluar dari kamar setelah berjam-jam, menimbulkan dua perasaan yang bertolak belakang dalam hati Bu Dewi, Ibunda Raihan. Satu sisi ia lega, putranya tidak melakukan hal buruk, namun di sisi lain, ia juga khawatir.

Setelah ada celetukan kerabatnya untuk menikahkan mereka berdua, dia khawatir. Khawatir karena dalam keputusan hatinya yang paling dalam, ia setuju dengan kerabatnya itu, tapi kondisi saat ini juga begitu mengkhawatirkannya. 

Tapi .. Jika Airin jauh dari Raihan, Bu Dewi tidak tahu hal apa yang akan terjadi nanti karena Raihan jelas akan menjadi penyendiri. Dia tidak tahu harus mengandalkan siapa lagi, karena hingga saat ini, hanya Airin yang dapat diandalkan untuk mempercayakan Raihan padanya.

Dia memutuskan untuk keluar, mengikuti Raihan dan Airin.

Saat sampai di teras balkon, Airin meninggalkan Raihan sendirian, mematung di sana. Bu Dewi mengikutinya yang ternyata ia ke dapur. 

Saat di dapur, Bu Dewi hanya bisa menatap Airin tanpa bisa menanyakan apapun. Mereka saling berpandangan. Dengan yang satu pandangannya sembab khawatir, dan satunya lagi kosong tanpa ada harapan.

Dalam diam, hanya dengan pandangan mata, seolah-olah masing-masing dari mereka berkata ‘Tidak ada sesuatu yang sedang baik-baik saja’. Semua rencana berantakan, harapan tiba-tiba hilang, dan parahnya lagi, sama sekali tidak terlihat adanya jalan yang baik untuk mereka semua ke depan.

Siang yang cerah seolah redup karena keputus asaan mereka. Pada akhirnya, keduanya hanya bisa pasrah atas takdir yang datang kepada mereka.

Mereka tau, takdir seperti ini bukan secara tiba-tiba untuk mereka. Takdirnya sudah ditetapkan, datangnya pada kita yang kadang membuat putus harapan.

Bu Dewi menghampiri Airin yang sedang meneguk segelas air untuk menenangkan dirinya. Pasalnya ia tak bisa berbuat apapun kecuali merangkul pundaknya erat.

“Gimana?”

“Dia hampir bunuh diri.”

Bu Dewi sedikit terkejut, ternyata itu alasan kenapa banyak bercecer darah di kamar tadi. Hari pertama saja sudah berniat menghabisi nyawa, bagaimana kedepannya nanti? Tiba-tiba kepalanya pusing. 

Dia memandang Airin yang tampilannya sudah awut-awutan. Riasan yang bergelantungan di rambut yang sudah semrawut, make up yang sudah tak berbentuk karena tangisan, dan baju yang sudah tidak ada rapi-rapinya.

Bu Dewi melihat tangan Airin yang merah. Saat gadis itu berniat mencuci gelas yang digunakan barusan, Airin tiba-tiba menarik tangannya setelah tersiram air wastafel.

Akh..” Dia memegang telapak tangan kanan nya.

Mengetahui ternyata noda merah itu adalah darah yang mengering, Bu Dewi terbelalak dan segera mengambil kotak P3k yang ada di dalam rak dapur.

Dilihat dari lukanya, sangat jelas ini adalah luka sayatan pisau. Tidak .. Bukan sayatan, ini lebih seperti kamu sengaja menancapkan telapak tanganmu di atas pisau tajam.

Bu Dewi menekan telapak tangan Airin. 

“Aakkhh..” Desis Airin lebih nyaring.

Lukanya cukup dalam. Pikir Bu Dewi. Terlihat bagaimana Airin meringis begitu kesakitan hingga secara reflek mengeluarkan air mata.

Ibu Raihan melihat wajah gadis itu sendu, dia pikir, sudah tidak perlu diragukan lagi betapa Airin bisa melakukan apapun untuk kebaikan Raihan. Tapi di lain sisi dia juga bingung apakah benar dengan menyakiti dirinya sendiri seperti ini?

Diambilnya tangan Airin lagi, dibersihkan, lalu diperban seadanya.

“Kamu nyegah Raihan mati, tapi kamu sendiri mau mati.” Bu Dewi mulai membuka pembicaraan.

Airin tidak menjawab. Di pikirannya saat ini, dia kembali membayangkan bagaimana jika tadi Raihan benar-benar mati di depan matanya. 

Seperti Zahra tadi pagi.

Pada akhirnya Airin hanya menangis. Berusaha untuk tidak mengotori pikirannya di sela-sela bahan memperburuk pikirannya saat ini.

Sementara Bu Dewi, dalam pikirannya sudah terpusat satu tujuan penuh yang cukup yakin akan ia sampaikan pada Airin.

“Kenapa kamu sampe bikin tangan kamu hampir putus gini, Rin?”

“Raihan tadi udah masang persiapan buat potong nadi dihadapan Airin, Ma.” Airin lesu.

You.. too much u’ve do for him.” Bu Dewi mulai berdesis, mengatakan kata-kata yang membuat Airin semakin malas berlama-lama di sini.

“Udah, ma. Itu udah dulu banget, jangan dibahas lagi.” Airin mengalihkan pandangan menuju jendela. Kalimat yang akan dikatakan Bu Dewi setelah ini hanya akan membuatnya mengingat masa lalu yang mungkin terlalu menyakitkan untuk Raihan, daa itu jelas akan membuat Bu Dewi kembali mengingatnya juga.

“Gimana caranya mama bales kebaikan kamu selama ini, Rin?”

“Ma..” 

Airin lelah.

Tolong jangan bahas hal itu dulu.

“Kalo kamu gak ada juga mungkin Raihan 10 tahun yang lalu udah nggak sama mama.” Bu Dewi mulai menangis.

“Mama gak bisa jaga dia dengan baik, mama gak tau gimana kalo nggak ada kamu, Rin.”

Airin segera memeluknya. Dia terlalu sering mengungkit masa-masa dimana dia akan menganggap dirinya tidak becus menjadi seorang ibu untuk Raihan.

15 tahun yang lalu, di saat Raihan dan Airin masih duduk di bangku SMP, menjadi awal di mana Raihan menemukan titik balik hidupnya setelah kelam yang panjang ia pendam sendirian.

Bu Dewi masih mengingat betul bagaimana cerobohnya ia saat Raihan hampir celaka, tapi dirinya masih sibuk bekerja dan tidak memberi perhatian lebih kepada putranya. 

Masih terngiang jelas bagaimana berhari-hari ia bisa-bisanya tidak menerima kabar kehilangan anaknya hanya karena pekerjaan yang katanya untuk menghidupi keluarga.

Karena kejadian itu, Bu Dewi terus menerus merasa bersalah dan menyalahkan diri karena tidak bisa menjaga putranya dengan baik. Bahkan sampai putranya sembuh total seperti sebelum kejadian malam ini.

Mungkin setelah melihat darah bercucuran dan putranya yang tantrum tadi, ia kembali teringat pada masa kelam hari-hari itu. 

Ia mungkin takut malam-malam gelap kembali mencekam hidupnya yang dipenuhi rasa bersalah, sehingga ia tidak berani menghadapi putranya secara langsung.

Melihat wanita muda di depannya yang menjadi saksi segala ketakutannya sekaligus menjadi orang yang selalu ada untuk menyelesaikannya,

…bahkan termasuk hari ini juga, sepertinya ia sudah yakin tentang apa yang harus diungkapkannya sudah di ujung bibir.

“Rin..” Panggil Bu Dewi serius.

Airin langsung menolehkan wajahnya kepada Ibu dari sahabatnya itu, menanti apa yang akan ia katakan selanjutnya.

“Kamu yang bakal jadi pengantinnya Raihan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Chaos After Being With You   BAB 43 | Bertemu

    Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal selama 20 tahun, yang tanpa diduga dalam suatu hari, diiringi kejadian klise dan sangat tak bisa diterima logika kebenarannya, hanya berdiri mematung, saling berpandangan dalam diam. Tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka walau pandangan mata mereka saling berebut dan mencoba untuk mengatakan banyak hal dari sana.Airin tak pernah memandang Raihan selama ini. Sejak dahulu, gadis itu enggan untuk menatap mata siapapun terlalu lama, kemalangan yang sering ia terima di sepanjang hidupnya membuat dia memiliki rasa empati berlebihan yang menganggap bahwa semua orang punya banyak masalah dan tak seharusnya menjadi penopang masalahnya. Tapi pada orang lain, dia melakukan kebalikannya.Kepada Raihan contohnya.Airin menjadi orang yang tahu betul bagaimana Raihan struggling menjalani hidupnya sendiri, yang baginya nampak lebih berat daripada apa yang ia rasakan. Menjadi korban perundungan hanya karena kondisi lahiriyah manusia, sungguh tida

  • Chaos After Being With You   BAB 42 | Akhirnya Bertemu

    “Harus banget, ‘mas yang nganterin?” Tanya Raihan kala sedari tadi pagi, Tito yang sejak kembali ke rumah seminggu lalu itu hanya mendiamkan dan sesekali mendengus sinis padanya, memaksa untuk mengikuti dirinya entah kemana.Pertanyaan Raihan tentang tujuan kemana sang adik hendak membawanya pergi sama sekali tak digubris. Pria muda yang gerak geriknya sangat jelas masih menaruh kesal pada sang kakak itu hanya mengatakan satu kalimat ‘hari ini ikut adek.’yang bagi Raihan terasa seperti perintah.Ia tak mampu menolak maupun mengabaikan permintaan sang adik, karena jujur, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah karena membiarkan hal yang tak normal terus terjadi seolah tak ada apa-apa di sana. Melihat sang adik mau untuk setidaknya meminta suatu hal, walau tak jelas maksudnya, membuat Raihan sedikit bisa bernafas lega.“Aku nggak pernah minta apa-apa sebelumnya, ‘kan? Setelah ini, semuanya aku pasrahin ke mas, gimanapun mau mas Raihan.” Tito sedikit menambahkan clue setelah mereka s

  • Chaos After Being With You   BAB 41 | Meminta Bantuan Tito

    Entah keberuntungan atau kemalangan yang menimpa Tito saat ini. Dia mendapat kesempatan untuk berdinas di pelabuhan di dekat rumahnya selama 2 bulan ke depan, harusnya dia bahagia karena tak lagi jauh dengan keluarga, tapi di sisi lain, dia harus terus menerus menghadapi fakta bahwa di hadapannya, kebingungannya tentang kepulangan Zahra dan kepergian Airin masih belum terjawab.Seperti hari ini contohnya. Walau Tito tahu pasti Zahra lagi yang akan menyambut kepulangannya, dia tetap saja masih terkejut dan terheran-heran, ditambah lagi dengan kelakuan sang kakak yang entah dia benar tidak peka atau pura-pura tidak tahu akan sikap risih yang jelas ditunjukkan di tengah keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas.” Sapa Tito tegas, saat ini secara kebetulan mereka datang bersama dari tempat kerja, dan hanya ada mereka berdua di tambah Zahra yang menyambut seperti biasa di daun pintu.Kali ini dengan berdalih melepas tali sepatu, Raihan masih seperti hari kemarin, selalu menghindar

  • Chaos After Being With You   BAB 40 | Kebingungan Tito

    Sepulang dari mengantarkan Airin kembali ke rumah 2 bulan yang lalu, Tito yang disambut dengan kabar mengejutkan akan kembalinya Zahra, sama sekali tak dapat hidup tenang di tengah penugasannya.Tito tak sempat meminta penjelasan apapun saat itu, karena ia harus buru-buru kembali ke pelabuhan sebelum kapal tempat ia bertugas kembali berlayar. Alhasil, dua bulan belakangan, pikirannya tak bisa fokus pada penugasan, karena dipenuhi akan banyak pertanyaan yang ingin ia segera temukan jawabannya. Apalagi saat itu, dia kembali ke penugasan dengan keputusan sang kakak ipar yang bersikukuh ingin berpisah, segera saat ia melihat Zahra berdiri di rumahnya.Tito yang mengetahui bahwa sang kakak kesayangannya itu tengah berbadan dua, tak tenang kala membayangkan bagaimana ia harus hamil sendirian karena bercerai, dan calon keponakannya lahir dengan kedua orang tua yang sudah berpisah.Pertanyaan itu yang paling menghantui kepalanya hingga sekarang.Tetapi, di luar dugaannya, dimana dia berharap

  • Chaos After Being With You   BAB 39

    Kembalinya Zahra (dari sisi Raihan)Dengan kembalinya Zahra di tengah kehidupan kami, tak mengartikan bahwa keadaan akan kembali seperti semula, seperti hari-hari sebelum pernikahan.Tidak sama sekali. Jika ditanya apakah saya bahagia? Tentu, sangat bahagia. Gadis yang sangat saya cintai di lima tahun belakangan itu, yang sama sekali masih belum saya terima kepergiannya. Ketika ia kembali, dalam keadaan bugar, di hadapan saya, belum mati, tentu saja saya sangat bahagia.Hal itu seolah mengembalikan semua kebahagiaan yang menyingkir dari hidup saya sejak 3 bulan ke terakhir. Tak ada yang mampu saya katakan selain bersyukur dan merangkul dia dalam pelukan hangat, menenangkan Zahra yang sedang menceritakan keadaan pilu, yang berhasil ia lewati selama 3 bulan pasca kecelakaan tragis itu.Bagaimana saya tega dan tak terharu tentang bagaimana Zahra mungkin ketakutan, sendiri melewati masa kritis di tempat dimana tak satu orang pun mengenalnya.Zahra adalah anak tunggal kesayangan orang tu

  • Chaos After Being With You   BAB 38 | Kebodohan Raihan

    Airin, (masih) dari sisi Raihan (II)Sudah saya bilang kan, bahwa saya yang bodoh disini. Saya yang menjadi saksi Airin tumbuh bersama luka, saya juga yang menabur garam di atas lukanya.Membuat panas dan perih luka lama, serta menimbulkan luka baru yang menganga basah.Airin mencoba untuk tetap membuat saya nyaman sebagai suaminya, saya sadar itu. Walau mimpi buruk masih dialaminya tiap malam, dia masih bisa tersenyum di pagi hari sembari menyiapkan sarapan, padahal saya tahu, Airin benci menyiapkan makanan untuk orang lain sebelum dia sendiri makan dan buru-buru berangkat bekerja pula.Dia juga yang menyadarkan saya akan eksistensinya, kala dengan bangsatnya saya memikirkan orang lain saat kami berada dalam peluh di atas ranjang, padahal itu adalah sarana pelampiasan segala emosi saya.Bodoh, ‘kan? Memang.Dosa? Jangan ditanya. Mungkin karma untuk saya sedang dibuat list nya sekarang.Tapi bodohnya lagi, saya tak menyesal. Hanya setelah berhubungan badan itu lah, saya bisa memeluk A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status