"Beneran diterima?" seruan tak percaya itu terdengar hingga telinga Aurora mau meledak rasanya, namun karena perasaan Aurora juga sedang baik dan tidak ingin mengajukan komplen hanya karena suara Alda mengganggu telinga Aurora pun hanya berdehem dan mengangguk jumawa. Aurora menggumam mengiyakan pertanyaan temannya itu. Alda langsung meneruskan. "Ini nggak prank? Masa sih si ketos mau sama lo.""Bentar lagi juga lepas jabatan," balas Aurora sembari mendecak pelan. "Dan gue pastiin satu kali lagi. Beneran nggak lagi tinggi. Iya seratus persen. Gue beneran taken!"Aurora sendiri sedang berjalan masuk ke dalam gedung apartmen yang ditinggalinya selama beberapa hari terakhir. Dengan dua tangan menggenggam bawaan untuk keperluan yang kurang, tidak banyak, Aurora hanya membawa sandal rumah dan lilin aromaterapi dengan wangi yang berbeda. Ia masih menggunakan seragam sekolah, rambutnya dikuncir separuh dan tak lupa earphone berkabel menghiasi telinganya.Aurora menyapa satpam di depan sebelu
--"A-Aurora?!"Setelah teriakan mereka membahana, tangan Dante yang panjang dengan cekatan mengambil benda apapun yang bisa menutupi tubuhnya.Lelaki tinggi itu terlihat panik dan benar-benar terkejut, mata yang biasanya terlihat datar kini untuk pertama kalinya nampak terbelalak.Detik itu Aurora menyadari bahwa penampakan yang ada di depannya beberapa saat lalu bukanlah iblis yang menyerupai Dante. Tetapi benar-benar Dante itu sendiri. Beneran Dante! Dante yang beberapa jam lalu resmi jadi kekasih Aurora!Aurora sendiri belum mampu menyadarkan diri sendiri, gadis yang wajahnya tiba-tiba pucat itu masih terduduk di tempatnya jatuh bersama mata memandang kosong, bahkan sampai Dante menyingkir dari sana buru-buru untuk meraih pakaian Aurora masih duduk mencerna apa yang tengah terjadi di dalam hidupnya ini.Saat Dante kembali, raut wajah kebingungan lelaki itu masih terpampang jelas, kaos setengah basah yang dipakainya dan juga celana pendek selutut seakan tidak mempunyai banyak peng
-"Lo ngapain di rumah gue?"Setelah mendudukkan Aurora di sofa dan membiarkan gadis itu diam menunggu ketenangan datang dalam dirinya, akhirnya Dante pun bertanya. Pertanyaan yang sepertinya sudah hampir sepuluh kali ia tanyakan pada Aurora dalam kurun waktu kurang dari satu jam itu masih belum mendapat jawaban.Dan bila jawaban belum didapatkan, Dante akan terus bertanya dan bertanya lagi.Aurora mengangkat kepala. Melirik pada Dante yang datang membawa satu gelas air putih untuknya. Dante tanpa kacamata tidak terlihat seperti siswa berprestasi yang merangkap jabatan sebagai ketua osis, cowok yang memakai kaos hitam dan celana coklat itu terlihat sangat tampan bak kakak tingkat di perkuliahan.Sebelum memberi Aurora minum, Dante juga lebih dulu membereskan bunga-bunga Aurora yang berserakan, dia juga memboyong semua isi paperbag besar milik Aurora ke atas meja di depan mereka.Seolah bertanya tanpa kata. 'Kenapa bawa beginian ke rumah gue? Mau apa lo?' begitu.Aurora sendiri sudah k
-- "Gue udah tata semua barang-barang itu sendiri sampe tiga hari baru kelar, sekarang lo suruh gue pindah?" kata Aurora dengan penuh rasa tak percaya. Emosi juga. Apa lagi setelah melihat wajah tanpa dosa Bian di depan hidungnya, padahal tadi Aurora melihat jelas Bian ketakutan saat bertemu Dante. Sepertinya Bian hanya merasa menyesal pada Dante saja, padahal Aurora lah yang paling dirugikan. Dan benar. Bian itu pro Dante. Begitu tahu kalau Dante sudah misah-misuh Bian langsung membujuk Aurora untuk pindah meninggalkan tempat yang ditinggalinya beberapa hati ini tanpa diskusi lebih dulu. Bagaimana bisa Aurora tidak marah. "Ogah, Tai!" teriak Aurora kesal. Sengaja keras-keras agar orang yang ada di kamar sebelah juga mendengarnya. “Seret sampe lo ngesot-ngesot pun nggak akan gue keluar dari rumah ini. Mimpi aja sana!” Bian terlihat memejamkan mata frustasi, ia sungguh menyesal, menyesal sekali. Bukan cuma dimusuhi dan mendapat ancaman pembunuhan dari sepupunya, Bian juga kehi
Jika disuruh membayangkan, Aurora sudah punya gambaran rumah tangganya dengan Dante pasti akan seruwet episode-episode kartun televisi yang main leadnya kucing dan tikus.Makelar rumah bodong yang juga pembawa masalah langsung diusir sesaat setelah solusi yang disarankannya disetujui oleh Dante.Si tuan rumah menatap di kamarnya dengan pintu tertutup, sementara si Gadis penyewa duduk di sofa ruang televisi untuk membuat video baru, kembali menjadi dirinya sendiri sebagai gadis content creator amatiran. Kamera sudah di setting, bunga-bunga yang Aurora beli untuk membuat konten hari ini juga sudah ditata, Aurora sendiri sudah mandi dan mengganti seragam sekolahnya dengan baju rumahan.Gadis manis yang rambutnya dicepol tinggi itu mencebik sensi, tangannya bergerak merangkai bunga sementara matanya membaca tulisan di atas kertas berwarna merah muda satu kali lagi sebelum kemudian melirik kembali ke pintu kamar Dante.Malam dingin dan suara hujan mengguyur sejatinya merupakan masa yang co
--Aurora tidak bisa tidur.Banyak sekali hal mengejutkan yang terjadi pada hari ini, meski pada akhirnya dia bisa berpura-pura tenang namun tetap saja, Aurora masih sangat terkaget-kaget.Kebetulan macam apa ini.Kebetulan? Yang benar aja. Ini bukan kebetulan lagi, ini sudah pasti takdir.Demi dewa, Aurora memang ditakdirkan untuk Dante. Kalau tidak, mana mungkin plot sinetron macam ini bisa terjadi di kehidupan remaja mereka.Takdir ya? Hahaha.Anjay, kalau saja Dante bisa diajak kompromi pasti kisah cinta mereka sudah seperti Dilan dan Milea.Memang kepala batu, tidak bisa diajak romantis sedikit, muka datar, ngomong lempeng, dia cuma begitu saja.Aurora mengejar Dante karena ketertarikan yang jelas. Meski memang mereka belum lama saling kenal. Menurutnya Dante cukup ganteng, bahkan termasuk sangat ganteng apa lagi ketika kacamata tebalnya itu dilepas, saat memakai seragam sekolah vibe-nya terasa seperti anak baik, gold grade, dan pintar, tapi saat di rumah dan pakai baju rumahan,
Ulangan kenaikan kelas sudah di depan mata, sekolah menjadi tempat yang sangat sibuk setidaknya itu yang Aurora rasakan, meski dia memang tidak ikut repot seperti teman-teman lainnya yang membicarakan soal matematika rumit sisa bimbel tapi Aurora sungguh merasa hambar di kelas.Bian sibuk dengan bukunya, Alda sibuk dengan ponselnya, teman-teman yang lain juga sibuk dengan urusan mereka sendiri, sungguh tidak ada orang yang bisa Aurora ajak berghibah.Kelas macam apa ini, bagi Aurora sekolah tanpa ghibah itu bagai nge-mascara tanpa dijepit, datar."Bi," panggil Aurora, cewek yang rambutnya dicepol itu mengulurkan tangan ke depan, menyentuh punggung Bian dengan ujung pensilnya. "Bian!""Hm."Bian merespons tanpa menoleh, masih sok sibuk belajar, seolah belajar adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan di tempat itu.Aurora membuang napas malas, dia meniup poninya dan berkata."Main yuk," tawar Aurora. Dia melirik ke arah Alda yang tidak memedulikannya, Alda kalau sudah mode Fangirl
Dia adalah pelangi ceria, selembut awan, sesekali tampak seperti langit biru, Aurora itu hijau dan ungu, tapi aku baru tahu kalau ternyata dia bisa seindah itu.Dante Andromeda.-"Gue nggak bisa!"Dante sudah bisa menebaknya, dia sudah tahu bahwa akan jadi seperti ini akhirnya.Yah meski, ini masih sangat awal untuk dibilang sebagai akhir, sesi belajar yang direncanakan oleh Bu Lasmi yang pertama kali ternyata harus berakhir secepat ini karena alasan yang konyol."Gue butuh gula, huek seriously mau muntah rasanya! Nggak tahu ini apaan tapi yang jelas gue butuh gula!"Dari awal Dante tidak setuju dengan ide buruk itu. Menjadi guru dadakan untuk si biang kerok Aurora Jasmeen.Dante membuang napas, dia tidak terlihat begitu terkejut, hanya belum bisa terbiasa."Sana cuci muka," kata Dante, membalas protes Aurora yang belum juga rampung menggarap 1 soal matematika sejak 30 menit yang lalu. "Gue kasih waktu 5 menit buat istirahat, habis itu gue jelasin penyelesaiannya."Aurora mengernyit,