Share

3. Antares Bagaskara

Dulu sekali waktu masih duduk di bangku SD, Aurora pernah melakukan hal yang melakukan hal yang lebih nekat daripada yang dilakukannya sekarang. Mungkin, daripada nekat, hal yang dilakukan Aurora ini lebih mengarah pada kekurang ajaran.

Terberkatilah Mama dan Papa, entah apa yang dilakukan mereka saat masih muda. Yang jelas mereka bertanggung jawab kenapa Aurora bisa mempunyai watak seminus ini.

Membuat contekan saat ujian akhir semester agaknya bukan hal yang perlu dibesar-besarkan, tentu, kalau kamu sudah sedikit lebih dewasa dari anak-anak, tetapi waktu itu Aurora masih kelas lima. Dia membawa masuk lima baris jawaban kisi-kisi dari murid paling pintar di kelasnya- A.K.A Asmeralda, katanya kemungkinan besar soal-soal yang Alda tunjuk akan keluar dalam ulangan yang akan datang itu.

Tentu saja Aurora tak mau rugi. Menghafal? Tidak mungkin, belajar dan mempelajarinya? Apa lagi itu. Jadi satu-satunya jalan agar kisi-kisi dari Alda tidak mubazir adalah dengan membuat contekan.

Aurora menuliskan materi pelajaran itu di balik rok merah yang ia gunakan. Menggunakan bolpoint yang jelas. Dan tebakan Alda benar, soal itu benar-benar ada dalam daftar pertanyaan. Jadi saat pengawas mengalihkan perhatian Aurora akan menyibak sedikit roknya ke atas.

Ketahuan atau tidak?

Ya ketahuan lah! Masa tidak ketahuan

Bukan lagi rahasia, Aurora punya banyak tingkah, namun ia tidak diberi kecekatan untuk melakukan semua tingkah itu, Aurora itu ceroboh bukan main. Maka dari itu Nekat merupakan julukan yang pas untuknya. 

Tetapi Aurora masih bisa mengelak saat berada di sekolah, guru laki-laki tidak mungkin berani mengangkat rok murid perempuan semaunya, ia hanya beralasan kalau kakinya gatal, dan akan dipercaya.

Yang masalah itu, waktu sudah di rumah, Aurora tidak berhasil membersihkan bekas contekan itu dengan baik hingga Mama Janela melihatnya. Dan jadilah, Aurora yang kehilangan waktu bermain satu minggu.

Sepertinya Aurora yang memang terlalu kreatif, dan sayangnya, kekreatifan yang dimilikinya tak digunakan untuk hal-hal yang baik. Mau bagaimana lagi, Aurora memang tidak punya keinginan untuk menjadi anak yang baik. Good girl itu tidak keren. Tetapi Aurora juga bukan baddie akut, ia baddie tanggung. Dan itu keren.

Setelah selesai dengan perjuangan memanjat tembok dua meter yang ada di halaman belakang sekolah. Aurora masih harus berjuang mencari kendaraan. Semula Aurora pikir bolos itu surga dunia. Tapi setelah merasakan ini semua, Aurora pikir lebih baik duduk di kelas sembari tidur siang daripada susah-susah bolos begini. Belum lagi hukuman yang akan diterimanya besok. Huh! Tiba-tiba Aurora menyesal karena sudah bolos.

Untuk orang-orang yang belum tau, Aurora mempunyai supir pribadi untuknya berpergian, supir yang ditugaskan Mama untuk mengantar jemput Aurora ke manapun saat sendiri, berangkat sekolah, pulang sekolah, main, hangout, kerja kelompok dan lain-lain. Dan Aurora tidak pernah menaiki transportasi umum sebelumnya.

Jadi untuk bolos pertama kali ini. Bisa dibilang, Aurora benar-benar berjuang. Mulai dari memesan ojek online, mengarungi kemacetan jalan raya hingga perjalanan menuju rumah keluarga Alda yang Aurora tidak tau pastinya itu di mana. Biasanya Aurora tinggal duduk sambil bermain ponsel dan tiba-tiba sudah sampai di mansion Foster-Bagaskara.

Sumpah deh, Aurora tidak akan bolos lagi!

Hampir-hampir nyasar, dan dijudesi mas-mas tukang ojek karena ketidak jelasan yang ia berikan.

Namun tidak ada perjuangan yang tidak menghasilkan keberhasilan. Setelah meminta titik alamat rumah Alda pada kakaknya- Samuel, akhirnya Aurora pun sampai dengan selamat. Membayar dengan dua lembar uang merah, wajah masam Kang Ojek segera berubah sumringah kala Aurora berkata 'ambil aja kembaliannya'.

Gadis jelita yang menggunakan seragam sekolah itu kemudian menatap rumah besar di depannya, Aurora berdecak pinggang, ia menghembuskan napas begitu lega sebelum kemudian mendekat pada gerbang berkata pada bapak penjaga pos satpam.

"Bapak Satpam, Onty Marianya ada? Aku mau main, bukain pintunya dong!"

Bapak Satpam yang sudah hafal dengan teman berojol Asmeralda itu bergegas membukakan gerbang saat mendengar dan melihat kehadiran Aurora. "Neng Rora sendirian aja? Nggak sama Ibu Janela?"

"Enggak," jawab Aurora singkat, dia pun tersenyum manis. Masuk ke dalam saat pintu gerbang sudah dibukakan. "Makasih ya, Pak! Semangat kerjanya!"

Halaman mansion ini memang besar betul, sedikit lebih besar dari halaman rumah Aurora sendiri, sebenarnya tidak pernah Aurora berpikir kalau mempunyai rumah dengan halaman luas sebagai keberuntungan, apa lagi setelah melewati hari ini. Buat apa sih halaman sebesar ini! Bikin capek berjalan saja! Harusnya tadi minta antar pak Satpam menggunakan motor.

Gerutuan di bibir Aurora berhenti saat akhirnya ia melihat presesi wanita paruh baya yang tengah menyiram bunga-bunga. Senyum Aurora mengembang.

Aurora tidak menunda untuk berteriak. "Onty Marry!"

Gadis manis berponi depan itu tak tunda melambaikan tangan tinggi-tinggi, Auranya positif sekali. Layaknya remaja dengan MBTI awalan E yang tidak pernah mendapatkan kesedihan dalam hidup.

Wanita berambut hitam pendek dengan terusan biru selutut yang sedang sibuk menyiram bunga itu segera menoleh saat mendengar suara familiar di telinganya.

Maria tidak bisa menyembunyikan raut terkejut dari wajahnya. Ibu dari Asmeralda itu membuang selang air yang sedang ia pegang dan segera mendekat pada Aurora.

Maria menyambut Aurora dengan pelukan singkat dan kecupan di puncak kepala. Benar. Mereka sudah seperti keluarga. Arurora diperlakukan seperti anak Maria sendiri, dan anak-anak Maria juga sudah dianggap seperti anak Janela sendiri.

Onty Maria dan Mama Janela sudah berteman sejak SMA, begitu juga dengan Om Edgar- ayah Asmeralda, mereka satu angkatan di sekolah yang sama waktu SMA. Onty Maria dan Mama juga berteman dekat bahkan setelah lulus sekolah, mereka melewati fase peralihan remaja ke dewasa bersama-sama, melewati naik turun hidup juga bersama, jadi tidak heran kenapa hubungan dua keluarga bisa sedekat ini.

"Rora, kok ada di sini? Kan masih jam sekolah," ujar Maria kemudian, wanita yang masih terlihat cantik bahkan saat sudah tidak lagi muda itu melihat ke belakang tubuh Aurora sembari bertanya. "Alda mana? Alda nggak ikut pulang?"

Aurora nyengir tanpa dosa. "Perdana, nih, Onty. Rora bolos."

Normalnya, delikan marah dan desis tak percaya akan jadi respon bagi orang dewasa kalau mereka mendengar sorang murid bolos sekolah. Tapi ini Maria Foster. Lain daripada yang lain, ibu-ibu sosialita yang forever young ini hanya ber-oh ria mendengar balasan Aurora.

"Oh bolos, tapi Alda kok nggak ikut bolos?" tanya Maria kemudian. "Cassy juga nggak ikut bolos? Kamu bolos sendirian?"

Malah keheranan kenapa anaknya tidak ikut bolos juga.

"Iya," jawab Aurora dengan satu senyum manis. "Mama mau ke sekolah jadi aku kabur aja."

Maria langsung melirik curiga. "Rora ngapain lagi kali ini sampe Jeje dipanggil ke sekolah?"

"Nggak ngapa-ngapain kok," jawab Aurora jujur. "Waktu itu aku minjemin majalah ke Cassy, terus dia bawa ke sekolah, ketahuan deh."

"Lah onty kira sekarang peraturan sekolah udah nggak seketat jaman dulu," sahut Maria agak kaget. "Bukannya waktu itu kamu sempet nge-vlog di kelas?"

Aurora menarik napas, mau tak mau ia jadi harus mengingat murid laki-laki yang beberapa saat lalu mencegatnya pergi. "Sekarang ketua Osisnya ganti, sekolah jadi primitif lagi, Onty. Gak asik banget deh pokoknya."

"Dulu waktu jaman Onty sama Mama kamu masih sekolah, peraturannya juga ketat banget, warna rambut, seragam, majalah, bahkan hp aja nggak boleh bawa," kata Maria, tanpa sadar, seperti memang sudah jadi kebiasaan orang tua, dia menceritakan masa muda pada Aurora. "Tapi yang namanya aturan, kan adanya emang buat dilanggar. Jadi gitu deh, Onty, Mamamu sama temen-temen satu geng langganan kena strap."

Kata eyang. Mama itu bad girl akut, apa lagi setelah ketemu Onty Maria. Dia makin menjadi-jadi, seperti baru bertemu belahan jiwa, langsung klop.

Bahkan setelah masa mudanya seperti itu, orang tua masih tidak bisa mengerti anaknya. Dengar, kan? Mama juga bandel waktu muda, hampir sama nakal dengan Aurora, tapi kenapa setiap Aurora berbuat kesalahan dia selalu memarahi Aurora? Seakan tak mengerti dengan apa yang Aurora lakukan, padahal dia pernah melakukannya juga.

Lain dengan Onty Maria. Dia mewajarkan. Dia mengerti. Karena memang, waktu remaja, dia juga pernah merasakan apa yang dirasakan Aurora. Gejolak penasaran akan banyak hal, ingin mencoba hal-hal yang dilarang dan banyak lainnya.

Hidup sebagai remaja dalam masa peralihan memang rumit. Pikiran ini seakan tidak mengijinkan Aurora untuk beristirahat. Overthingking dan semua tetek bengek yang ada.

Huh! Aurora segera membuyarkan isi kepalanya. Jangan berpikir macam-macam, Rora. Ayo senang-senang saja hari ini. Ingat? Hari ini adalah hari damaimu!

Aurora mengalihkan pandangannya kearah lain, mulai dari para bunga, dan ke arah lainnya. Hingga kemudian ia melihat sesuatu yang mengejutkan.

"Eh tapi kenapa bolos kaburnya kemari? Nih, Onty kasih tau ya, bolos itu pergi karaoke, kalau enggak--"

Aurora menghentikan ucapan Maria. "Itu motornya Bang Ares kok ada di luar?"

Maria terlihat terdiam beberapa detik. Dia mengerjap ragu sebelum kemudian bergumam. "Hm?"

Mata Aurora yang semula terkejut kini mulai berbinar antusias.

"Bang Ares pulang? Iya? Kapan? Hah, ini beneran, kan? Aunty Maria kok nggak bilang ke Rora. Alda juga nggak bilang apa-apa," ucap Aurora tanpa jeda. "Sekarang Bang Ares di mana, Onty?"

Permintaan Ares saat anak sulung Maria itu pulang sepertinya akan sulit ditepati. Ares meminta agar Aurora tidak diberitahu tentang kepulangannya. Bukan apa-apa, Aurora terlalu menyayangi Ares hingga membuat putra sulung Maria itu tak merasa nyaman.

Maria menghembuskan napas pelan. Dia kemudian merangkul Aurora dan menuntunnya berjalan.

Maria tidak mungkin melarang Aurora untuk masuk ke rumahnya dan menyuruh anak gadis Janela itu pulang. Itu keterlaluan.

"Ares baru pulang kemarin, dan dari kemarin juga dia cuma tidur di kamar kecapean, Onty juga belum sempat ngobrol banyak," jawab Maria jujur, semakin dewasa seorang anak Maria harus mengerti space pribadi yang dia butuhkan makin banyak. "Baru tadi pagi keluar bawa motor kesayangannya jalan-jalan."

"Sekarang udah di rumah?" tanya Aurora antusias. "Rora masuk boleh?"

Maria tersenyum kecil. "Di rumah, tapi lagi ada temennya."

"Nggak apa-apa, biar sekalian kenalan," sahut Aurora kemudian. "Soalnya aku kangen banget sama Bang Ares, Onty!"

Setelah sekian lama tidak bertemu, tidak mungkin Aurora tidak rindu dengan manusia yang mirip bang Toyib itu.

Anggukan kepala dari Maria menjadi jawaban paling indah bagi Aurora. Gadis manis berseragam khas sekolah menengah atas itu berjingkat antusias sebelum kemudian berlari menuju pintu utama rumah Asmeralda.

Berlari dengan sepatu Converse, membiarkan rambut halusnya berkibar tertiup angin sementara senyum tak kunjung luntur dari bibirnya.

Eh, sebelumnya. Apa kalian tau rupa laki-laki yang menjadi incaran hati Aurora itu seperti apa?

Tidak?

Hm. Rugi sekali.

Aurora akan beritahu karena hari ini ia sedang berbaik hati. Bagi Aurora tidak ada manusia di dunia yang lebih tampan daripada tiga orang ini; yang pertama itu Papa- Theodore, yang kedua Samuel- meski agak gengsi mengakui tapi kakaknya itu memang tampan, dan terakhir the one and only Antares Bagaskara, manusia yang sudah ada dalam list 'target suami' sejak Aurora masih TK.

Tak perlu lagi tanya seberapa Aurora menyukai Ares. Sudah jelas nilainya sembilan dari sepuluh! Maka dari itu saat telinganya mendengar kalau Ares pulang karena libur kuliah hari ini Aurora tidak ingin buang-buang waktu berdiam diri, menemui Ares merupakan prioritas yang akan menyempurnakan hari damai Aurora kali ini.

Namun. Kalian tau tidak? Aurora paling membenci hal ini dari dunia. Aurora paling membenci hal satu ini dari dirinya.

Ekspektasi.

Hal yang paling sering merengut senyum yang semula ada di wajahnya. Saat kenyataan di dunia nyata tak memberikan hal yang sama seperti harapan yang ia buat.

Langkah lari Aurora berhenti dalam seperdetik. Gadis cantik itu berdiri dengan mata berpendar redup, semula ia menyipit, namun tak lama sebuah tanda tanya besar hadir di sana.

Melihat dengan kepala matanya sendiri bagaimana orang yang ia rindu berjalan beriringan dengan satu perempuan bergelayut manja di lengannya.

Tak ada yang berubah dari Ares. Laki-laki itu sama tampan seperti sebelumnya. Dan perempuan yang digandengnya. Cantik sekali, tingginya setara dengan telinga Ares, wajahnya ayu, pakaiannya terkesan casual namun tetap terlihat anggun dan yang paling penting. Ares tertawa begitu banyak karena kalimat yang diucapkan perempuan itu.

Aurora mengerjap pelan, matanya tak lepas menatap dua orang yang sedang berjalan keluar sementara dalam hati bertanya-tanya.

Dia siapa?

Dan akhirnya, tak lama, Ares pun menghadap depan, dia rela melepas pandangan dari perempuan di sampingnya sejenak.

Rasa terkejut tak bisa disembunyikan, kakak laki-laki Asmeralda itu tidak menyangka kehadiran Aurora di rumahnya.

"Rora?" panggil Ares pelan. "Kok di sini? Lo bolos ya? Bandel nih masih kecil udah mulai bolos."

Perempuan di samping Ares memperhatikan Aurora seakan bertanya, Ares yang paham dengan itu langsung berkata. "Ini Aurora adek gue yang imut."

Aurora diam saja. Dia masih menatap perempuan di samping Ares dengan penuh tanda tanya. Seingat Aurora ini merupakan pertama kalinya Ares membawa teman ke rumah- maksudnya teman perempuan, biasanya lelaki itu memang membawa banyak teman tapi semuanya laki-laki. Nah ini perempuan! Cewek oi! Perdana! Aurora sangsi kalau dia cuma teman biasa.

Belum sempat menjawab tiba-tiba Aurora merasakan rangkulan melingkar di bahunya.

"Itu temennya Ares," ujar Maria sembari merangkul Aurora. "Katanya mau kenalan, gih kenalan jangan malu."

Aurora mengedip lagi, dia kemudian tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Mengulurkan tangan pada perempuan cantik di samping Ares.

"Hai kakak cantik, aku Aurora Jasmeen, calon istrinya Bang Ares di masa depan," ujar Aurora dengan binar matanya yang positif.

Mengundang keterkejutan. Baik dari Maria, perempuan yang sedang Aurora ajak kenalan dan juga dari Ares sendiri. Seakan tak menyangka dengan apa yang Aurora katakan.

Kenapa di dunia ini isinya hanya orang-orang serius? Tidak bisakah ambil napas untuk melemaskan pikiran?

"Isabella," jawab perempuan itu ragu sembari meraih tangan Aurora.

Setelah perkenalan singkat itu dilakukan Aurora pun langsung beralih menghadap Ares.

"Bang Ares! Rora kangen banget tau!" rengek Aurora dengan nada tinggi, ia pun mengangkat tangan, melangkah maju dan berjinjit memeluk Ares, saking seriusnya melepaskan rindu, tanpa sadar Aurora menyenggol tangan Isabella yang semula masih memegang lengan Ares, membuatnya terlepas.

Ares sangat tampan, dia bahkan memanjangkan rambut sekarang, wangi parfumnya juga Aurora suka, pelukannya hangat kendati Aurora harus berjinjit tinggi-tinggi.

Saat sudah puas, Aurora melepas pelukan itu, dia mengecup cepat pipi kanan Ares sembari terus berceloteh tentang betapa ia rindu pemuda itu.

"Waktu Natal kemarin janjinya mau pulang tapi cuma omdo doang! Emang jauh banget Australia sampe pulang aja nggak bisa? Tau nggak sih--"

"Rora-" Maria menarik Aurora mundur saat menyadari atmosfer di lingkaran itu kian tak nyaman.

"Iya, Onty?"

Maria belum menjawab, Ares lebih dulu meraih pergelangan tangan Aurora dan membawa gadis itu menjauh.

Aurora tentu bingung, ia ingin bertanya, namun saat melihat raut wajah Ares yang terlihat marah Aurora memilih untuk diam saja.

Ares menghempaskan tangan Aurora saat mereka sudah agak jauh dari pintu utama. Laki-laki itu membuang napas dalam-dalam sebelum kemudian menatap Aurora dengan pandangan tak percaya.

"Udah berapa kali gue bilang," ujar Ares dengan nada suara yang datar. "Gak usah bertindak berlebihan. Apalagi waktu gue ada tamu."

Aurora berbuat suatu kesalahan?

Tapi kesalahan apa?

Dan kapan?

Apa waktu bercanda tadi?

"Tadi kan cuma kenalan," jawab Aurora kemudian. "Emang aku ngapain?"

Ares menghela napas frustasi. "Lo nggak boleh main peluk kayak tadi, Rora. Ada cewek gua!"

Aurora menyirit kecil.

"Cewek? Kata Onty Maria cuma temen, kalo emang pacar harusnya bilang yang tegas pacar," jawabnya. Namun melihat Ares lagi, raut wajahnya tidak main-main, tidak mungkin Aurora membiarkan kalimat kekanak-kanakan yang ia punya memperkeruh suasana. "Ya udah maaf, nggak akan lagi, kali ini doang biar Kak Bella tau aja kalo dia punya saingan kuat. Nggak fair misalnya lawanku nggak tau kalo ternyata dia punya lawan."

"Lawan? Lo harus cepat-cepat keluar dari otak bocah Lo itu!" selak Ares kemudian. "Gue udah pernah bilang, kan? Orang dewasa sama orang dewasa, bocah SMA ya sama bocah SMA. Cari cowok yang seumuran sama lo, cari cowok yang bisa jadi temen buat lo. Dan itu bukan gue."

Mendengar kalimat panjang itu keluar dari mulut Ares, Aurora pun berhasil dibuat terdiam. Dia tidak mengatakan apapun.

Cepat-cepat keluar dari otak bocah?

"Jujur ya. Gue pengen banget liburan kali ini nggak ada gangguan dari Lo," kata Ares lagi. "Biarin hidup gue tenang sebentar aja, please!"

Gangguan dari Aurora?

Bukannya dulu Ares tidak pernah keberatan dengan apapun yang Aurora lakukan? Kenapa tiba-tiba jadi berubah seperti ini? 

Aurora tidak merasa kalau perbedaan usia sebagai masalahnya. Ia dan Ares hanya berbeda empat tahun jadi agak tidak masuk akan dia mendorong Aurora menjauh menggunakan alasan itu.

"Aku udah tujuh belas tahun," kata Aurora setelah beberapa detik diam. "Emang masih suka main dan kadang bikin ulah, tapi seiring berjalannya waktu juga akan jadi dewasa. Aku bisa belajar bersikap dewasa kalo emang perlu."

"Lo nggak dewasa, masih anak-anak banget."

"Dua tahun lagi, remajaku bakal habis setelah dua tahun. Jadi aku nggak mau nyia-nyian ini begitu aja," sahut Aurora lagi. "Dan setelah itu, aku pasti bisa jadi dewasa kayak--"

"Kalo gue suruh Lo ngangkang? Apa bisa?"

Saat itu. Aurora merasa jantungnya berhenti berdetak. Matanya melebar terkejut.

Dewasa yang dimaksud adalah soal itu?

"Mau seberapa keras Lo usaha. Gue nggak akan berakhir sama lo," kata Ares lagi. "Karena gue nggak mau."

Saat itu Ares menarik napas dalam-dalam, seakan sedang menenangkan diri. Sebelum kemudian dia mendaratkan jemarinya pada puncak kepala Aurora. "Maaf ya."

"Lo udah kayak adek gue sendiri, Lo berada di level yang sama kayak Alda. Jadi stop ganggu gue, Rora. Sampai sini aja. Stop keterlaluan."

Dan setelah itu, dia pergi meninggalkan Aurora sendirian.

Ironi sekali.

Bukannya dulu, Ares yang dengan sengaja menarik Aurora mendekat saat para gadis di sekolah berlomba-lomba mencari perhatiannya?

Bukannya Ares yang menjadikan Aurora tameng agar tidak ada cewek yang mengajaknya berpacaran? Sampai-sampai Aurora harus dimusuhi para senior dan beberapa teman seangkatannya waktu masih SMP, dilabrak berkali-kali dan masuk BK berkali-kali juga karena Ares?

Dan saat Aurora merasa nyaman, menjadikannya istimewa, dia bilang Aurora mengganggunya?

Apa memang dia harus bertindak sejauh ini?

Aurora juga tidak ingin masa remajanya berakhir pahit. Kalau memang keberatan menerima usaha pendekatan yang Aurora lakukan harusnya bilang dari awal. Karena kalau mereka hanya diam, Aurora juga tidak akan tau.

Tidak harus Ares yang mengatakannya, Aurora pikir Alda atau siapapun itu bisa menyadarkan Aurora. Tetapi sebenarnya... Aurora tidak butuh siapapun, dia hanya butuh dirinya sendiri untuk sadar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status