Share

4. Permintaan

--

Hidup memang kadang susah.

Namun, bukankah Aurora masih terlalu muda untuk memikirkan hidup? Baru tujuh belas. Bisakah pikiran tentang tetek bengek kehidupan itu datang nanti saja saat Aurora sudah dewasa?

Sekarang ini, Aurora cuma ingin main-main saja. Ia tidak mau bersedih-sedih putus cinta apa lagi kalau sampai berakhir dengan berpikir soal keadilan yang diberikan dunia.

Kenapa sih gue harus punya otak thinkerbell begini, nyusahin aja!

Setiap hal yang dilakukan tentu punya resiko, dan Aurora tidak buta, ia tau resiko menyukai seseorang, sejak awal pun ia tau Ares sedikit banyak keberatan dengan fakta bahwa Aurora menyukainya. Jadi bisa dibilang, Aurora sudah membayangkan hal ini sebelumnya.

Sakit?

Tentu.

Aurora tidak mungkin tidak merasa sakit saat Ares yang notabenenya laki-laki paling ia suka dan ia percayai mengatakan kalimat sekasar itu padanya. Namun, seperti biasa, kesedihan Aurora akan disimpan dalam diam, ia tidak bisa menyalahkan siapapun. Dan kembali mencari kebahagiaan melalui permainan seru dengan teman sebaya.

Setelah matahari mulai turun menyentuh garis bumi Aurora baru akan pulang ke rumahnya.

Menghadapi satu lagi sidang yang sebelumnya tertunda.

Hubungan Aurora dengan Janela sebenarnya tidak seburuk itu. Meski tidak sebaik sebelumnya juga.

Semenjak Ibu Aurora itu memutuskan untuk terjun secara utuh ke dalam dunia bisnis kuliner dan membuatnya jarang berada di rumah-- saat itu lah hubungan antara ibu dan anak bungsunya itu merenggang.

Meski tinggal di satu atap yang sama. Aurora hanya melihat wajah ibunya paling sering tiga kali dalam satu minggu, kadang dua kali dan tidak jarang juga tidak bertemu satu minggu penuh. Lebih jarang dari frekuensi kehadiran Bibi di jarak pandang mata. Samuel juga sedang sibuk-sibukya sebagai anak kuliahan, kakak laki-laki Aurora itu jarang berada di rumah, sekalinya pulang, ia akan terus mengurung diri di kamar.

Maka dari itu Aurora lebih sering mencari keramaian dengan bermain, tak jarang ia menginap di rumah Alda atau Cassy karena tidak ada orang di rumah, sering juga Aurora menginap di rumah eyang meski bukan akhir pekan.

Karena meski Mama di rumah, tidak ada yang bisa dibicarakan. Jadi, sedikitnya, Aurora harus membuat sesuatu agar Mama mau bicara dengannya.

"Hari ini ke mana?"

Seperti ini contohnya.

Meski kali ini seratus persen tidak disengaja, biasanya Aurora cukup senang tingkahnya dipermasalahkan guru BK, karena dengan hal itu ia bisa bicara banyak dengan Mama.

Aurora masih menggunakan seragam putih abu-abu yang ia pakai sejak pagi. Converse yang dari pagi melekat di kakinya juga masih di sana, tak peduli wajah kumal karena seharian di luar rumah.

Aurora tak langsung menjawab. Anak gadis itu cuma melirik kearah Janela yang tengah sibuk menata piring di meja makan.

Makan malam hari ini sudah pasti akan lezat, karena mama Janela yang memasak. Namun entahlah, Aurora biasa melewatkan makan malam, dan hari ini juga sepertinya akan sama, lebih-lebih dengan nada suara yang Mama keluarkan. Terdengar seperti orang yang sedang menahan sabar. Dan Aurora tidak suka itu. Seolah ia adalah troublemaker paling parah sejagad raya.

"Mama udah denger soal permasalahan Ares dan pacarnya gara-gara kamu."

Gara-gara kamu.

Aurora bergeming.

Tidak berniat bertanya kabar lebih dahulu? Sudah seminggu mereka tidak bertemu.

Aurora hanya diam. Gadis manis berseragam SMA itu berdiri sembari menatap presesi ibunya dengan seksama.

Wanita cantik yang menggunakan pakaian formal itu pun ikut menatap Aurora. Dia terlihat menarik napas sebelum kemudian berjalan dengan heels yang ia gunakan mendekati Aurora.

Jemari lentik Janela menyentuh surai putrinya lembut. Waktu berlalu cepat sekali. Entah kapan tepatnya Janela bahkan tidak sadar Aurora sudah tumbuh melebihi tinggi badannya. Anak perempuannya ini sudah hampir dewasa.

Kesibukan memakan waktu berkualitas yang harusnya Jane luangkan untuk anak-anaknya. Samuel mungkin sudah tidak keberatan karena dia juga sama-sama sibuk, tetapi Aurora, Janela tau anak gadisnya ini masih butuh dirinya.

"Rora," panggil Jane penuh pengertian. "Mama nggak peduli mau berapa kali kamu melakukan pelanggaran di sekolah. Majalah? Tabloid? Bolos? Itu semua wajar, Mama juga pernah melakukan hal itu dulu. Kamu bebas mau ngelakuin hal apapun."

Aurora setia diam. Matanya tak kunjung berkedip, ia lekat memandang wajah cantik mama yang terlihat lelah. Bahkan di umur yang hampir setengah abad ini Mama masih terlihat amat cantik.

"Tapi soal merusak hubungan orang lain," lanjut Janela lagi bersama satu gelengan pelan. "Mama nggak akan menoleransi. Apalagi itu Ares. Ares itu sudah seperti abangmu, dia anak pertama Mama."

Aurora tak membalas. Dia hanya mengerjap pelan saat merasakan ada dua lengan yang melingkari tubuhnya.

Daripada bertanya kabar, mungkin pelukan terasa lebih baik.

"Jangan mau hilang harga diri cuma karena laki-laki, kamu masih muda, obsesi itu nggak baik dipelihara," kata Mama. "Mama nggak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat hal seperti itu, kan?"

Nada suaranya memang terlampau lembut.

Tapi Aurora tidak suka bunyi kalimat yang terdengar. Apa nasehat dari orang dewasa selalu terdengar seperti ini?

Obsesi? Hilang harga diri?

Entah kenapa, tiba-tiba Aurora ingin segera naik ke kamarnya dan tertidur. Karena hari damainya kali ini terasa sangat melelahkan. Bahkan tepukan lembut yang Mama berikan di punggung Aurora sama sekali tidak membantu.

"Lakuin apapun yang kamu mau Mama nggak keberatan. Apapun. Kecuali hal yang membuat kamu jadi menyedihkan."

Aurora menunduk sekilas, entah kenapa Aurora tiba-tiba tidak ingin bicara dengan ibunya, ia mengedip dan menarik napas satu kali tarikan sebelum melepas pelukan.

Setelahnya Aurora memberikan senyum kecil, senyum semanis biasa, ciri khas Aurora Jasmeen yang terkenal karena image manis yang dipunya. Seakan hari ini tidak ada hal buruk yang terjadi. Setelah mendapat balasan senyum, Aurora mengecup pipi Mama Janela sebelum kemudian berkata. "Mama cantik, Rora capek, mau naik dulu pengen mandi."

Janela mengangguk sembari mengulas satu senyum. "Anak Mama udah gede, sana bersih-bersih, sekalian panggil Abang buat makan."

Aurora menarik napas pelan, dia kemudian mengangguk dan berbalik, menaiki anak tangga satu persatu dengan kakinya. Namun langkah kaki Aurora berhenti dan dirinya spontan berbalik ketika suara Mama terdengar lagi.

"Mama pergi ke Jogja lagi satu minggu, besok aunty Marry sama Ares ke sini, kamu minta maaf ya. Dan jangan sukai Ares lagi, Mama nggak mau hubungan erat dua keluarga malah jadi renggang."

Aurora tak langsung menjawab.

Aurora penasaran. Sejak beberapa kalimat panjang keluar dari mulut Mama, apa dia sadar, kalau dari semua kalimat itu Janela hanya memikirkan Ares dan keluarga Tante Maria? Tidak ada satupun kalimat yang menandakan bahwa Mama mengerti dan memikirkan Aurora.

Tidak bisa dicegah. Hati Aurora merasakan sesaknya kekecewaan.

Aurora tau apa yang harus ia lakukan. Meski terlihat kekanak-kanakan, ia bisa berpikir, Aurora memang tidak ada niatan untuk meraih Ares. Cinta monyet akan selamanya cinta monyet.

Dan Mama tidak perlu takut anak laki-lakinya terganggu atau sahabatnya merasa tidak nyaman.

Karena bahkan sebelum Mama bicara, Aurora sudah berniat melakukan itu semua.

"Aku pernah dengar," ujar Aurora pelan, tetapi bisa dipastikan Janela mendengar ucapan putrinya itu dengan jelas. "Katanya Papa punya tunangan sebelum ketemu Mama. Waktu SMP aku pernah dilabrak sama cewek-cewek yang suka bang Ares pake kalimat itu."

Saat itu mata Janela terlihat melebar. Dia terlihat amat terkejut dengan apa yang dikatakan Aurora.

Aurora mendengar rumor kecil ini ketika masih duduk di bangku SD. Dan Aurora mengatakannya pada Mama hari ini.

Aurora mengulas satu senyum tipis.

"Aku nggak ngejudge masa lalu Mama karena itu bukan urusanku. Aku juga nggak ngejudge Papa karena itu bukan urusanku. Aku yakin Mama dan Papa punya masa muda sendiri," ujar Aurora dengan senyuman, setelah beberapa saat ia melanjutkan. "Dan ini masa mudaku, masa muda ini punyaku. Biarin Aku ngelakuin apapun yang aku mau, biar itu hal membahagiakan atau hal memalukan sekalipun, dan Aku harap Mama nggak judge hal itu. Buat permintaan Mama tadi, aku bakal lakuin kok, aku suka sama Bang Ares dan rasa sukaku bukan obsesi, jadi setelah tau ditolak tentu aku bakal pergi. Maaf kalo sedewasa ini masih sering bikin malu dan ngecewain Mama, kedepannya pasti aku akan jadi lebih baik."

Janela tak membalas, dia hanya diam tergugu.

Aurora tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, bertambah manis lengkap dengan satu lambaian tangan. "Makasih buat pelukannya tadi. Rora naik dulu, Mama hati-hati di jalan."

Setelah mengatakan itu, Aurora pun berbalik dan lanjut menaiki tangga menuju kamarnya dengan senyuman yang hilang.

Kekecewaan kecil seperti ini bukanlah hal baru. Bahkan bisa dibilang, Aurora sudah terbiasa, dan ia pun tidak menuntut banyak, Mama benar, Aurora memang kekanak-kanakan sampai harus dinasehati orang dewasa terus-terusan.

Saat baru sampai di lantai dua, dari pintu yang berada di sebelah kamar Aurora keluarlah seorang laki-laki berpawakan tinggi. Samuel merentangkan tangan meminta peluk dari sang adik, namun Aurora cuma melewatinya tanpa ekspresi berlebih. Samuel jarang pulang, dia lebih sering keluar menginap di rumah teman dengan alasan mengerjakan tugas. Dan dia tau Aurora kesal dengannya karena itu.

"Rora jelek, Abang nggak dipeluk?" tanya Samuel dengan nada yang cukup menyebalkan untuk didengar.

Aurora cuma melirik tipis. Dia mengibaskan tangan tanpa daya. "Disuruh turun makan malem."

Sesampainya di kamar Aurora langsung menghempaskan diri ke atas ranjang besar miliknya. Kamar bernuansa merah muda serta kuning ini masih terlihat terang kendati cuma lampu tidur yang dinyalakan.

Menatap langit-langit kamar yang bisu Aurora pun meraih ponsel di saku kemeja sekolahnya.

Ia rindu seseorang.

Aurora membuat panggilan pada manusia paling sibuk sedunia. Dan setelah beberapa detik dering berbunyi panggilan yang dibuat Aurora pun berbalas.

"Halo, sayang?" sapa suara pria dari seberang.

Aurora membuang napas berat.

"Papa..." panggil Aurora pelan.

Orang ini. Aurora sudah tidak bertatap muka dengannya selama tiga bulan.

Theodore- Ayah Aurora kelewat sibuk setelah Kakek Aurora mewariskan perusahaan secara penuh padanya. Theo harus bolak balik Jerman—Indonesia mengurus perusahaan dan segala proyek barunya.

"Kenapa, Rora?" tanya Theo kemudian dengan nada sayang.

Aurora balik bertanya. "Lagi apa?"

"Papa masih kerja, ada apa?"

Aurora melirik kearah jam, benar, di sana masih sore. "Pengen facetime, kangen."

"Bentar lagi rapat, nanti facetime kalo Papa udah di rumah ya."

Aurora tidak protes. Dia hanya diam mengerti. Kalau menunggu Papa pulang kantor, di sini sudah tengah malam. Aurora ragu ia masih terjaga di jam itu.

Di rumah tidak ada hal menarik yang bisa membuat Aurora begadang.

"Pa, aku mau minta sesuatu," pinta Aurora, otaknya tiba-tiba saja menghantarkan keberanian untuk menanyakan keinginan yang selama ini cuma dipendam.

Tanpa ragu Theo membalas. "Minta apa?"

"Rora boleh minta—"

"Boleh sayang," potong Papa Theo lebih dahulu.

Aurora bahkan belum mengatakan apa yang dia mau.

Aurora mendecak kecil. "Emang Papa tau aku mau minta apa?"

Terdengar kekehan samar dari seberang. "Paling kamera baru, kan? Atau mau minta uang jajan buat jalan-jalan sama teman-teman?"

Kalau hanya itu, Aurora bisa langsung minta tanpa harus berpikir berbulan-bulan lamanya.

"Bukan, Rora mau minta ijin—"

"Papa lagi agak sibuk, nanti Paman Ali ke rumah, kamu bilang aja mau apa ya, biar Paman Ali yang urus. Udah dulu ya, Princessa bye-bye!"

Sudah Aurora bilang bukan? Papa itu orang paling sibuk sedunia.

Aurora memejamkan mata sekilas, ia melempar ponselnya ke sembarang arah kemudian berkata pada langit-langit kamar.

Jika itu remaja lain, kebanyakan dari mereka mungkin akan keluar rumah untuk membebaskan diri, atau mungkin memanggil teman-temannya untuk datang berpesta semalaman, pokoknya melakukan apapun untuk membebaskan pikiran.

Tetapi tidak dengan Aurora. Gadis itu tak meraih ponselnya kembali, dia cuma bergerak untuk melepas sepatu, melepas seragam sekolah dengan serampangan sebelum menenggelamkan diri ke dalam selimut tebal tanpa repot-repot membersihkan diri.

Aurora memejamkan mata. "Malam ini gue nggak mau mimpi, nggak pengen ada mimpi sama sekali."

--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status