"Kamu habis dari mana?" tanya Mas Hendi.
"Beli ini ..." jawabku, sembari menyodorkan bungkusan kresek berisi martabak."Kenapa tadi gak WA aja, mas kan bisa belikan untukmu."Aku tersenyum. "Sekalian cari angin, mas. Eh malah di sananya ngantri, jadi pulangnya agak telat."Mas Hendi mengekor di belakangku."Kamu baru pulang juga, Mas?" tanyaku."Iya.""Kenapa? Terus kenapa itu kamu ganti baju? Habis mandi lagi?""Iya, mas gerah. Tadi di rumah Kartika, mas disuruh benerin kompor dulu jadi agak lama disana.""Hah? Beralih jadi tukang servis nih?" tanyaku dengan nada menyindir."Kasihan, Dek. Katanya dari siang dia gak bisa masak karena kompornya ngadat.""Oh. Hati-hati lho, berawal dari kasihan bisa menjadi cinta.""Haha, ya enggaklah. Kamu ada-ada aja deh. Kenapa sih kok cemberut gitu? Cemburu ya?""Hah? Enggak kok, ngapain cemburu. Kalau sampah ya buang aja pada tempatnya.""Maksudnya apa, Dek?" tanya Mas Hendi dengan kening berkerut."Ini lho mas, sampahnya dibuang di tempat sampah, jangan dibiarkan disini," ujarku sembari memungut plastik itu lalu membuangnya di keranjang sampah.Mas Hendi tertawa geli melihat sikapku, mungkin perkataanku agak ketus padanya. Ayo mas tertawalah, kali ini kamu bisa tertawa sepuasnya. Tapi tidak dengan besok-besok.Kuraih handphone sembari menikmati martabak yang kubeli. Kata orang, jangan makan malam-malam nanti bisa menambah berat badan. Tapi aku gak peduli, buktinya badanku tetap kurus begini.Mataku terbelalak saat melihat Kartika meng-upload status WA-nya.[Terima kasih suamiku, udah nemenin malam ini. Meskipun cuma sebentar saja, tapi ditemani masak dan makan bersamamu, rasanya lebih berarti]--- tulisnya sembari upload makanan.[Semoga cinta kita akan terus bersama]--- tulisnya sembari upload foto genggaman tangan, entah siapa itu-- mungkin tangannya dan tangan Mas Hendi?Suami? Apakah Kartika sedang menghalu? Kenapa dia menganggap suamiku sebagai suaminya? Ckckck."Mas, memangnya Kartika udah nikah lagi?""Uhuk-uhuk"Mendengar pertanyaanku, Mas Hendi justru tersedak. Ia mengambil air minumnya sendiri."Kenapa kamu tanya seperti itu, Dek?" Mas Hendi balik bertanya."Ini di statusnya," jawabku sembari memperlihatkan ponselku padanya."Ya baguslah, kalau udah nikah." Mas Hendi melanjutkan makannya."Lho emangnya tadi disana kamu gak ketemu sama suaminya?"Mas Hendi menggeleng perlahan, ia tampak gugup dan salah tingkah."Aneh aja nih perempuan. Gak denger nikah, tau-tau ngehalu punya suami.""Sudahlah Dek, jangan kepoin hidup orang. Dah fokus aja sama hidup kita sendiri.""Ya sekali-kali bolehlah mas, jadi detektif. Hahaha," ujarku sambil tertawa.Mas Hendi hanya mengedikkan bahunya pura-pura tak peduli.***Selama satu jam saat mengintai Mas Hendi di rumah Kartika, bukan berarti aku hanya berdiam diri untuk menunggu. Kuhubungi teman sekolahku dulu yang telah sukses menjadi pengacara. Ya, aku ingin tahu bagaimana cara mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Kuceritakan tentang masalahku. Tapi ia bilang, aku harus mengumpulkan bukti-bukti lebih banyak lagi tentang perselingkuhannya, agar gugatanku menang di pengadilan agama.Itulah kenapa aku mengurungkan niat untuk langsung melabrak Kartika. Aku tidak boleh gegabah. Kalau menuruti hawa nafsu, sudah pasti ingin kujambak dan kucakar wajahnya yang sok kemayu itu. Ya, tentu saja aku ingin menghajar mereka habis-habisan, kalau bisa. Tapi aku bukan tipe wanita bar-bar. Aku masih punya akal dan pikiran. Dari pada aku yang balik dilaporkan karena tindak kekerasan, lebih baik bersabar lebih dulu, sambil mengumpulkan bukti lebih banyak.Kalau aku melabrak wanita pelakor itu, justru Mas Hendi akan besar kepala karena merasa diperebutkan. Ia pasti akan merasa dirinya penting dalam hidupku. Lalu ia akan meminta maaf, bahwa dirinya khilaf lalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ah, bulshit. Aku bukan tipe wanita yang akan menangis karena hal ini, meskipun hatiku sakit. Air mataku terlalu mahal untuk menangisi sampah sepertinya.Aku tidak mau diberi janji palsu. Sekali sudah berkhianat, bisa saja lain hari diulangi lagi dengan kesalahan yang sama. Bagiku, pengkhianatan dalam pernikahan tidak bisa ditolerir lagi. Yang salah disini bukan hanya si wanita penggoda tapi juga pihak lelaki yang meladeninya. Jadi lebih baik keduanya harus dihempaskan saja.Buat apa mempertahankan lelaki benalu seperti dia. Ya, anggap saja, dia seperti benalu, menumpang dalam kehidupan orang lain. Mas Hendi tidak bersyukur, aku tak marah meskipun ia tidak bekerja maupun memberi nafkah padaku. Dan selama ini kebutuhan hidup kami dari hasil laba toko. Ya, walaupun tak dipungkiri ia tidak diam saja. Ia sudah ikut andil dalam memajukan usahaku.Lima tahun menikah dengan Mas Hendi, selama itu memang ia tak pernah bermain fisik maupun berkata kasar padaku. Bahkan aku tak pernah mengira diam-diam ia akan mengkhianatiku. Apa alasannya? Apa karena aku belum bisa memberinya keturunan?***[Senangnya hari ini mau jalan-jalan bersama suami tercinta. I love you My husband, meskipun waktu pertemuan kita terbatas tapi tak apa, asalkan perhatianmu selalu ada untukku]Aku mengernyitkan kening melihat status W******p Kartika pagi ini. Ia pun meng-upload dirinya yang cantik dan seksi."Dek, maaf hari ini mas izin libur dulu ya. Gak bisa bantuin kamu," ujar Mas Hendi menghenyakkanku."Memangnya kenapa, Mas?""Mas ada perlu, Dek. Ada teman kantor mas dulu ngajakin ketemu.""Siapa?""Rusdy, yang dulu pernah mas ceritakan padamu.""Terus?""Sepertinya mas pergi sampai sore.""Memangnya ada keperluan apa? Kenapa bisa selama itu?""Katanya ada pekerjaan buat mas. Ya sekalian ngobrol lah, udah lama juga kita gak ketemu.""Oh""Gak apa-apa kan, Dek?"Aku mengangguk. Jadi kalian sudah janjian ya! Tapi kau berkilah dengan alasan yang lain lagi. Baiklah, sepertinya aku harus mengikutimu, Mas.Selesai makan, Mas Hendi sudah bersiap-siap dengan memanaskan motornya, motor hasil kerjanya sendiri saat masih menjadi staff di sebuah perusahaan. Rona wajahnya tampak berbinar bahagia. Ia bersiul-siul dengan riang."Dek, mas berangkat dulu ya," pamitnya."Hati-hati dijalan mas, kalau sudah sampai jangan lupa kabari aku Mas," sahutku sembari menyambut uluran tangannya."Iya, Dek."Aku memperhatikannya sampai hilang dari pandangan."Mbok, hari ini toko tutup dulu ya mbok, saya ada perlu keluar," ucapku pada Mbok Jum."Baik, Non."Gegas aku menyambar jaket dan tas, helm serta kunci motor, tidak lupa memakai masker. Wah, sepertinya bakal seru nih jalan-jalan denganmu Mas! Gumamku dalam hati.Melewati rumah Kartika, namun tampak sepi, tak ada tanda-tanda manusia di dalamnya. Kira-kira mereka janjian dimana ya?Segera kuhentikan motorku saat melihat Mas Hendi di ujung jalan, cukup jauh dari lokasi perumahan. Seorang wanita datang menghampirinya. Benar, tidak salah lagi dia Kartika. Jadi mereka janjian disini?Tak lama wanita itu naik ke boncengan motornya lalu memeluk suamiku dari belakang. Mereka tampak santai dan bahagia, bahkan tidak sadar kalau aku sudah membuntutinya dari belakang.Oh, jadi ini yang kau bilang ketemuan dengan Rusdy. Hohoho, tidak semudah itu kau membohongiku, Mas. Mari kita lihat alasan apa yang akan kau katakan saat bertemu denganku nanti.Aku tak pernah menyangka, ternyata tetangga yang baru pindah enam bulan yang lalu di kompleks perumahan itu kini justru menjadi pelakor dalam rumah tanggaku. Perkenalanku pertama kali dengannya adalah saat ia membeli kebutuhan sehari-hari dalam toko-ku, ia berbelanja cukup banyak hingga kerepotan. Dan akulah yang meminta Mas Hendi untuk membawakan barang belanjaannya. Saat itu, ia mengenalkan diri dengan nama Kartika. Dan pindah kemari karena habis diceraikan oleh sang suami. Hari-hari berikutnya ia sering ke toko untuk sekedar berbelanja. Bahkan aku menawarinya jasa online. Bila ada kebutuhan yang mau dibeli biar kami yang mengantarkan sampai rumah, ia hanya kasih list daftar belanjaannya saja ke nomorku dan transaksi setelah barang sampai di rumah. Karena kulihat ia cukup sibuk beraktivitas, entah bekerja sebagai apa, tapi yang jelas ia sering pergi mengenakan pakaian seksi dan kurang bahan itu.Tak sekalipun terlintas bahwa suami akan mengkhianatiku. Keseharian kami yang selalu b
Saat aku ingin menghampirinya, tiba-tiba ponselku bergetar berulang kali, cukup menggangguku. Aku menoleh sebentar, mereka masih berdiri di depan resepsionis.Kuraih handphoneku, nomor rumah memanggil. Ada apa ya mbok Jum meneleponku disaat yang tidak tepat. Kuabaikan saja panggilan itu, tapi lagi-lagi handphoneku bergetar. Sepertinya sangat penting.[Hallo assalamualaikum mbok, ada apa?]-- sahutku, kembali menjauh agar tidak terlihat oleh mereka.[Waalaikum salam. Non, ibu Wirda datang]-- sahut Mbok Jum dari seberang telepon dengan nada khawatir. Bu Wirda adalah ibu mertuaku, ibunda Mas Hendi.[Mbok, tolong suruh tunggu aja dulu ya. Saya masih ada perlu]-- jawabku sembari mengatur helaan nafas.[Mbok udah bilang non, tapi ibu datang sambil nangis-nangis][Lho nangis-nangis kenapa?][Anu non, katanya Non Freya sakit. Terus ada masalah apa, mbok juga kurang paham. Ibu nangis-nangis terus dari tadi. Tadi juga mbok udah coba hubungi Mas Hendi, tapi gak diangkat-angkat, non][Ya sudah mbo
"Nak, kamu kenapa? Kok kamu bisa seperti ini. Terus ini siapa? Hendi mana?" Ibu mertua memberondongku dengan pertanyaan seraya membantuku memapah sampai duduk di kursi."Kamu gak sama Hendi?" tanyanya lagi."Enggak Bu, tadi aku pergi sendirian, ada perlu. Mas Hendi gak tahu pergi kemana, tadi pagi pamit katanya mau ketemu teman.""Tadi mbok Jum udah coba telepon ke Hendi, gak diangkat malah katanya sekarang nomor teleponnya tidak aktif," sahut ibu."Baterainya lowbet kali, Bu.""Iya mungkin. Terus ini kenapa kakimu jadi seperti ini? Harusnya kamu hati-hati kalau bawa motor.""Maaf Bu, ini murni kesalahan saya. Saya yang sudah membuat Mbak Reina celaka." sela Mas Rusdy. Ibu menoleh ke arahnya. "Tadi saya yang menabraknya, Bu," lanjut Mas Rusdy lagi."Gak apa-apa kok, Bu. Mas Rusdy gak sengaja karena tadi aku yang ngerem mendadak.""Ya sudah, udah kayak gini mau diapain lagi. Sekarang, kamu harus istirahat sampai kakimu sembuh. Biar nanti ibu bilang ke Hendi, pergi kok lama banget sampe
POV HendiEnam bulan yang laluMatahari sangat terik, panasnya begitu menusuk ke kulit. Saat ini aku masih berkutat dengan beberapa pesanan pelanggan toko Reina. Apalagi yang pesan jauh dari lokasi perumahan, membutuhkan waktu dan tenaga lebih ekstra.Kutepikan motor tossa ini di bibir jalan, mengambil botol air mineral lalu meneguknya hingga sisa setengah untuk sekadar menghilangkan dahaga.Netraku sibuk mencari kala mendengar suara tangis seorang perempuan. Kukira memang ada penampakan pada siang bolong begini, nyatanya benar. Penampakannya ialah seorang wanita yang cantik dan sangat kukenali.Itu bukannya Kartika? Aku bertanya pada diriku sendiri, saat melihat wanita itu duduk sambil menangis pilu. Ya, aku sangat mengenalinya. Perempuan yang sangat kucintai dimasa lalu, sampai saat ini juga aku masih belum bisa melupakannya walau aku sudah menikah dengan orang lain, lima tahun terakhir ini.Aku segera menghampirinya. "Kartika?" sapaku.Ia mendongak, tampak terkesiap kaget saat mel
"Mas, sini lho. Ini bantuin mbaknya bawain belanjaan. Mbaknya repot, belanjaannya banyak," pinta Reina.Kartika tersenyum pada Reina, lalu menoleh ke arahku. Aku menangkap keterkejutan di wajahnya saat melihatku kembali."I-iya dek," jawabku tergagap.Reina tersenyum, istriku itu memang ramah pada setiap orang. Suka membantu. Seminggu sekali biasanya tiap hari Jum'at ia akan mengadakan santunan anak yatim atau berbagi makanan dengan para orang miskin. Entahlah, aku tak mengerti, uang Reina seakan tak ada habisnya. "Oh iya mas, Mbak Kartika ini tetangga baru, yang ngontrak di rumah Pak Komar. Baru pindah tadi, tolong kamu bantu bawa belanjaannya ya mas."Aku mengangguk lalu bergegas mengambil motor untuk membawa belanjaan itu. Sedangkan Kartika sudah pulang lebih dulu dengan berjalan kaki.Deg deg deg!Entah kenapa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Motorku berhenti di halaman rumah, lalu menurunkan belanjaannya itu."Makasih ya mas, sudah bantuin aku," ucapnya sambil te
Ternyata mudah sekali membohongi Reina, ia langsung percaya saja apa yang kukatakan. Sepertinya jalanku semulus jalan kereta api, tidak ada macet-macetnya.Berganti hari, seperti biasa aku masih membantu Reina, mengantarkan pesanan para pelanggan. Tapi setiap pulang aku selalu mampir ke rumah Kartika, sekedar bertemu melepas rindu.Hingga sebulan sudah pernikahan rahasia kami. Malam itu, Reina yang cuek pada handphone-ku tiba-tiba memeriksanya. Aku tak sengaja melihatnya sedang memegang handphoneku."Dek, gimana apa ada pesanan yang lain lagi?" tanyaku pada Reina--istriku yang kaya dan baik hati itu."Ada nih mas, WA dari Kartika. Tapi kok chatnya mesra begini ya? Memangnya dia pesan apaan sih, Mas?" tanya Reina sambil mengerutkan keningnya.Aku meraih handphoneku lalu membaca pesan dari Kartika.[Mas, jangan lupa pesananku nanti malam ya, Love you. Mmuuaaacch]Deg! Jantungku mulai berpacu cepat. Aku pun lupa memberi tahu Kartika agar tidak menghubungiku dulu ketika di rumah. Ya waja
"Dek, harusnya kamu hati-hati. Kalau butuh sesuatu panggil mas," ucapku penuh penekanan. Ekspresinya hanya datar saja. Reina dengar tidak ya?"Aku tadi dah manggil kamu, mas. Tapi sepertinya kamu gak dengar.""Memangnya kamu butuh apa? Tadi mas lagi ngobrol sama ibu.""Mas, bisa tidak besok bantuin aku?""Bantuin apa?""Ini mas, ada banyak pesanan masuk, sedangkan kakiku kan lagi begini--""Duh gimana ya dek, sepertinya mas tidak bisa. Besok kan mas mau ke kantornya Rusdy.""Oh. Berarti aku harus cari orang lagi.""Maaf ya, kalau senggang pasti mas bantuin kamu."Reina mengangguk."Nak, ibu mau pulang dulu ya. Kasihan Freya," pamit ibu."Oh iya Freya kenapa, Bu? Katanya Freya sakit?" tanya Reina."Tidak apa-apa nak, biasa masalah anak muda."Reina mengangguk. Tampaknya dia benar-benar tidak tahu. Syukurlah.***Ting[Mas, malam ini bisa gak ke rumah? Aku dah kangen lagi sama kamu]Sebuah pesan yang dikirim oleh Kartika. Aku tersenyum. Heran sama perempuan ini, tadi siang udah seharian
Part 10"Mas berangkat ke kantor dulu ya," pamit Mas Hendi pagi itu. Setelah kepergian Mas Hendi, tak lama datang 2 orang pemuda ke toko. Namanya Adit dan Eza, mereka keponakan Mbok Jum yang akan bekerja di tokoku. Jadi aku tak perlu pusing lagi, memikirkan bagaimana cara mengirimkan pesanan ke pelanggan. Apalagi akhir-akhir ini, tambah banyak pesanan yang masuk. Aku tinggal mengawasi mereka bekerja sambil duduk.Kakiku memang masih terasa sakit tapi, sudah mendingan tidak seperti kemarin. Beberapa ibu-ibu datang untuk berbelanja."Mbak Reina, saya mau beli detergent, shampoo sama sabun mandi masing-masing satu. Terus tepung terigunya satu kilo," ucap Bu Lena."Kalau saya, telor setengah kilo, minyak gorengnya satu liter mbak," ujar Bu Wiwi."Saya ini mbak, beras dua kilo, teh satu pak, gula pasir setengah kilo," ucap Bu Sarti.Aku mencatat semua pesanan ibu-ibu lalu memberikan catatan itu pada Eza untuk menyiapkan barang-barangnya."Eh maaf lho Mbak Reina. Sekarang suami mbak Rei u