Hinaan dan cemoohan terus berdatangan pada Zoya dan suaminya, Dewangga, yang bekerja sebagai tukang parkir. Bahkan anak mereka juga menjadi sasaran ejekan dari teman-temannya. Tidak hanya tetangga, keluarga Zoya sendiri pun berusaha memisahkan mereka karena merasa malu. Tekanan yang diterima membuat Zoya frustrasi, tetapi cintanya pada Dewangga membuatnya tetap bertahan. Ia yakin suaminya adalah pria yang baik dan jujur, meskipun seluruh dunia meremehkan mereka. Ketika keadaan sudah tak tertahankan dan Zoya hampir menyerah, tiba-tiba Dewangga menunjukkan sisi yang tak pernah orang lain lihat—sisi yang mengubah segalanya. Orang-orang berpangkat tinggi mulai menghormatinya, bahkan menuruti perintahnya tanpa banyak tanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dewangga? Rahasia apa yang selama ini Dewangga sembunyikan dari Zoya?
View More"Cantik-cantik, kok, suaminya tukang parkir. Kasihan sekali ya Zoya."
"Mungkin takdirnya memang begitu, Bu. Mau bagaimana lagi?" Aku berhenti sejenak, mataku menyipit ke arah tiga ibu-ibu yang tengah berdiri di depan rumah besar, salah satunya ada Bu Ida, si pemilik rumah yang gemar bergosip. Mereka berbicara tanpa berusaha merendahkan suara, seolah ingin aku mendengar. "Capek-capek berjualan, hanya dapat untung sekadarnya. Mana suaminya hanya tukang parkir." "Jujur saja, suaminya memang tampan, tapi pekerjaannya sangat tidak level, iyyuuh," kata Bu Ida dengan nada jijik, lalu setelahnya diikuti oleh suara tawa ibu-ibu yang lain. Aku yang sudah terbiasa dengan hinaan ini awalnya mencoba bersikap tenang. Namun, ketika Bu Ida mulai menyeret suamiku dalam hinaannya, aku tidak bisa lagi menahan diri. Akhirnya terjadi adu mulut singkat di antara kami, tetapi kali ini aku memutuskan untuk tidak melanjutkan lebih jauh. Aku sadar bahwa setiap perdebatan hanya akan membuat diriku lelah. Aku mengakhiri percakapan dengan dingin dan meninggalkan Bu Ida yang kesal. Aku menelan ludah, rasa perih muncul di dadaku. Dengan diam, aku mempererat pegangan pada kontainer plastik berukuran sedang yang aku gunakan untuk berjualan gorengan keliling. Lalu melanjutkan langkah tanpa mempedulikan tatapan sinis mereka. Bukan hanya sekali dua kali aku dihina seperti ini, bahkan hinaan dan cemoohan sudah menjadi makanan sehari-hariku. Sudah ribuan kali juga aku membela diri, bahkan pernah juga aku memilih untuk diam, tetapi hasilnya tetap sama, mereka masih gencar menghinaku dan suamiku. Aku menundukkan kepala, mataku menyapu jalanan. Aku tahu, hinaan seperti ini bukan hal baru, tetapi kali ini entah kenapa terasa lebih menusuk. "Kenapa mereka memandang rendah pekerjaan suamiku?" pikirku geram, sementara dada terasa sesak oleh kemarahan yang coba kutahan. Agar emosiku tidak meledak, aku segera mempercepat langkah menuju ke rumah. Di sepanjang jalan, aku berusaha menyingkirkan emosi yang membuncah di dalam diri dengan menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Sesampainya di rumah, aku meletakkan kontainer plastik di lantai dekat pintu dengan napas panjang yang tertahan. Rumah mungil ini tampak sunyi, hanya ada suara dedaunan pohon yang bergemericik terkena embusan angin sore. Aku melepaskan sandal, kemudian melangkah ke ruang tamu, di mana Abiyan anakku, dan Mas Dewangga suamiku, sedang duduk bersama di karpet. Wajah suamiku tenang, tetapi terlihat lelah, sedangkan Abiyan tengah sibuk mengerjakan soal di buku. Hatiku menghangat melihat kebersamaan mereka. “Kamu sudah pulang, Mas?” tanyaku sambil menyeka keringat di dahi dengan lengan baju. Mas Dewangga menoleh, tersenyum tipis. “Iya, baru saja.” Abiyan juga ikut menoleh padaku. Aku pun melemparkan senyum manis pada anakku satu-satunya. Kini tatapanku kembali beralih pada Mas Dewangga. Meskipun suamiku tersenyum, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada beban yang disimpan rapat-rapat di balik senyuman itu. Mas Dewangga mengambil ponsel bututnya dari saku celana, mengetik pesan cepat, lalu diletakkan di dekatnya. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan saksama, tetapi tidak mengucapkan apa pun. Tak lama, ponsel Mas Dewangga bergetar. Suamiku mengangkatnya, menjauh sedikit dariku dan Abiyan sambil berbicara dengan suara rendah. "Ya, saya mengerti. Semua dokumen sudah siap ... tenang saja, semua aman." Aku tidak mendengar semua percakapan itu, tetapi perasaanku menjadi gelisah. Suara Mas Dewangga terdengar begitu formal, seperti berbicara dengan orang penting. Padahal, suamiku hanya seorang tukang parkir. Aku mengerutkan kening, tetapi memilih untuk tidak bertanya langsung. Setelah telepon selesai, aku mencoba menatap mata suamiku, berharap ada jawaban yang bisa aku temukan. “Itu tadi siapa, Mas?” Aku bertanya dengan nada hati-hati. Mas Dewangga tersenyum samar, melangkah ke arahku. “Bukan siapa-siapa. Kamu tidak perlu khawatir.” Aku hanya diam, menatap suamiku yang kini berjalan ke kamar. Jawaban itu tidak memuaskan. Ada sesuatu yang Mas Dewangga sembunyikan, dan aku bisa merasakannya. Aku memutuskan untuk duduk di samping Abiyan, menemaninya belajar sembari mencoba menghilangkan rasa overthinking-ku. "Sayang, bisa ke sini sebentar?" panggil Mas Dewangga dari dalam kamar. "Iya, Mas." Aku yang mendengarnya segera bangkit dan berjalan menuju kamar, sesuai permintaan Mas Dewangga. Di dalam kamar, aku bisa melihat Mas Dewangga berdiri menghadapku, lalu suamiku mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya. "Ini untukmu, Sayang," ucap Mas Dewangga lembut, menyerahkan beberapa lembar uang berwarna biru dan merah itu kepadaku dengan senyum tipis. Aku menerima uang itu dengan tatapan penuh tanya dan memperhatikan lembaran uang di tangan, lalu menatap suamiku dengan dahi berkerut. "Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini, Mas?" tanyaku ragu. Mas Dewangga mengusap lembut bahuku, berusaha menenangkan. "Ini dari hasil aku bekerja sebagai tukang parkir hari ini, Sayang. Beberapa pedagang menitipkan uang receh untuk ditukar dengan uang yang lebih besar. Mereka memerlukannya untuk kembalian." Aku menatap uang itu lagi, kemudian mendongak dengan raut sedikit khawatir. "Sebanyak ini hanya dari parkir, Mas? Benarkah?" Alih-alih tersinggung dengan ucapanku yang terkesan tidak mempercayainya, Mas Dewangga malah tersenyum lembut dan menatapku dengan penuh kasih sayang. "Iya, Sayang. Tidak usah khawatir. Hari ini kebetulan ramai, dan pedagang-pedagang itu senang menitipkan uang receh kepadaku. Ini semua adalah hasil dari kerja keras yang halal." Aku masih merasa ada yang janggal, tetapi ketika aku melihat ketulusan di mata suamiku, keraguan itu perlahan mereda. "Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, kan, Mas?" Mas Dewangga menggeleng dengan lembut, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya. "Tidak, Sayang. Apa pun yang aku lakukan adalah demi kita." Meskipun masih ada sedikit keraguan di hati, aku memutuskan untuk mempercayai suamiku. "Baiklah, Mas. Terima kasih." "Sama-sama, Sayang. Yang penting, kamu dan Abiyan selalu sehat. Itu lebih berharga dari apa pun." Suamiku tersenyum hangat dan menatapku dengan penuh cinta. *** Saat malam semakin larut, aku terduduk di tempat tidur, pikiranku penuh oleh percakapan Mas Dewangga ketika menelepon. Aku memandang suamiku yang sudah tertidur di samping, napasnya tenang dan teratur, seolah tidak ada beban yang mengganggu. Aku sudah mencoba memejamkan mata, tetapi pikiranku terus saja memutar ulang percakapan telepon Mas Dewangga. 'Ya, saya mengerti. Semua dokumen sudah siap ... tenang saja, semua aman.' Kata-kata itu bergema di kepalaku, membuat kegelisahan perlahan menyebar dalam diriku. Aku penasaran dengan dokumen yang disebut Mas Dewangga di telepon. Belum lagi uang yang Mas Dewangga berikan sore tadi. Setelah kuhitung, totalnya ada tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah itu terasa sangat besar dibandingkan hari-hari sebelumnya, di mana biasanya Mas Dewangga hanya memberiku seratus hingga dua ratus ribu saja. Ada sesuatu yang suamiku sembunyikan. Aku bisa merasakannya, tetapi apa?Seperti biasa, pagi ini aku berangkat ke toko kue seperti kemarin. Tentunya untuk melancarkan misi yang tengah kulakukan dengan suamiku.Toko tampak berjalan normal seperti kemarin. Beberapa pelanggan datang silih berganti, dan para karyawan—termasuk Nara—sibuk melayani sambil sesekali melempar senyum ke arahku. Meski suasananya terlihat wajar, aku tahu sebagian besar dari mereka bukan pelanggan biasa. Beberapa dari mereka adalah bagian dari skenario yang sudah disusun Mas Dewangga.Jam demi jam berlalu, dan tanpa terasa waktu sudah mendekati jam makan siang. Aku mulai merasa suntuk, bukan karena pekerjaannya, tetapi karena suasana yang terlalu aman dan monoton. Saat itulah muncul ide di benakku untuk keluar sebentar, mencari udara segar, dan mungkin mencari sedikit inspirasi."Nara, aku akan keluar sebentar, tolong jaga toko, ya," pintaku pada Nara sebelum keluar."Biar saya temani Anda ya, Bu," tawar Nara, tangannya bergerak untuk melepaskan celemek, tetapi aku buru-buru menahanny
Sesampainya di rumah, aku langsung turun dari mobil setelah dibukakan pintu oleh sopir pribadi yang tadi menyamar menjadi pelanggan di toko. Aku mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Aku mengedarkan pandangan ke ruang tamu, dan sesuai dugaan, Mas Dewangga belum tiba.Daripada diam, aku memilih naik ke kamar dan merebahkan diri di sofa panjang sambil membuka buku bacaan yang belum sempat kuselesaikan. Sesekali aku mengelus perutku, sambil membayangkan raut wajah Mas Dewangga nanti saat tahu 'permainanku' dengan Alex tadi berhasil.Satu jam berlalu.Suara pintu kamar terbuka, membuatku refleks menoleh. Dan di sana Mas Dewangga berdiri dengan napas agak memburu. Matanya langsung mengunci pandangan ke arahku. Aku tersenyum, meletakkan buku di atas meja, lalu bangkit berdiri.Mas Dewangga melangkah cepat menghampiriku. Belum sempat aku bersuara, tubuhku sudah dipeluk erat olehnya."Mas!" Aku spontan memukul pelan punggungnya. "Perutku, Mas!
Sebelum Alex bicara lagi, Nara datang dengan nampan berisi kopi dan kue red velvet pesanan milik Alex.Pria itu menyesap kopi pahitnya yang baru datang. Tatapannya tak lepas dariku, seolah sedang menilai celah dari setiap kata dan ekspresi yang kutunjukkan."Saya mengerti perasaanmu, Bu Zoya," katanya pelan. "Terkadang laki-laki itu semakin banyak tekanan, semakin suka memendam. Bukannya tidak sayang, tapi mereka merasa harus tangguh, harus kuat ... sampai-sampai lupa bagaimana cara terbuka pada istrinya sendiri."Aku diam, seolah larut dalam kata-katanya."Hanya saja, hati-hati juga ... jangan sampai Bu Zoya terlalu menunggu seseorang yang bahkan mungkin sudah tidak seperti dulu lagi," lanjutnya. "Dewangga itu ... saya sudah mengenal dia cukup lama. Dia pandai menyembunyikan sesuatu, bahkan dari orang terdekatnya."Aku menunduk, pura-pura menelan ucapan itu."Kalau Bu Zoya terus menunggu Dewangga terbuka, takutnya Bu Zoya makin sakit sendiri. Mungkin Anda perlu mulai berpikir untuk m
Pagi itu, setelah selesai sarapan, Mas Dewangga mengantarku ke toko kue. Sepanjang jalan, dia terus mengingatkanku untuk berhati-hati, bahkan dia sampai turun dari mobil dan mengantarkanku ke depan toko."Kalau ada apa-apa, langsung kabari," pesannya lagi.Aku mengangguk. "Iya, Mas. Aku akan baik-baik saja. Fokus jaga saham perusahaan, ya."Dia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memelukku dan berjalan kembali ke mobil. Begitu mobilnya menjauh, aku menarik napas panjang dan membuka pintu toko."Naraaa," panggilku pelan.Suara langkah cepat mendekat, lalu muncullah Nara dengan celemek bermotif stroberi tergantung di pinggang."Bu Zoya!" serunya ceria sambil memelukku. "Bu Zoya, saya rindu!"Aku tertawa pelan. "Aku juga rindu kalian." Nara melepaskan pelukannya dan berkata, "Bu Zoya jangan bekerja sampai kelelahan. Ibu cukup diam dan memantau saja, oke?"Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, Nara. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang berat.""Bagus! Saya sudah diberi tahu oleh Pak Dewangg
"Baiklah. Jadi ...." Mas Dewangga menarik napas. "Aku dan Pak Arwin sepakat untuk membiarkan Alex terus berjalan dengan rencananya. Kita pura-pura tidak tahu apa-apa."Aku mengernyit. "Maksudnya ... kamu akan membiarkan dia terus merusak reputasimu, Mas?""Bukan 'membiarkan', tapi mengarahkan. Kita berencana memberikan informasi yang sudah disiapkan, tentunya itu data palsu. Kalau dia terus memakan umpan itu, kita bisa tahu siapa yang bekerja sama dengan dia, dan ke mana arah penyebaran infonya," jelas suamiku panjang lebar.Aku mengangguk pelan, mulai menangkap alurnya. "Jadi kamu akan membuat jebakan informasi?""Iya," jawabnya singkat. "Dan bagian IT akan melacak pergerakan file itu. Sekali dia membuka atau mentransfer file tersebut, alamat IP dan perangkatnya bisa kita identifikasi. Bahkan kalau dia hapus, kita tetap punya log-nya."Aku terdiam sejenak. Otakku mencerna rencana suamiku yang ternyata sudah cukup matang."Lalu, kamu mau tangkap dia langsung?" tanyaku hati-hati."Kala
"Eh, Mas. K-kamu belum tidur?" tanyaku, berusaha terdengar setenang mungkin agar suamiku tak curiga jika aku sedikit menguping pembicaraannya barusan."Belum. Tadi aku menerima telepon dulu." Mas Dewangga berjalan mendekat ke arahku dan memelukku, kemudian berkata, "Ayo kita tidur. Sudah larut malam."Aku mengangguk dan kami berdua berjalan menuju ranjang. Setelah berbaring di sana, aku segera menutup mata. Pikiranku segera melayang ke percakapan Mas Dewangga di telepon tadi.Aku ingin bertanya, tetapi aku tidak ingin membuat Mas Dewangga lebih terbebani. Jadi, aku putuskan untuk bertanya nanti saat suasananya sudah membaik.***Esok paginya, aku terbangun dan mendapati sisi ranjang di sebelahku kosong. Aku celingukan memandangi setiap sudut kamar, berharap sosok Mas Dewangga muncul dari balik pintu kamar mandi atau dari balik lemari. Namun, tidak ada siapa-siapa. Hening. Bahkan terlalu hening untuk ukuran pagi.Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments