Part 53Drrrttt ... Drrrttt ...Lagi-lagi ponselku bergetar. Kali ini panggilan dari Papa. Papa dan mama baru saja bertolak dari sini, kira-kira ada apa mereka menghubungiku? Apa karena ada barang yang ketinggalan?"Assalamualaikum. Ya ada apa, Pa?""Dengan saudara Rusdy? Ini dari petugas polisi. Saya lihat dalam log panggilan terakhir Bapak Hadiyan, Pak Rusdy lah yang terakhir dihubunginya.""Iya pak, saya putra Pak Hadiyan. Apa yang terjadi dengan orang tua saya, Pak?""Mobil Pak Hadiyan mengalami kecelakaan tunggal di KM 9,5 diduga rem mobilnya blong.""Apa? Kecelakaan? Bagaimana dengan kedua orangtua saya, Pak?""Korban sudah dilarikan ke Rumah Sakit Mutiara. Sedangkan mobil dan barang-barang Pak Hadiyan sudah diamankan di kantor polisi untuk proses penyidikan.""Baik, Pak. Terima kasih infonya, saya segera kesana."Kututup panggilan telepon. Jantungku berpacu dengan cepat. Dua puluh menit yang lalu, mereka baru pergi dari sini. Kenapa kejadiannya begitu cepat."Ada apa, Mas?" ta
Bab 54. Dia KembaliAku menoleh kearahnya, wanita itu tersenyum. Sungguh tercengang dibuatnya saat melihat dia ada disini. Dia ... Orang yang dulu pernah mewarnai hidupku. Aku segera bangkit berdiri. "Anjani? Kenapa kau bisa ada disini?" tanyaku. Dari mana dia tahu kalau aku berada di pemakaman. Apa selama ini dia mengikutiku? Apa selama ini juga dia yang sudah menerorku? Berbagai macam pertanyaan datang silih berganti."Kenapa? Kaget ya?" ujarnya seraya tersenyum"Bukankah kamu ada di--""Rumah sakit jiwa? Haha, aku sudah lama sembuh, Mas. Sejak kau memberikan secarik kertas berisi kata maaf untukku. Aku bisa sadar kembali dan bisa mengingat semuanya. Terima kasih mas, kau sudah menjadi obat bagiku. Susah payah aku keluar dari tempat terkutuk itu. Dan bisa kembali kesini untuk menemuimu. Menemui kekasih tercintaku."Tiba-tiba saja dia memelukku dari samping, bersandar manja dan langsung memotretnya dengan ponsel. "Apa yang kau lakukan?" ketusku sembari mendorongnya agar dia menjauh
Part 55"Anjani? Ada apa kamu sampai datang kesini?""Ahaaa, aku tahu kamu pasti akan datang kemari. Ternyata kau masih perhatian sama aku mas, kamu masih cinta kan sama aku?" ucapnya disertai sebuah senyuman. Dia langsung memelukku, membuatku hilang kata-kata. Kudorong tubuhnya dengan kasar. Ckck! Sepertinya aku salah memutuskan untuk datang kemari. Dia benar-benar gila! Bodohnya aku! Aku hanya tak ingin dia bertindak nekad dan menyakiti papa.Kulihat raut wajahnya begitu kesal. "Berhentilah menggangguku, Anjani!Harusnya kamu sadar, bukan bertambah nekad seperti ini!""Mas, aku ini sudah sadar. Sadar kalau aku benar-benar mencintaimu. Dan aku tak bisa melupakanmu. Jangan suruh aku untuk menjauh, aku tidak bisa."Aku tak menggubris ucapannya."Pak Danang, tolong kamu hubungi Seno dan yang lain. Saya butuh mereka sekarang.""Baik, Pak."Danang menjauh sembari menempelkan handphonenya ke telinga, menghubungi asistenku."Mas, aku butuh waktumu sebentar saja. Aku mohon, Mas. Temani aku
Part 56a"Ada apa, Mas?" tanya Reina."Ada masalah di kantor. Mas berangkat dulu ya.""Hati-hati ya, Mas.""Iya sayang, byeee," sahutku sembari mengecup keningnya dengan lembut.Kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Benar saja sampai di halaman kantor kulihat ada security dan para staff tengah berkumpul, menasehati Anjani yang mulai menggila. Aku turun dari mobil, menghampiri mereka. Tiba-tiba saja Anjani berlari ke arahku."Mas, akhirnya kamu datang juga. Aku menunggumu sejak lama," ucapnya."Ada apa kamu datang kemari, Anjani? Kita sudah sering bertemu.""Aku justru ingin bertemu denganmu sepanjang waktu," sahutnya dengan senyum yang sumringah."Pulanglah Anjani, jangan bikin gaduh di kantorku!" tukasku lagi. Kesal dibuatnya akhir-akhir ini."Tidak! Sebelum kau nikahi aku," rajuknya lagi.Kuembuskan nafas kasar. "Kau ini gila! Aku sudah menikah, Anjani!""Aku tidak peduli. Kalau kau tidak mau, aku akan bunuh diri di hadapanmu.""Kau menggertakku? Lakukan saja apa maumu. Aku ta
Part 56b6 tahun kemudian ...Putriku Anita sudah tumbuh jadi gadis kecil yang cantik seperti sang ibunda. Wajahnya begitu imut dan menggemaskan. Kini gadis mungilku mulai sekolah di Taman Kanak-kanak.Pagi itu, dia sudah cantik dengan balutan seragam TK berwarna oranye. Rambutnya dikuncir dua ke atas. Reina begitu telaten merawatnya meski tak dibantu oleh siapapun, karena Mbok Jum sudah berpulang tiga tahun yang lalu. Jadi, aku sebagai seorang suami harus selalu siap siaga dan membantu istriku dalam masalah pekerjaan rumah tangga usai pulang dari kantor."Mas, ini sarapan roti bakarnya. Dan ini buat Anita," ucap Reina seraya menghidangkan roti bakar meises keju di hadapan kami."Makasih Bunda, Bunda memang yang terbaik," puji putri kecilku dengan comelnya. "Iya, sayang ... Dimakan sampai habis ya.""Baik, Bunda! Ayah, ayo dimakan!" celotehnya lagi dengan wajah riang."Iya, sayang, nih lihat ayah akan makan dengan lahap." "Ayah, jangan lupa baca doa dulu!" cegahnya."Iya, terima kas
Part 57Enam bulan berlalu, perut Reina terlihat makin buncit. Dia tampak enjoy menjalani kehamilan keduanya. "Hari ini kita ke dokter kandungan ya, Dek." ajakku. Reina mengangguk sambil senyum. Ia mempersiapkan dirinya, tampak begitu cantik dengan balutan gamis berwarna abu-abu dengan hijab warna senada. Kami meninggalkan rumah, para pegawai toko pun tampak sibuk dengan pekerjaannya. Kami menuju ke dokter langganan yang dulu menangani Anita. "Alhamdulillah, ibu dan bayinya sehat. Kalau dilihat dari USG, jenis kelaminnya laki-laki," ujar dokter itu."Alhamdulillah, terima kasih ya dokternya."Aku dan Reina saling melempar senyum. Kami memang menginginkan anak laki-laki. Biar sepasang, dapat anak cewek dan juga cowok.Kuciumi puncak kepala Reina saat sampai di mobil. "Terima kasih ya, Sayang. Hidupku terasa makin lengkap apalagi dengan kehadiran calon bayi kita.""Iya, Mas. Aku juga bahagia banget.""Ya sudah, ayo kita jemput Anita di sekolahnya. Habis itu kita jalan-jalan sebenta
Part 58aSampai di rumah sakit, Reina langsung dibawa ke ruang UGD. Dia harus segera di operasi caesar karena mengalami pendarahan. Kami menunggu beberapa waktu untuk menanti kedatangan dokter spesialisnya. Sementara aku harus mengurus semua keperluan administrasi dan juga surat persetujuan operasi."Silakan bapak tunggu di luar, bapak gak boleh ikut masuk ke dalam."Aku mengangguk dan berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi. Perasaanku membuncah menjadi satu antara khawatir dan cemas. Ya Allah ... Semoga tak terjadi apapun pada Reina. Selama ini kulihat dia baik-baik saja tapi kenapa tadi dia bisa terjatuh?Kuusap wajahku dengan kasar. Setelah sekitar 1 jam menunggu, pintu ruang operasi terbuka dan munculah seorang perawat rumah sakit yang memakai baju OK keluar dari pintu ruang operasi.Aku segera mendekatinya, " Itu bayi Ny. Reina, Mbak?" tanyaku. Perawat bermasker itu memandangku sejenak. "Iya Pak, selamat, bayinya lahir laki-laki. Bapak bisa ikut kami ke ruang perawatan ba
Tahun berganti tahun, Anita dan Fandy tumbuh jadi anak-anak yang cantik dan juga tampan. Aku membesarkannya sendirian, menjadi ayah tunggal bagi mereka. Dan hanya dibantu oleh asisten rumah tangga. Sesuai janjiku pada mendiang istriku, aku tidak menikah lagi. Cukup Reina saja, wanita terakhir dalam hidupku. Aku cukup bangga, melihat prestasi Anita, dia sangat pandai dalam hal akademik."Ayah, aku ranking satu lagi, yeaaayy!" seru gadis kecilku sumringah."Wah hebat anak ayah, Anita mau hadiah apa, Sayang?" tanyaku berusaha memberikan apresiasi. Anita menggeleng. "Antar Nita ke makam bunda, Yah!" tukasnya.Aku tertegun sejenak. Selalu saja begitu, putriku tak pernah mau diberikan hadiah ataupun sejenisnya. Dia hanya mau berkunjung ke makam ibundanya. Saat-saat seperti inilah yang membuat hatiku terenyuh. Anak sekecil mereka pasti sangat membutuhkan sosok ibunda. "Iya sayang, sore nanti kita ke makam bunda ya!" jawabku sembari menahan butiran embun di sudut mata. Akupun begitu, hat